Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Kasus Novel, Mantan Pimpinan KPK: Tuntutan JPU Bukan Kata Akhir

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Informasi perihal tuntutan satu tahun penjara kepada penyerang Novel Baswedan ramai dibicarakan publik, terutama para warganet, Jumat (12/6/2020).

Ada yang menilai tuntutan yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sewaktu persidangan yang digelar di PN Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020) tersebut terlalu ringan.

Jaksa menilai Rahmat Kadir, salah satu terdakwa penyerang Novel tak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah penyidik senior KPK tersebut.

Baca juga: Saat Negara Dituding Sepelekan Kasus Novel...

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hingga Jumat sore, ada lebih dari 5.080 twit dengan tanda pagar #NovelBaswedan.

Baca juga: Pelakunya Tertangkap, Berikut Perjalanan Kasus Novel Baswedan sejak 2017

Menanggapi soal tuntutan itu, mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas menegaskan proses persidangan masih berjalan dan pihaknya meminta masyarakat tidak khawatir.

"Tuntutan JPU bukan kata akhir, dan vonis hakim kelak tidak wajib mengikuti tuntutan JPU," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/6/2020).

Kendati demikian, pihaknya meminta publik tetap mengawal proses hukum yang saat ini masih berjalan.

"Kita harus percaya bahwa Yang Mulia Hakim punya pertimbangan kemanusiaan yang juga mulia," paparnya.

Dihubungi terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menanggapi tuntutan 1 tahun itu sangat tidak logis.

"Ini menurut saya sama sekali tidak logis, tuntutan 1 tahun ini. Menghina akal sehat, dan mencederai rasa keadilan masyarakat," katanya pada Kompas.com, Jumat (12/6/2020).

Tuntutan satu tahun terhadap Novel Baswedan tersebut, imbuhnya menunjukkan bobroknya sistem hukum di Indonesia.

Baca juga: Deretan Pernyataan Mahfud MD, dari Hak Veto hingga Hukum Arab

Kenapa demikian? Menurutnya, tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh para terdakwa itu dilakukan dengan berencana.

Dikatakan berencana karena menurut Rohman sejak awal pelaku sudah menyiapkan air keras.

Menanggapi jaksa penuntut umum yang mengatakan terdakwa sebenarnya hendak mengenai badan tapi mengenai muka, menurut Rohman itu juga tidak logis.

"Ini juga menurut saya sangat mengejek akal sehat rakyat Indonesia, karena pelaku ini anggota Brimob, orang dengan keterampilan tinggi, orang yang melaksanakan tugas-tugas berat dan dibekali dengan skill yang mumpuni," katanya.

Selain itu, menurut Rohman banyak sekali kejanggalan. Hal itu seperti tidak diungkapnya aktor intelektual dan motif dalam kasus tersebut.

Para terdakwa pun dinilai hanya menyerahkan diri, tidak diburu polisi.

"Dan itu sejak awal sudah dikhawatirkan oleh para pihak karena kasus ini sendiri sejak awal berlarut-larut," kata Rohman.

Dia melanjutkan, ini semua menunjukkan bahwa kasus tersebut penuh dengan setting-an.

Baca juga: Sekilas tentang Kasus Nurhadi, Mantan Sekretaris MA yang Sempat Menjadi Buronan KPK...

Sesuai dakwaan primer

Menurutnya, para terdakwa sudah sepantasnya dituntut maksimal sesuai dengan pasal 355, sesuai dakwaan primer.

"Tuntutan satu tahun itu bukan tuntutan maksimal," kata dia.

Rohman mengatakan perkara Novel merupakan perkara yang sangat serius karena mengakibatkan korban mengalami luka berat.

Luka berat itu bahkan membuat korban tidak mampu lagi melaksanakan pekerjaan sebagai penyidik KPK.

"Dan ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh jaksa penuntut umum," ujarnya.

Baca juga: Mengapa Kasus Novel Baswedan Selalu Jadi Perhatian Publik?

Rohman mengatakan seharusnya terdakwa dituntut maksimal, yaitu 12 tahun sesuai pasal 355 ayat 1 KUHP.

Dampak tuntutan ringan menurutnya antara lain:

  • Mencederai rasa keadilan masyarakat
  • Jadi preseden buruk ke depan. Aparat penegak hukum khususnya KPK semakin rentan terhadap serangan. Tidak ada lagi yang khawatir dengan konsekuensi hukumnya.
  • Terjadi disparitas dengan kasus-kasus penganiayaan lainnya.

Menurut Rohman, saat ini yang bisa dilakukan hanya berharap pada hakim.

"Diharapkan hakim tidak terikat dengan tuntutan jaksa penuntut umum," kata dia.

Di dalam perkara pidana, hakim bisa memutus sendiri, hakim bisa memutus secara bebas, sesuai dengan kebenaran materiil yang didapat oleh hakim.

"Harapan terakhir ada di hakim, apakah hakimnya juga masih bisa diharapkan atau masih larut dalam setting-an ini," pungkasnya.

Baca juga: Beragam Respons soal Penangkapan Penyerang Novel Baswedan...

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Perjalanan Kasus Novel Baswedan

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi