Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai Penolakan Warga untuk Rapid Test, Sosiolog Sarankan Libatkan Tokoh Masyarakat

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/IST
Dishub Salatiga mengadakan rapid test massal
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Penyebaran virus corona di Indonesia menyimpan beragam cerita.

Setelah beberapa waktu lalu banyak terjadi pengambilan paksa jenazah, kini muncul cerita penolakan warga untuk menjalani rapid test.

Penolakan tersebut terjadi di beberapa tempat di Indonesia.

Di Kota Makassar, misalnya, warga memasang spanduk bertuliskan menolak rapid test dan memblokade pintu masuk ke permukiman warga menggunakan kayu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selain itu, penolakan juga terjadi di Desa Sagu, Kecamatan Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Baca juga: 5 Pedagang di Pasar Jatibaru Diminta Isolasi Mandiri Setelah Hasil Rapid Test Reaktif

Sebanyak 21 warga yang diduga melakukan kontak dengan pasien positif menolak menjalani rapid test.

Menanggapi hal itu, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menyarankan agar pemerintah mengubah pendekatan yang dilakukan.

Menurut dia, pendekatan pemerintah yang selama ini hanya berdasarkan kesehatan perlu diubah menjadi sebuah promosi kesehatan yang memberdayakan masyarakat.

"Menurut saya, harus dilakukan strategi dari pendekatan yang hanya mendasarkan kesehatan, rapid test dalam rangka untuk melakukan pengujian Covid-19 menjadi sebuah upaya promosi kesehatan yang memberdayakan masyarakat," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/6/2020).

Baca juga: Hasil Rapid Test, 1 Anggota DPRD Tasikmalaya Dinyatakan Reaktif

Libatkan tokoh agama

Drajat memaparkan, promosi kesehatan tersebut harus melibatkan sejumlah kalangan, termasuk tokoh masyarakat dan tokoh agama.

Menurut dia, masyarakat perlu mendapatkan pemahaman tentang rapid test dan segala sesuatu yang berhubungan dengan metode tes itu.

"Mereka kemudian diberi pemahaman tentang rapid test dan apa efeknya, apakah selalu berakibat pada konfirmasi Covid-19," jelas dia.

Sebab, selama ini Drajat memandang pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang rapid test terbilang minim.

Hal itu menimbulkan stigma negatif terhadap berbagai upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah.

"Apalagi sekarang orang mulai berpikir bahwa rapid bagian dari bisnis, sehingga orang merasa kalau rapid test maka dia harus mengeluarkan biaya," papar dia.

Baca juga: ASN Berstatus PDP Meninggal, 117 Pegawai Dinas Pendidikan Gresik Jalani Rapid Test

Menurut dia, keterlibatan tokoh masyarakat sangat diperlukan untuk membangun konstruksi bersama yang sejalan dengan pemerintah.

Jika tidak, tambah dia, akan ada perbedaan antara apa yang dikonstruksi negara dan apa yang dikonstruksi sosial.

Hal itu justru membuat inovasi pemerintah, dalam hal ini rapid test, akan diabaikan oleh masyarakat.

Jika fase pertama tersebut sudah dilakukan dan masyarakat sudah mulai paham dari berbagai sisi, baru kemudian tes itu bisa dilakukan.

"Kalau memang sudah kelihatan penerimaan positif, barulah inovasi itu disebarkan, tapi kalau belum siap dilakukan lagi pembelajaran lagi," kata Drajat.

"Saya yakin itu tidak akan terlalu sulit dibandingkan risiko ketika langsung diterapkan, kemudian terjadi penolakan atau istilahnya penelantaran inovasi sebagai lawan dari adopsi inovasi," tambah dia. 

Baca juga: Bupati Sukabumi Akui Ada 3 Pejabat ASN yang Rapid Test-nya Reaktif

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi