Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Jenazah PDP Corona Diambil Paksa Keluarga, Mengapa Bisa Terjadi?

Baca di App
Lihat Foto
Istimewa
Pengambilan paksa dan membawa kabur jenazah dari rumah sakit kembali terjadi. Kali ini, terjadi di RS Stellamaris Makassar. Sekitar 150 orang tiba-tiba datang mengambil paksa jenazah yang berstatus PDP, Minggu (7/6/2020) malam.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Dalam beberapa hari terakhir, kabar mengenai jenazah pasien dalam pemantauan (PDP) yang diambil paksa keluarga semakin kerap terdengar.

Salah satunya yang terjadi di Rumah Sakit Stella Maris, Makassar. Bahkan di rumah sakit tersebut, sudah tiga jenazah PDP yang diambil paksa pihak keluarga.

Pihak keluarga menolak pemakaman sesuai protokol Covid-19 dengan alasan jenazah bukan pasien positif. Rumah sakit pun tak bisa berbuat banyak menghadapi permintaan keluarga tersebut.

Baca juga: Sudah 3 Jenazah PDP Corona Diambil Paksa dari RS Stella Maris Makassar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas, mengapa hal itu bisa terjadi?

Standar pemerintah dan masyarakat

Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan kejadian-kejadian seperti itu muncul dikarenakan adanya pertentangan antara standar yang dimiliki oleh pemerintah dengan konstruksi sosial masyarakat.

Dalam hal ini pemerintah bergerak secara formal, sementara masyarakat secara sosial kultural.

"Apa yang bertentangan? kalau pemerintah bergeraknya secara formal, sedangkan masyarakat secara sosial kultural. Nah, ini tidak terjembatani," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Senin (7/6/2020).

Dalam konstruksi sosial, menurutnya, masyarakat menganggap pengurusan jenazah sebagai bagian dari ritus of passage, yaitu ritual-ritual kehidupan manusia sejak hidup hingga mati dan melibatkan orang lain.

Ritual-ritual kehidupan itu bisa berupa peringatan kelahiran dan kematian. Jika tidak dilakukan, akan ada hukum sosial yang menantinya.

"Kalau tidak melakukan itu secara kultural, dia juga akan dihukum dengan sanksi sosial, misal menjadi anak yang tidak hormat dengan orang tua," jelas dia.

"Hal-hal seperti itu masih melekat kuat di dalam masyarakat atau istilah sosiologinya disebut dengan tindakan berorientasi nilai," tambahnya.

Baca juga: Fakta Keluarga Bongkar Plastik Jenazah PDP Virus Corona, Sempat Umrah dan Hasil Tes Belum Keluar

Pendekatan Konstruktif

Melihat kondisi tersebut, Drajat menyebut harus ada titik-titik kompromi yang dibuat antara ke dua pihak, yaitu pemerintah dan pihak keluarga. 

Sayangnya, pemerintah sejauh ini tak mau kompromi dengan hal itu dan cenderung menggunakan pendekatan positivistik, bukan pendekatan konstruktif.

"Kalau positivistik kan asumsinya masyarakat tidak ngerti apa-apa, komunikasinya satu arah. Sementara pendekatan konstruktif itu kan mendengarkan, bagaimana sih variasi masyarakat itu. Itu yang kemudian menyebabkan orang tidak punya pilihan lain," terang dia.

Misalnya, kata Drajat, masyarakat bisa mengizinkan salah satu anggota keluarga dalam pengurusan jenazah dengan menggunakan protokol ketat dan alat pelindung diri (APD) secara lengkap.

Bagian yang terpenting menurut Drajat adalah ada anggota keluarga yang ikut terlibat dalam pengurusan itu, bukan hanya dilakukan semuanya oleh petugas.

"Kalau yang memandikan di rumah sakit itu empat orang, bisa kasih kesempatan satu anggota keluarga untuk ikut dengan APD lengkap, kan tidak apa-apa, minimal bagian ambil air, yang penting kan ikut," kata Drajat.

"Itu kan ngelegakke (melegakan). Jadi ada anggota keluarga yang ikut campur, bukan semuanya petugas. Seolah-olah keluarga ini tidak diberi kesempatan untuk melakukan ritual of passage tadi, ritual kehidupan," sambungnya.

Baca juga: Masyarakat yang Ambil Paksa Jenazah PDP Corona di RS Bakal Dijerat Pidana

Menurut Drajat, inilah yang menyebabkan terjadinya gap antara masyarakat dan pemerintah, sehingga terjadi konflik untuk menuntut hak-hak mereka atas keluarganya.

Padahal, jika pemerintah tak bisa diajak kompromi, masyarakat justru bertindak dengan cara sendiri yang tentu akan lebih berbahaya.

"Caranya sendiri ini mesti enggak ikut protokol pemerintah, itu justru lebih berbahaya. Lebih baik memfasilitasi atau melakukan kompromi daripada terjadi penolakan-penolakan seperti itu," jelas dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi