KOMPAS.com - Pemandangan langit memang selalu memesona bagi mata manusia. Awan yang berarak-arakan, kerlip bintang di tengah malam, atau rona jingga ketika matahari terbenam di cakrawala.
Manusia, sejak awal peradabannya telah berusaha memaknai berbagai fenomena langit yang terjadi. Termasuk terjadinya gerhana matahari.
Di masa lampau, gerhana matahari dikaitkan sebagai penanda akan terjadinya sebuah peristiwa buruk.
Baca juga: Gerhana Matahari Cincin Terlihat Parsial, Amankah Dilihat dengan Mata Telanjang?
Di beberapa daerah di Indonesia tempo dulu, penduduknya akan beramai-ramai menabuh benda-benda yang mengeluarkan suara yang membahana ketika terjadi gerhana.
Menurut kepercayaan mereka, ketika terjadi gerhana bulan atau matahari raksasa tengah menelan benda angkasa.
Suara yang ingar bingar dipercaya akan mengusir sang raksasa sehingga batal menelan bola yang menyala di angkasa itu.
Baca juga: 5 Hal yang Perlu Diketahui soal Berjemur di Bawah Sinar Matahari
Kisah-kisah pemakan matahari
Harian Kompas, 3 Februari 2016, memberitakan bahwa kemunculan matahari dan bulan yang teratur telah menjadi dasar perhitungan waktu manusia.
Namun, saat keteraturan dan sumber kehidupan itu terganggu, manusia masa lalu memaknai rusaknya tatanan kehidupan langit yang berdampak pada keharmonisan kehidupan Bumi. Kebetulan, gerhana sering menyertai berbagai peristiwa besar.
Masyarakat Tionghoa dulu menjadikan naga sebagai pemakan Matahari atau Bulan saat gerhana, sementara bangsa Indian di Amerika Utara menggunakan coyote. Orang Indian di Amerika Tengah dan Latin memilih jaguar.
Baca juga: Mengenal Fenomena Strawberry Moon yang Akan Muncul pada 6 Juni
Di Indonesia, beberapa etnis yang terpengaruh kuat budaya India menggunakan Bathara Kala atau Rahu sebagai pencaplok Matahari dan Bulan. Beberapa etnis dengan pengaruh budaya Tiongkok tetap naga.
Mitos berkembang mewakili bentuk pemikiran manusia yang paling sederhana. Mitos punya logika tersendiri sesuai dengan logika masyarakat pada masa tertentu.
Karena itu, meski mitos memiliki kemampuan bertahan lama dan tidak mudah terkuburkan, ia akan berubah sepanjang waktu.
Baca juga: Viral, Fenomena Awan Tsunami di Kepulauan Selayar, Ini Penjelasannya
Tak lagi ditakuti
Seiring perkembangan pemikiran manusia dan diketahuinya sistem gerak benda langit, pemahaman manusia tentang gerhana mulai berubah. Gerhana tak lagi dimaknai keganjilan, tetapi peristiwa alam biasa yang jarang terjadi.
Seiring kemajuan telekomunikasi, perburuan gerhana bukan lagi menjadi domain ilmuwan. Masyarakat awam pun kini bisa turut berburu gerhana.
Mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mendatangi berbagai tempat eksotis di Bumi yang nyaris tak terjamah, seperti Antariksa ataupun menerbangi stratosfer Bumi demi melihat gerhana.
Kemajuan telekomunikasi dan informasi juga mengubah gerhana yang semula jadi hiburan langka dan tak bisa disaksikan semua orang menjadi peristiwa alam yang bisa disaksikan siapa pun dan di mana pun.
Dengan teknologi live streaming, masyarakat di luar jalur GMT yang sempit pun tetap bisa menyaksikan keindahan gerhana yang menyihir.
Baca juga: Menilik Fenomena Masyarakat yang Nekat Ngemal dan Abaikan Protokol Kesehatan...
Gerhana matahari cincin
Diketahui peristiwa gerhana terdekat akan terjadi pada Minggu, 21 Juni 2020.
Pada hari itu, masyarakat di sejumlah wilayah Indonesia akan dapat menyaksikan fenomena langit gerhana matahari cincin (GMC).
GMC terjadi ketika piringan bulan terletak tepat di depan piringan matahari.
Saat itu, di sekeliling piringan bulan akan terlihat cincin bercahaya.
Baca juga: Daftar Wilayah di Indonesia yang Bisa Saksikan Gerhana Matahari Cincin 21 Juni 2020