Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan di Balik Demo Besar Menuntut Kematian George Floyd di AS

Baca di App
Lihat Foto
AFP via BBC INDONESIA
Kematian George Floyd menyulut demonstrasi yang diwarnai kekerasan di AS.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Dalam sepuluh hari terakhir, Amerika Serikat menghadapi gelombang demonstran dalam jumlah besar menentang kematian George Floyd.

Floyd diketahui tewas setelah lehernya ditindih oleh Derek Chauvin, polisi yang menanggapi laporan bahwa korban memberi barang dengan uang palsu.

Gelombang protes pun meluas secara nasional, bahkan terjadi di luar Gedung Putih.

Meski isu rasial dan diskriminasi beberapa kali terjadi di AS, tetapi hal itu belum pernah membuat aksi demo besar seperti yang terjadi saat ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa aksi kali ini bisa meluas hampir di seluruh AS?

Dosen Pengkajian Amerika Universitas Gadjah Mada (UGM) Achmad Munjid mengatakan, apa yang terjadi di AS saat ini memiliki momentum berbeda jika dibandingkan sebelumnya.

Menurut dia, aksi kali ini merupakan kombinasi banyak hal, termasuk ketimpangan ekonomi, situasi politik yang semakin memanas jelang pemilu, dan cara kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Baca juga: Berbicara soal George Floyd, Bintang Porno Ini Mengaku Dikeluarkan dari Pesawat

"Saya kira ini momentumnya berbeda, jadi problemnya laten yang sudah terjadi bahkan sudah ratusan tahun tapi menemukan momentum yang memuncak sekarang ini," kata Munjid saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (6/6/2020).

"Itu karena kombinasi berbagai macam hal, ekonomi yang semakin besar gapnya, situasi politik makin memanas mendekati pemilu, presidennya yang sejak awal dia naik dengan memompa energi rasisme," lanjut dia.

Akumulasi masalah itu diperburuk dengan adanya pandemi virus corona yang memukul AS dan dunia dalam beberapa bulan terakhir.

Munjid menjelaskan, hantaman pandemi itu menguji kekuatan dan kelemahan konstruksi sosial suatu bangsa.

Kematian Floyd jadi trigger

Dengan hantaman itu, lanjut dia, rasisme di AS yang sudah laten itu kemudian muncul ke permukaan dan kematian George Floyd menjadi pemantiknya.

"Jadi dia bukan menjadi sebab, tapi dia adalah trigger-nya, sehingga dengan kombinasi macam-macam faktor itu meledaklah aksi sekarang ini," terang dia.

Menurut Munjid, orang-orang kulit hitam di AS sering menjadi korban kebrutalan polisi dari tahun ke tahun, seperti yang terjadi di Georgia pada Februari lalu, kerusuhan di Virginia pada 2017 yang dipicu oleh gerakan ultra nasionalis kulit putih, dan lain-lain.

Aksi-aksi protes pun bukan pertama kalinya. Pada pertengahan 1960-an, terjadi gerakan Civil Right Movement dengan skala sebesar ini.

Meski demikian, semakin besar gerakan mendukung kesederajatan itu, maka ketakutan orang kulit putih akan previlege-nya direbut pun semakin besar.

Baca juga: Unjuk Rasa Kasus George Floyd dan Kekhawatiran Klaster Baru Covid-19 di AS...

"Katakanlah sekarang ini pasti ada langkah maju, tapi langkah maju itu bukan tidak akan mengakibatkan munculnya back clash. Itu ibarat gelombang, semakin keras hempasannya maka akan muncul gelombang balik yang juga besar," kata Munjid.

Selain itu, ketimpangan ekonomi yang terjadi selama pandemi juga menjadi salah satu pemicu gelombang demonstran itu.

Munjid mengatakan, sebuah laporan yang dikeluarkan minggu lalu menyebutkan, harta orang-orang kaya di AS justru meningkat berkali lipat selama dua bulan pandemi.

Hal itu bertolak belakang dengan banyaknya warga AS yang kehilangan pekerjaan dan angka pengangguran yang meningkat tajam.

"Itu kan menunjukkan struktur ekonomi yang sangat timpang," kata Munjid.

Isu rasial di AS

Mengapa rasisme masih terjadi di AS dan bisa memicu gelombang aksi besar seperti ini?

Menurut Munjid, masalah rasisme di Amerika sangatlah kompleks.

Para presiden AS, kata dia, menekankan penyelesaian isu rasial ini dengan cara masing-masing.

Akan tetapi, hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Gerakan-gerakan mendukung kesetaraan pun seringkali dilakukan. Namun, ketika gerakan itu membesar, perlawanan besar juga datang dari ultra nasional kulit putih karena khawatir hak istimewa mereka direnggut.

"Ibarat gelombang, semakin keras hempasannya maka akan muncul gelombang balik yang juga besar," kata Munjid.

Dia mencontohkan, kemenangan Barack Obama sebagai capaian gerakan kesetaraan di AS. Kemenangan itu kemudian "dibayar" dengan kemengan Donald Trump yang anti dengan itu.

Munjid pun menyinggung pidato pendeta Al Sharpton pada upacara pemakaman George Floyd yang disebutnya menggambarkan kondisi di AS saat ini.

"Berulang kali dia mengatakan, 'Sebenarnya kami orang-orang African American mampu dalam bidang pendidikan, tapi karena leher kami ditekan dengan lutut kalian, kami enggak bisa melakukan itu'" kata dia.

Oleh karena itu, ia menilai, apa yang terjadi pada George Floyd dibaca secara simbolik bahwa sekian ratusan tahun dari masa perbudakan sampai sekarang, orang kulit hitam selalu dicurigai. 

"Dengan melihat sejarah panjang itu, enggak mungkin kita berharap akan langsung semua berubah dalam waktu segera," ujar Munjid.

Baca juga: Israel Adesanya Ungkap Ketakutan Warga Kulit Putih saat Pidato Aksi George Floyd

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi