Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Episentrum Baru, Ini Alasan di Balik Tingginya Kasus Virus Corona di Brazil

Baca di App
Lihat Foto
https://pixabay.com/Alexey_Hulsov
Ilustrasi virus corona dunia
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Di saat sebagian besar negara perlahan mulai melonggarkan penguncian setetelah adanya penurunan kasus, Brazil secara mengejutkan menjadi titik episentrum baru virus corona.

Kini, Negeri Samba memiliki kasus infeksi tertinggi kedua setelah Amerika Serikat dengan 802.828 kasus, berdasarkan data Johns Hopkins University.

Selain itu, angka kematian akibat Covid-19 di negara itu juga terbilang tinggi. Tercatat, ada 40.919 orang meninggal dunia di Brazail. Angka ini di bawah AS dan Inggris.

Mengapa Brazil bisa begitu terpukul oleh virus corona?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah yang meremehkan

Presiden Brazil Jair Bolsonaro menghadapi sejumlah kecaman ketika ia menganggap remeh virus corona dengan menyebutnya sebagai "sedikit flu" yang mudah diatasi oleh Brazil.

Dia bahkan mendapat julukan Trump of the Tropics karena semangat populisnya dan pendekatan anti-sains terhadap pemerintah.

Bolsonaro bahkan meminta semua orang untuk menghadiri protes anti-lockdown dan bersikeras tak ada yang lebih penting daripada ekonomi.

Melansir Aljazeera, 9 Mei 2020, jurnal medis ternama dunia The Lancet menggambarkan Bolsonaro sebagai ancaman besar bagi kesehatan masyarakat Brazil.

Pada April 2020, ketika jumlah korban melampaui 5.000, dia mengatakan kepada pers, "Jadi apa? Aku berkabung, tapi apa yang kamu ingin aku lakukan untuk itu?".

Politisasi Covid-19

ABC, 24 Mei 2020, memberitakan, Kepala Penasihat Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Julio Croda mengungkapkan skenario terburuk yang dihadapi Brazil pada Februari 2020.

Croda menjelaskan kebijakan secara terperinci, termasuk jaga jarak sosial. Namun, hal itu ditolak oleh Bolsonaro.

Croda pun terpaksa mengundurkan diri.

"Selama waktu ini, ada perseteruan antara Menteri Kesehatan Mandetta dan Presiden Bolsonaro tentang rekomendasi ini. Untuk alasan ini, saya memutuskan untuk meninggalkan pemerintah. Sangat sulit karena saya ingin membantu, saya ingin mendukung kesehatan masyarakat," kata Croda.

Tiga minggu kemudian, Menteri Kesehatan Luiz Henrique Mandetta pun dipecat.

Mandetta digantikan oleh Nelson Teich yang kemudian mengundurkan diri sebulan setelah itu.

"Pandemi ini telah menjadi masalah politik. Ini masalahnya," Jelas Croda.

Baca juga: Angka Kematian akibat Covid-19 di Brazil Tertinggi Ketiga di Dunia, Ini Kisah Pengantar Jenazah

Sistem kesehatan kurang memadai

Dalam editorialnya, The Lancet menguraikan tantangan yang dihadapi oleh Brazil.

Sekitar 13 juta orang Brasil tinggal di kota-kota kumuh, sebuah wilayah yang nyaris mustahil untuk menerapkan rekomendasi kebersihan dan jarak fisik.

Di Paradise City, daerah terbesar kedua di Sao Paulo, 100.000 penduduknya tak pernah memiliki akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan sanitasi yang layak.

Meski Brazil memiliki pengalaman dalam mengatasi virus Zika dan HIV, tetapi kasus virus corona bisa menjadi badai bagi negara itu.

Croda menyebut kurangnya kapasitas pengujian dan 80 kota tak memiliki tempat perawatan intensif merupakan alasan badai virus corona benar-benar menghantam Brazil.

"Ketika Anda tidak memiliki tempat tidur ICU, kematian yang terkait dengan penyakit juga meningkat," jelas dia.

Bahkan, di wilayah yang didiami oleh kelompok adat, banyak rumah sakit yang kekurangan staf.

Beberapa pasien Covid-19 yang kritis harus dievakuasi menggunakan pesawat.

Wali Kota Manaus menyebut apa yang terjadi pada rakyatnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Saya takut genosida dan saya ingin mengutuk hal ini ke seluruh dunia. Kami memiliki pemerintahan di sini yang tidak peduli dengan kehidupan orang," kata dia.

Baca juga: Cerita Nenek di Brazil: Kehilangan 5 Keluarganya dalam Sebulan Akibat Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi