Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Negara Dituding Sepelekan Kasus Novel...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ABDUL WAHAB
Pelaku penyiraman air keras Penyidik KPK Novel Baswedan dibawa petugas untuk dipindahkan ke Bareskrim Mabes Polri di Polda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (28/12/2019). Polisi berhasil mengamankan dua pelaku yang merupakan anggota Polri aktif dengan insial RM dan RB.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Tuntutan satu tahun penjara yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dua terdakwa penyiram air keras Novel Baswedan mendapatkan reaksi beragam di tengah masyarakat.

Banyak yang menilai tuntutan JPU tersebut terlalu ringan, dan membandingkan kasus tersebut dengan kasus penyiraman air keras di sejumlah daerah lain.

Semisal kasus di PN Denpasar yang dituntut 3,5 tahun, kasus di PN Bengkulu yang dituntut 10 tahun hingga kasus di PN Pekalongan yang dituntut 10 tahun, seperti diungkapkan oleh Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman seperti diberitakan Kompas.com (12/6/2020).

Baca juga: Disebut Pengkhianat oleh Pelaku, Ini Kasus Korupsi Kepolisian yang Pernah Ditangani Novel Baswedan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai tuntutan terdakwa pelaku penyiraman Novel yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis tersebut terlalu ringan dan menunjukkan separuh hati pemerintah, khususnya kepolisian dan kejaksaan dalam mengusut kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.

Selain itu, menurutnya negara tampak tidak serius menangani kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan.

"Tuntutan yang hanya 1 tahun penjara itu memperlihatkan jika negara menyepelekan kasus Novel," ujar Usman saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/6/2020).

Usman mengungkapkan, jaksa yang bertugas mewakili negara untuk menuntut pelaku penyerang terhadap Novel, memang sejak awal tak yakin siapa pelakunya.

Baca juga: Pelakunya Tertangkap, Berikut Perjalanan Kasus Novel Baswedan sejak 2017

Keadilan hukum yang sesat

Usman menambahkan, penuntutan semacam ini hanya akan berpotensi menjadi keadilan hukum yang sesat atau miscarriage of justice.

Terlebih, menurutnya kasus Novel ini merupakan satu simbol dari masalah struktural korupsi di Indonesia.

Namun, hal itu justru tidak sejalan dengan pengusutan kasus penyiraman air keras terhadapnya yang dirasa lemah.

"Proses hukum yang lemah atas kasusnya mencerminkan kuatnya kekuatan yang anti hak asasi manusia seorang Novel, anti lembaga seperti KPK, anti agenda pemberantasan korupsi dan anti semangat reformasi," ungkapnya.

Baca juga: Beragam Respons soal Penangkapan Penyerang Novel Baswedan...

Alami kemunduran

Usman berpandangan, penanganan kasus Novel juga menjadi cermin bahwa penindakan kasus hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami kemunduran.

Menurutnya tuntutan yang rendah terhadap penyerang Novel Baswedan jelas mencederai rasa keadilan di negara ini.

"Pelaku, yang bisa saja membunuh Novel, tetap dikenakan pasal penganiayaan, sementara Novel harus menanggung akibat perbuatan pelaku seumur hidup," jelas Usman.

Menurut dia, insiden yang menimpa Novel ini bukan hanya soal teror tetapi juga menjadi masalah serius yang mengancam kelanjutan pelaksanaan agenda reformasi di Indonesia.

Baca juga: Selain Novel, Dewi Tanjung Pernah Laporkan Amien Rais hingga Habib Rizieq

Khususnya, dalam bidang pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.

"Pelaku kunci harus diungkap. Kasus-kasus high profile yang menyasar pembela HAM seperti penyerangan Novel ini mengingatkan kita akan kasus Munir," papar Usman.

"Motif yang terungkap di pengadilan juga sama, dendam pribadi. Ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya," sambungnya.

Usman juga membandingkan tuntutan ringan dua terdakwa penyerangan Novel, yang merupakan anggota Polri aktif, dengan sejumlah tahanan Papua.

Menurutnya, para tahanan Papua justru terancam hukuman hingga belasan tahun.

"Hukum menjadi dipertanyakan dan keseriusan Indonesia untuk menegakkan HAM juga dipertanyakan," jelas Usman.

Baca juga: Jalan Panjang Novel Baswedan, dari Sarang Burung Walet hingga Tudingan Tukar Guling Perkara

Sebagaimana diberitakan, dua terdakwa penyiram air keras terhadap penyidik Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis dituntut hukuman satu tahun penjara di persidangan.

JPU menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terenana yang mengakibatkan luka-luka berat.

Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel karena menggunakan cairan asam sulfat atau H2SO4 untuk menyiram penyidik senior KPK itu.

Sedangkan, Rony yang juga dituntut hukuman satu tahun penjara dianggap terlibat dalam penganiayaan karena ia membantu Rahmat dalam melakukan aksinya.

Atas perbuatannya itu, Rahmat dan Rony dinilai telah melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.

Baca juga: Mengapa Kasus Novel Baswedan Selalu Jadi Perhatian Publik?

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Perjalanan Kasus Novel Baswedan

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi