Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sinergi UGM, Unair, dan Hepatika Ciptakan Rapid Test untuk Covid-19

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi rapid test Covid-19.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Kolaborasi peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), dan Laboratorium Hepatika menciptakan sebuah alat rapid test yang diberi nama Republik Indonesia Gadjah Mada Hepatika Airlangga (RIGHA).

Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Sofia Mubarika Haryana mengatakan, alat rapid test yang beradar selama ini tak ada yang buatan dalam negeri.

Menurutnya, proyek pembuatan alat tes ini sudah didiskusikan sejak Maret 2020 lalu ketika virus corona mulai merebak di Indonesia.

Baca juga: Jenis Virus Corona di Indonesia Disebut Tak Masuk Kategori yang Ada di Dunia, Ini Penjelasan Eijkman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, karena antigen yang harus dibeli dari Wuhan, China, proses pembuatan alat tersebut pun memakan waktu lama. Padahal, pembuatan alat tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dalam waktu 2 minggu jika sudah memiliki antigan itu.

"Kita diberi tantangan dalam 2 bulan selesai, tapi kata Prof Mulyanto (ahli dari Hepatika) mengatakan 'Kalau kita punya antigen di tangan, sebenarnya dalam 2 minggu selesai'," kata Sofia saat dihubungi Kompas.com, Jumat (19/6/2020).

"Nah akhirnya kita memutuskan untuk membeli antigen, karena kalau kita mengisolasi sendiri antigen dari virus, selain persyaratannya yang rumit, purifikasi dari proteinnya juga sangat krusial," sambungnya.

Baca juga: Berikut 10 Provinsi dengan Nol Kasus Baru Covid-19

Waktu dua minggu

Setelah lebih dari satu bulan, antigen tersebut akhirnya bisa sampai ke Indonesia pada Mei 2020. Akan tetapi, antigen tersebut baru bisa digunakan pada pertengahan Mei setelah melalui proses bea cukai yang panjang.

Hanya butuh waktu 2 minggu alat itu selesai pada akhir 2020 dan diujikan untuk skala laboratorium pada 40 sampel libangkes dari pasien positif Covid-19 yang sudah dikonfirmasi menggunakan PCR.

Baca juga: Mengapa Warga di Makassar Tolak Rapid Test? Ini Penjelasan Sosiolog

Hasilnya pun menggembirakan karena memiliki sensitivitas 98 persen, lebih baik dibandingkan rapid test yang bereder.

"Dari 40 itu, kita mendapat sensitifitas 98 persen. Kalau rapid test yang beredar itu kualitasnya macem-macem, ada yang sangat jelek, ada yang cuma 30 persen, tapi ada juga yang bagus. Harganya juga lebih dari Rp 100 ribuan semua," papar dia.

Setelah melalui uji laboratorium untuk mengetahui tingkat sensitivitas, pengujian dilanjutkan ke tahap uji spesifitas yang dilakukan pada 100 serum di RSUD Mataram.

Hasilnya, diketahui alat tersebut memiliki spesifitas IgM 98 persen dan IgG 100 persen.

Baca juga: Waspada Gejala Baru Virus Corona, dari Sulit Berbicara hingga Halusinasi

Artinya, tes di skala laboratorium hasilnya sudah sangat bagus. Namun, hal itu masih tak cukup dan harus diuji di lapangan.

Menurut Sofia, uji lapangan dilakukan di beberapa rumah sakit dan puskesmas di lima kota, yaitu Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Makassar.

Uji lapangan di beberapa kota itu dilakukan untuk menghindar hasil yang bias.

"Jadi itu yang saat ini kita lakukan dan kelihatannya apa yang sudah berjalan nanti mudah-mudahan segera uji validasi akurasi untuk lapangan ini bisa diperoleh. Hasil sementara bagus. Tim di Surabaya mengatakan hasilnya konsisten," terang dia.

Baca juga: Jadi Syarat Saat Bepergian di Era New Normal, Apa Itu PCR dan Mengapa Mahal?

Produksi skala besar

Jika hasilnya bagus, maka rapid test kit buatan peneliti Indonesia tersebut akan diproduksi dengan skala besar.

Sofia menyebut banyak pihak telah menunggu hasil uji lapangan tersebut. Bahkan, pihak Kementerian Kesehatan telah memesan satu juta alat dan diikuti oleh beberapa rumah sakit di berbagai daerah.

Baca juga: Video Viral Warga Berebut Masuk Mal, Psikolog: Banyak yang Sudah Sampai Titik Jenuh dan Bosan

Soal harga, pihaknya memastikan jauh lebih terjangkau dari rapid test yang telah banyak beredar saat ini.

"Kita tidak berpikir profit. Awalnya kita menghitung 'Kita bisa nih Rp 25.000 sekali tes'. Akhirnya jatuhnya hampir Rp 50.000 karena memperhatikan banyaknya biaya yang dikeluarkan," jelas dia.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga telah melakukan pendekatan dan kolaborasi dengan industri untuk memproduksi alat tersebut.

Baca juga: Viral Gedung Mal di Jogja Disebut Ikut Bergoyang Saat Konser, Ini Penjelasannya

Meski demikian, tim peneliti tetap meminta agar pihak perusahaan nantinya tidak mematok harga jual melebihi Rp 75.000.

"Sudah ada yang berminat dan tetap kami dari peneliti minta harganya tidak boleh lebih dari Rp 75.000," katanya lagi.

Selain itu, alat tersebut juga bisa digunakan untuk mengetas orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pamantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan bahkan pasien post-infeksi.

Ia berharap, alat rapid test produk karya anak bangsa tersebut dapat membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait penanganan Covid-19.

Baca juga: Rekor 1.331 Kasus Baru Covid-19 di Indonesia, Berikut 4 Faktor Pemicunya...

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Mengenal Dexamethasone

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi