Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik Fenomena Mukbang, Tetap Laris Meski Tampilkan Makan Ekstrem

Baca di App
Lihat Foto
shutterstock
Ilustrasi makan berlebihan
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Dalam era internet seperti saat ini, sejumlah tayangan menarik pun tersaji lengkap di dalam platform penyedia video, seperti YouTube.

Tak hanya video musik, tutorial makeup, dan tutorial memasak, masyarakat juga menyukai video mukbang atau tindakan makan banyak yang dilakukan oleh seseorang.

Namun, tidak hanya makan dalam porsi banyak atau besar, fenomena mukbang juga acapkali dilakukan dengan menu makanan ekstrem.

Makanan ekstrem yang tidak biasa dikonsumsi dalam jumlah besar yakni mi instan dengan level sangat pedas yang dikonsumsi oleh salah satu YouTuber.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas, bagaimana tanggapan mukbang ekstrem ini bagi pengamat?

Baca juga: Cerita Bunga, Gadis Kecil yang Viral dengan Video Mukbang Versi Bahasa Jawa

Konten kuliner daya tarik ke masyarakat

Pengamat media sosial, Iwan Setyawan mengungkapkan, secara umum bahwa konten kuliner memang disukai oleh masyarakat.

Sebab, kuliner merupakan tindakan santap sajian yang dekat dengan apa yang dilakukan orang-orang dalam keseharian yakni makan.

"Dengan YouTube, orang bisa mengeksplorasi keanekaragaman budaya kuliner dari mana pun, mendapatkan gambaran bagaimana cara membuatnya, rasanya, teksturnya, warnanya, bahkan aromanya," ujar Iwan saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (6/6/2020).

Selain itu, dengan kecanggihan teknologi komunikasi, hampir semua orang bisa membuat konten kuliner yang datang dari pengalaman sehari-hari baik di rumah, saat di restoran, atau ketika travelling.

Baca juga: 7 Kuliner Pedas Korea yang Pakai Gochujang, Sering Muncul pada Drama

Harus menarik dan berlomba lebih ekstrem 

Menurut analisis Iwan, saat seseorang ingin membuat konten mukbang yang menarik, maka pembuat konten harus menyajikan konten yang tidak biasa atau sesuatu yang unik dan berbeda.

"Makanan biasa, bisa menjadi terlihat luar biasa dengan penyajian yang berbeda. Salah satunya mukbang ini. Video mukbang menjadi banyak dilakukan orang karena mudah untuk diduplikasi," ujar Iwan.

"Tinggal menambahkan porsinya menjadi jauh lebih banyak dan efek kamera yang membuat makanan tersebut menjadi terlihat raksasa," lanjut dia.

Tak hanya itu ulasan makan pun bisa menjadi menggiurkan dan mencengangkan bagi beberapa orang, begitu juga sebaliknya.

Konten seperti itu dinilai memang sengaja dibuat untuk menarik perhatian masyarakat.

Baca juga: Mengenal Fenomena Mukbang, Makan Banyak Demi Popularitas dan Uang

Apalagi mukbang dengan porsi besar bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan atau dikonsumsi secara rutin karena membahayakan kesehatan.

Selain ukuran ekstrem, tingkat kepedasan yang ekstrem membuat mukbang ini bisa membahayakan.

"Kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kamera berhenti merekam," ujar Iwan.

Ia menambahkan, jika satu video mukbang muncul, maka akan cederung diikuti oleh konten mukbang lainnya.

Hal ini dikarenakan, orang merasa tertantang bahwa mereka juga bisa melakukan, mereka juga tertantang untuk menghabiskan porsi tersebut.

"Akhirnya, banyak orang-orang melakukan mukbang ini. Berlomba-lomba menunjukkan, siapa yang yang lebih ekstrem," imbuh Iwan.

Baca juga: 5 Mi Instan Lokal yang Punya Rasa Pedas, dari Mie BonCabe hingga Pop Mie Kuah Pedes Dower

Timbulkan rasa nyaman

Di sisi lain, pengamat media sosial, Enda Nasution mengungkapkan, orang-orang gemar menonton konten mukbang karena mereka senang menonton orang makan.

"Kenapa banyak yang bikin video ini karena yang nonton banyak, kenapa yang nonton banyak, karena banyak yang suka melihat orang makan, bisa jadi serasa ikut makan, mungkin ada yang merasa tenang juga," ujar Enda.

Selain itu, menonton konten mukbang dianggap tidak membuat penonton berpikir berat dan bahkan konten tersebut mudah dimengerti dan tidak perlu konsentrasi tinggi untuk ditonton.

Kemudian, Enda menambahkan, penonton juga menjadi paham mengenai informasi tentang menu makanan yang sedang disantap, misalnya apakah makanan tersebut enak atau tidak, kisaran harga, dan lainnya.

Baca juga: Di Warung Berbagi, Bisa Makan Sepuasnya Tanpa Harus Membayar Saat Pandemi Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi