Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral, Utas Kisah Raffy yang Memilih Jadi Petani Setelah Lulus Kuliah

Baca di App
Lihat Foto
Tangkapan layar unggahan Twitter yang mengisahkan seorang alumni HI UGM memilih untuk menjadi petani
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Sebuah unggahan yang menceritakan kisah seorang alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) viral di media sosial Twitter.

Dalam unggahannya, akun @tanikelana menceritakan pilihannya menjadi seorang petani setelah lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM.

"Tujuh bulan lalu aku lulus dari Fisipol UGM. Januari lalu akhirnya aku pulang kampung, dan bulan Maret aku mulai ambil cangkul dan pergi ke kebun. Sedikit cerita tentang memilih jalan seorang petani!" demikian tulis @tanikelana.

Hingga Minggu (14/6/2020) malam, cerita yang dibagikan akun itu telah di-retweet sebanyak lebih dari 12.500 kali.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Jadi Pilihan Selama di Rumah Saja, Ini Tips Bercocok Tanam di Lahan Terbatas

Memilih menjadi petani

Pemilik akun @tanikelana adalah Michael Raffy Sujono, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UGM.

Kepada Kompas.com, Minggu (14/6/2020), Raffy berbagi ceritanya. Ia mengaku sudah lama menggeluti hobi bercocok tanam.

Namun, hobi itu berkembang menjadi ketertarikan secara serius ketika ia bergabung dengan Sekolah Tani Muda (Sektimuda) saat akhir masa kuliahnya.

"Sebenarnya dari dulu saya memang punya ketertarikan terhadap dunia pertanian, semacam hobi. Tapi, di akhir kuliah saya ikut komunitas Sektimuda. Akhirnya hobi itu berkembang jadi ketertarikan secara serius," kata Raffy, saat dihubungi.

Dari komunitas itu, ia banyak belajar kepada para petani dan praktisi mengenai cara menanam dan membuat pupuk.

Alasan lain yang mendorongnya untuk menjadi seorang petani adalah realitas sistem dan kebijakan yang perlu diubah. 

Ia mengakui, tak banyak orang yang memilih untuk melakukan perubahan itu dari perspektif petani.

"Saya melihat bahwa masih jarang teman-teman yang mengambil dari perspektif petani sendiri, sehingga upaya membantu itu dilihat hanya obyek semata," jelas dia.

"Ini menurut saya kurang cocok karena relasi yang dibangun tidak setara. Saya berpikir bahwa jauh lebih baik jadi petani langsung agar bisa melihat masalah sesungguhnya di lapangan," lanjut dia.

Raffy bersyukur, pilihannya menjadi petani mendapat dukungan dari keluarga dan semua orang di lingkungannya.

Menurut dia, dukungan tersebut membuat jalannya menjadi mudah.

Setelah menyelesaikan kuliahnya tujuh bulan lalu, Raffy kembali ke kampung halamannya di Sukabumi, Jawa Barat, dan mulai bertani.

Baca juga: Cara Menyadarkan Masyarakat Agar Teknik Bertani Tanpa Pembakaran Lahan

Sejak Maret 2020, Raffy telah menanam beberapa jenis tanaman, seperti kangkung, bayam, cabai, dan timun, di lahan desa yang disewanya.

Dari empat jenis tanaman itu, hanya kangkung dan bayam yang mampu bertahan sampai panen.

"Alhamdulillah sudah panen kangkung bayam, saya sudah menanam cabai belum berhasil, sempat menanam timun, tapi gagal karena dimakan hama," jelas dia.

Hasil panen ia salurkan melalui para pedagang sayur.

"Sekarang lagi menanam bayam dan cabai, tapi tanahnya belum seberapa bagus. Jadi seperti mengulangi kesalahan yang sama, karena lahan di indonesia ini sudah kritis karena penggunaan pestisida," kata Raffy.

Menurut dia, banyak tantangan yang dihadapi ketika memilih jalan ini. Menurut dia, tata kelola yang kurang baik, biaya produksi tinggi, dan harga panen yang murah merupakan tantangan yang harus dihadapi.

Hal ini yang dinilainya mungkin menjadi alasan mengapa tak banyak anak muda yang menjadi petani.

Selain itu, cuaca yang tak menentu membuat kemungkinan gagal panen semakin besar.

"Teman-teman kalau melihat secara rasional pasti banyak yang mundur," kata Raffy.

Baca juga: Kisah Petani di Desa Terpencil: Merantau ke Jakarta Saat Kemarau, Kembali Bertani Saat Penghujan

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi