Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Unjuk Rasa Kasus George Floyd dan Kekhawatiran Klaster Baru Covid-19 di AS...

Baca di App
Lihat Foto
SIPA USA via REUTERS/CHRISTOPHER DILTS
Demonstran berjalan menuju Lake Shore Drive untuk melakukan unjuk rasa di kawasan Uptown, menuntut keadilan atas kematian pria kulit hitam George Floyd, yang tewas karena lehernya ditindih lutut polisi pada Senin (25/5/2020). Foto diambil di Chicago pada Senin (1/6/2020).
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Sudah lebih dari seminggu sejak warga Amerika Serikat pertama kali melakukan protes di berbagai penjuru kota sebagai bentuk dukungan atas kasus yang dialami oleh George Floyd.

Virus corona yang masih menjadi pandemi di dunia tampak dikesampingkan oleh kebanyakan orang setelah melihat video yang menunjukkan kejadian yang dialami George Floyd.

Terlepas dari protes yang terjadi, pandemi virus corona masih terus berlangsung.

Sejak Minggu (31/5/2020), ada lebih dari 4.000 kematian yang dilaporkan terjadi di AS.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari jumlah tersebut, 1.036 di antaranya terjadi antara Kamis (4/6/2020) dan Jumat (5/6/2020).

Melansir data John Hopkins University, hingga Jumat (5/6/2020), virus ini telah menginfeksi lebih dari 108.000 orang di AS dan menginfeksi lebih dari 1,8 juta orang di dunia.

Baca juga: Ahli Ingatkan Potensi Penularan Virus Corona dalam Aksi Demonstrasi di AS

Kekhawatiran akan lonjakan kasus

Dengan protes yang masih terus terjadi, pihak berwenang pun mengkhawatirkan bahwa jumlah kasus infeksi akan meningkat setelah protes ini.

Mereka juga mengimbau para pengunjuk rasa turut menjalani pemeriksaan.

Sebab, sejumlah lokasi pemeriksaan ditutup akibat unjuk rasa ini, termasuk di Los Angeles, Philadelphia, dan Jacksonville, Florida.

"Berdasarkan cara penyakit ini menyebar, ada alasan untuk memperkirakan bahwa kita akan melihat klaster baru dan wabah baru yang potensial untuk terjadi," kata Jenderal Bedah Dr Jerome Adams sebagaimana dikutip CNN, Jumat (5/6/2020).

Sementara itu, menurut Dr Sanjay Gupta, dampak dari protes yang terjadi pada tingkat infeksi dan rumah sakit akan muncul dalam waktu tiga hingga empat minggu ke depan.

Meski demikian, ia menyebut bahwa protes yang dilakukan di luar ruangan bisa jadi membuat risiko transmisi virus lebih rendah.

"Udara luar ruangan melarutkan virus dan mengurangi paparan infeksi yang mungkin terjadi di sana. Jika angin bertiup, itu akan semakin melemahkan virus di udara," kata Ahli Penyakit Menular di Vanderbilt University Dr William Schaffnerr seperti dikutip New York Times, Kamis (4/6/2020).

Selain itu, menurut dia, kerumunan didominasi oleh orang-orang berusia muda yang diketahui cenderung mengalami gejala ringan jika sakit. 

Akan tetapi, mereka juga memiliki risiko untuk menularkan virus ke keluarga atau orang lain yang lebih tua dan rentan.

Sejumlah ahli pun khawatir dengan risiko setelah aksi protes ini. 

Dr Howard Markel, yang merupakan sejarawan kedokteran, mengingatkan kembali bahwa kerumunan massa aksi yang terjadi di kota-kota di Amerika seperti Philadelphia dan Detroit di tengah pandemi influenza tahun 1918 diikuti oleh lonjakan kasus.

"Iya, protes memang dilakukan di luar ruangan, tetapi mereka saling berdekatan satu sama lain. Dalam kasus tersebut, berada di luar tidak banyak melindungi Anda" kata Markel.

Baca juga: Kakak George Floyd Tuntut Derek Chauvin Didakwa Pembunuhan Tingkat Pertama

Risiko penyebaran virus corona

Meskipun banyak pengunjuk rasa yang menggunakan masker, sebagian besar lainnya tak menggunakannya.

SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan penyakit Covid-19, disebarkan melalui tetesan pernapasan saat orang berbicara, batuk, atau bersin.

"Berteriak saat protes juga dapat mempercepat penyebaran ini," ujar Markel.

Protes ini pun telah membuat lokasi pemeriksaan virus corona di beberapa kota dan negara bagian ditutup, termasuk di Los Angeles, Philadelphia, dan Jaksonville, Florida.

Strategi polisi dengan menggunakan gas air mata dan semprotan cabai juga dinilai dapat meningkatkan penyebaran virus.

Keduanya menyebabkan batuk tanpa henti. Semprotan lada yang mengandung minyak menyebabkan keluarnya air mata, lendir, dan air liur.

"Gas air mata dan semprotan cabai adalah hal terakhir yang akan saya gunakan dalam periode waktu ini, untuk alasan tersebut," kata Dr Howard Markel, seperti diberitakan The Guardian, Rabu (3/6/2020).

Selain itu, emosi yang memuncak disebut Markel membuat orang tidak lagi menyadari hal-hal yang harus dilakukan untuk menghindari penyebaran virus.

Namun, kekhawatiran terbesar yang menjadi perhatian sejak awal pandemi adalah saat penularan virus dilakukan oleh orang-orang yang tidak menunjukkan gejala apa pun.

Mereka merasa cukup sehat untuk turut serta dalam protes dan secara tidak sadar menyebarkan virus kepada orang lain.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi