Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Sampai Jadi Episentrum Baru Virus Corona Dunia, Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO
Petugas medis melakukan pemeriksaan cepat (rapid test) Covid-19 terhadap sejumlah pedagang di Pasar Botania 2, Batam, Kepulauan Riau (15/5/2020).
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Media Sydney Morning Herald (SMH) menyebut Indonesia mungkin akan menjadi episentrum baru virus corona di dunia.

Prediksi itu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa hari terakhir, Indonesia telah mencatat lebih dari 1.000 kasus baru infeksi virus corona setiap harinya.

Para epidemiolog khawatir, angka itu akan terus meningkat dan menembus angka 60.000 kasus.

Hal yang tak kalah mengkhawatirkan adalah tingkat pengujian yang sangat rendah dan tingkat kematian yang tinggi secara proporsional.

Pakar epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Bayu Satria Wiratama mengatakan, prediksi tersebut sangat mungkin terjadi karena risiko penularan Covid-19 di Indonesia masih tinggi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sangat mungkin kalau melihat data di Indonesia, karena Indonesia masih tinggi risiko covid-19 di dalam negerinya," kata Bayu saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/6/2020).

Baca juga: Indonesia Disebut Bisa Jadi Hotspot Virus Corona Dunia, Epidemiolog: Memang Bisa

Menurut Bayu, pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah justru tak diringi dengan penurunan kasus.

Artinya, daerah-daerah di Indonesia masih memiliki risiko tinggi penularan virus corona.

Agar prediksi itu tak menjadi kenyataan, Bayu mengingatkan pemerintah untuk memperkuat sistem penanganan virus corona.

"Pemerintah harus memperkuat sistem penanganan. Yang saat ini sudah dilakukan, diperkuat lagi," jelas dia.

Salah satu strategi yang paling memungkinkan adalah terus meningkatkan jumlah tes untuk Covid-19, apalagi banyak kasus Covid-19 tidak menunjukkan gejala.

Beberapa waktu lalu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyebutkan, hampir 80 persen kasus infeksi virus corona di Indonesia tanpa gejala.

Menurut Bayu, sumber daya di Indonesia sangat mampu untuk melakukan tes dalam jumlah besar.

"Sarannya teman-teman epidemilog ya ke sana (pengetasan secara masif). Indonesia sangat mampu kok meningkatkan kapasitas tes. Sumber dayanya banyak, jadi tidak mungkin kekurangan," kata Bayu.

"Kalau bisa melakukan tes lebih banyak, kita bisa tahu gambaran pastinya berapa. Indonesia kan tesnya tidak banyak karena ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dulu," lanjut dia.

Hal yang tak kalah penting, lanjut Bayu, pengetasan secara merata di seluruh daerah.

Baca juga: Hingga 25 Juni, Ada 37.294 ODP dan 13.323 PDP Covid-19 di Indonesia

Selain itu, pemerintah daerah harus benar-benar aktif dalam menangani dan mengontrol virus corona.

Meski suatu daerah bisa mengontrol virus, infeksi akan terus terjadi jika daerah sekelilingnya belum bisa mengendalikan virus.

"Semua terjadi karena daerah sekitarnya risikonya masih tinggi dan belum bisa terkendali. Itu yang khas dari Indonesia karena memiliki lebih banyak daerah dibandingkan negara lain. jadi penanganan berbasis daerah harus kuat," kata Bayu.

Bayu juga menyoroti kebijakan pemerintah yang berencana membuka kembali pariwisata untuk turis asing.

Jika kebijakan itu tak dibarengi dengan cara penanganan dan kontrol yang tepat, wisatawan yang datang ke indonesia memiliki risiko tinggi membawa pulang infeksi.

"Itu yang ditakutkan terjadi, misal Indonesia belum siap membuka tapi dipaksa," kata dia.

Menurut Bayu, hal-hal semacam ini yang membuat negara lain menganggap Indonesia berpotensi menjadi episentrum atau sumber penularan virus corona.

Baca juga: UPDATE 25 Juni: Tambah 47, Total Pasien Covid-19 Meninggal Jadi 2.620 Orang

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Beda sakit kepala karena migrain dan Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi