Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Indonesia Disebut Bisa Jadi Episentrum Virus Corona Dunia?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/FAUZAN
Petugas kesehatan mengambil sampel lendir dari seorang anggota Satpol PP untuk dilakukan tes usap (swab test) COVID-19 di Kantor Satpol PP Kota Tangerang, Banten, Jumat (19/6/2020). Pemeriksaan tes usap kepada anggota Satpol PP tersebut dilakukan guna mendeteksi COVID-19 karena kegiatannya bersinggungan langsung dengan aktivitas masyarakat. ANTARA FOTO/Fauzan/wsj.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Kasus virus corona di Indonesia kembali menjadi perbincangan dalam beberapa hari terakhir.

Sydney Morning Herald (SMH) memberitakan, Indonesia berpotensi menjadi episentrum virus corona dunia.

Media itu menyoroti tingginya kasus infeksi harian di Indonesia yang melebihi angka 1.000 dalam beberapa hari terkahir.

Selain itu, tingginya angka kematian dan rendahnya pengujian secara proporsional juga tak luput jadi sorotan media yang bermarkas di Australia itu.

Benarkah prediksi itu?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanggapi hal itu, dosen public health di University of Derby Dono Widiatmoko mengatakan, Indonesia bahkan saat ini sudah menjadi episentrum baru virus corona dunia.

"Menurut saya sudah, bukan cuma bisa, sudah jadi episentrum baru virus corona di dunia," kata Dono saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/6/2020).

Baca juga: Ultimatum Jokowi dan Harapan Pengendalian Kasus Virus Corona di Jatim...

Dia menjelaskan, episentrum merupakan pusat terjadinya infeksi virus corona secara massal dalam populasi.

Ukuran resminya adalah laporan jumlah kasus yang terkonfirmasi oleh tes swab atau PCR.

Menurut Dono, konfirmasi melalui tes PCR itu digunakan oleh seluruh dunia sebagai case definition resmi.

"Dengan case definition saja, Indonesia kasusnya sudah berada di atas banyak negara lain, seperti negara-negara tetangga," jelas dia.

Padahal, para ahli meyakini bahwa kasus infeksi di Indonesia banyak yang tidak terdeteksi.

Sebab, ketersediaan alat PCR sangat terbatas, khususnya di awal-awal mada pandemi Covid-19 di Indonesia.

"Sering kita dengar kan pasien yang menderita sudah harus diperiksa tapi tidak mendapatkan slot pemeriksaan," kata dia.

Dengan banyaknya kasus infeksi yang tak terdeteksi itu, Dono menyebutnya sebagai the top of iceberg, yaitu puncak gunung es.

Baca juga: Saat Indonesia Disebut Bisa Jadi Hotspot Virus Corona Dunia...

Meski demikian, dia berharap agar pemerintah bisa melakukan estimasi pada kasus-kasus itu.

Ada beberapa cara estimasi, salah satunya dengan melihat kadar antibodi yang ada di populasi masyarakat Indonesia.

"Kadar antibodi ini maksudnya untuk melihat berapa persen masyarakat Indonesia yang pernah terinfeksi virus corona," ujar Dono.

"Tes ini bisa dilakukan dengan tes serelogi antibodi IgG atau IgM yang umumnya di Indonesia disebut rapid test," lanjut dia.

Meski demikian, Doni menegaskan, rapid test tak bisa mencegah penularan virus.

Sebab, rapid test hanya bisa digunakan untuk memperkirakan seberapa besar infeksi sudah terjadi di populasi.

Menurut dia, pencegahan penyakit hanya bisa dilakukan melalui PSBB, imbauan hidup sehat, seperti menggunakan masker dan cuci tangan.

Oleh karena itu, dia menganggap kebijakan pelonggaran PSBB perlu dikaji ulang karena masih berlangsungnya infeksi.

"(Pelonggaran PSBB) Harus bersumber pada data. Data ini sedapat mungkin harus pada level terendah, yaitu kabupaten atau kota," ujar Dono.

Baca juga: Jangan Sampai Jadi Episentrum Baru Virus Corona Dunia, Apa yang Harus Dilakukan Indonesia? 

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Beda sakit kepala karena migrain dan Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi