Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

New Normal, Ini yang Diprediksi Terjadi pada Pariwisata Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/GUITAR PHOTOGRAPHER
Ilustrasi wisatawan sedang liburan di Pantai Kelingking, Nusa Penida, Bali.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Lebih dari lima bulan sejak pandemi virus corona pertama kali dilaporkan di Wuhan, China, banyak negara di dunia kini secara perlahan mulai melonggarkan pembatasan.

Pelonggaran pembatasan itu dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian negara yang hancur akibat lumpuhnya aktivitas masyarakat.

New normal atau kenormalan baru menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut kehidupan pasca-pandemi dengan beragam protokol kesehatan demi mencegah terjadinya gelombang kedua infeksi.

Di Indonesia, arah menuju kenormalan baru mulai terlilhat seiring pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aktivitas masyarakat kini mulai hidup kembali dengan dibukanya sejumlah tempat publik, tak terkecuali pariwisata.

Baca juga: Apa Itu Travel Bubble?

Apakah pandemi Covid-19 ini memengaruhi dunia pariwisata Indonesia?

Pergeseran minat wisata

Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azhari mengatakan, kecenderungan wisata ke depan akan bergeser dari quality tourism menjadi special interest tourism atau wisata minat khusus.

Dengan pergeseran kecenderungan tersebut, ada empat hal yang kini menjadi pertimbangan masyarakat ketika akan berwisata.

Pertama, kebersihan tempat wisata dan sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku.

"Pertama, harus bersih. Kalau tidak, mereka enggak mau datang. Protokol kesehatan tidak benar, ya sudah," kata Azril saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/6/2020).

Akan tetapi, Azril mengatakan, untuk kategori pertama ini, Indonesia mendapatkan rapor merah dalam beberapa tahun terakhir.

Kedua, wisata akan cenderung terjadi dalam kelompok kecil karena adanya kebijakan physical/social distancing.

Ketiga, price sensitivity atau sensitifitas harga. Penerapan protokol kesehatan yang memakan biaya besar membuat banyak pihak mengeluh.

"Garuda sudah berteriak sekarang. Dia bilang harga protokol kesehatan itu lebih mahal dari harga tiket, kemudian kapasitas penumpang yang dikurangi," jelas dia.

Di sisi lain, kemungkinan kenaikan tarif justru terjadi ketika daya beli masyarakat turun karena banyaknya PHK.

Keempat, model promosi digital yang tak lagi seperti dulu, misalnya menggunakan virtual reality.

Oleh karena itu, Azril menyarankan pemerintah agar memberikan subsidi untuk protokol kesehatan kepada sektor-sektor yang berkaitan dengan pariwisata.

Sebab, biaya itu akan dibebankan ke swasta atau masyarakat yang berpotensi akan mempengaruhi harga tiket.

Jika harga tiket naik, maka masyarakat akan cenderung memilih wisata yang seadanya.

"Akhirnya masyarakat berwisatanya jadi yang dekat-dekat aja, uang juga tidak ada. Bagaimana wisata lokalnya mau dikembangkan, daya belinya saja turun," kata Azril.

Baca juga: Tepatkah Rencana Travel Bubble Indonesia dengan 4 Negara Ini?

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Panduan New Normal Penumpang Kereta Api

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi