Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Energi Surya Berjaya Gegara Corona

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Langit biru terlihat dari Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (8/4/2020). Sepinya aktivitas warga Ibu Kota karena pembatasan sosial membuat langit Jakarta cerah dengan tingkat polusi yang rendah.
Editor: Heru Margianto

PAGEBLUK Corona menggaris-bawahi gejala perubahan peradaban bahwa masa kejayaan energi minyak bumi segera berakhir di planet bumi ini.

Melemahnya industri penerbangan menyebabkan langit makin bersih sehingga energi surya bisa lebih leluasa makin berperan dalam mendukung gerak laju peradaban umat manusia.

Energi

Langit makin cerah dan jernih akibat polusi emisi energi minyak bumi yang merosot menyebabkan sel-sel pembangkit tenaga surya bisa bekerja lebih efektif dan produktif.

Konon pada April 2020, pembangkit tenaga surya Inggris mencapai 9,7 gigawat yang berarti 30 persen dari pasokan tenaga listrik dan 10 kali lipat kelaziman kerajaan Inggris.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasokan tenaga surya di Jerman pada April 2020 mencapai 23 persen dibanding dengan 8 persen pada April 2019.

Tidak diketahui data pasokan tenaga surya di Indonesia di kawasan tropis yang seharusnya lebih tinggi ketimbang Inggris dan Jerman yang relatif lebih kecil dalam daya penerimaan sinar matahari untuk diolah menjadi energi.

Efisiensi

Sel pembangkit tenaga surya pertama diproduksi oleh Bell Labs di New Jersey, USA pada tahun 50an abad XX dengan kadar efisiensi hanya 6 persen yang menyebabkan harganya masih sangat mahal.

Maka, saran saya pada 90-an abad XX untuk gerakan Daya Surya Masuk Desa di Indonesia dicemooh sebagai omong kosong impian orang goblok di siang hari belaka.

 

Namun sementara saya dicemooh, ternyata negara ASEAN lainnya bahkan termasuk Myanmar diam-diam secara sepi ing pamrih, rame ing gawe mewujudkan saran omong-kosong goblok saya.

Dalam perjalanan darat dari Yangoon ke Bagan pada dasawarsa 10-an abad XXI, saya takjub dan iri melihat masyarakat pedesaan Myanmar sudah asyik menggunakan panel-panel energi surya sebagai pembangkit listrik di rumah masing-masing.

Berarti kini Indonesia termasuk tertinggal dalam pendayagunaan teknologi energi surya di ASEAN, apalagi di dunia.

Teknologi

Teknologi pembangkit tenaga surya terus berkembang apalagi setelah dimanfaatkan untuk satelit maupun pesawat antariksa negara-negara adikuasa dalam persaingan ruang angkasa.

Lambat namun pasti efisiensi sel pembangkit tenaga surya terus meningkat sampai 400 persen, ditambah aplikasi terus yang meluas maka memerosotkan harga teknologi pembangkit tenaga surya.

Lambat namun pasti teknologi pembangkit tenaga surya mulai menggeser supremasi teknologi pembangkit energi dari fosil yang makin melangka di planet bumi ini.

Dapat diyakini SpaceX-nya Elon Musk lebih memanfaatkan teknologi energi surya ketimbang energi fosil.

Suatu kewajaran yang tidak perlu bahkan tidak bisa diragukan lagi bahwa matahari memang merupakan pusat pembangkit tenaga listrik terbesar di alam semesta ini.

Masa depan

Pagebluk Corona makin membuktikan bahwa teknologi pembangkit tenaga surya mampu menjadi primadona energi di planet bumi dengan syarat umat manusia berhenti merusak angkasa dengan polusi buatannya sendiri akibat semangat industrialisasi global yang memberhalakan energi fosil.

Pagebluk Corona makin membuktikan bahwa sebenarnya manusia mampu menghentikan angkara murka perusakan bumi jika benar-benar peduli prahara yang jauh lebih dahsyat yaitu perubahan iklim akibat angkara murka pembangunan nirkelanjutan ingkar terhadap kesepakatan pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati para anggota PBB termasuk Indonesia sebagai pedoman pembangunan planet bumi abad XXI.

Agenda pembangunan berkelanjutan sebenarnya sangat mampu (jika mau) diwujudkan tanpa mengorbankan alam dan manusia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi