Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Covid-19 di Jatim Paling Tinggi, Bagaimana Saran Epidemiolog?

Baca di App
Lihat Foto
Zabur Karuru/ANTARA
Personel TNI-Polri dikerahkan untuk memastikan masyarakat menerapkan protokol Covid-19 selama masa transisi menuju normal baru di Jawa Timur
Penulis: Mela Arnani
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Kasus virus corona di Jawa Timur mendapat perhatian banyak pihak. Hal tersebut lantaran peningkatan kasus positif Covid-19 di Jatim tergolong tinggi, di mana beberapa waktu terakhir menjadi provinsi dengan penambahan kasus harian paling tinggi di Indonesia, bahkan melebihi DKI Jakarta.

Presiden Joko Widodo bahkan memberikan waktu selama dua minggu bagi Jatim untuk menurunkan laju penularan virus corona.

Secara khusus, Jokowi menyoroti Surabaya yang menjadi daerah penyumbang tertinggi kasus Covid-19 di Jawa Timur.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Zona Hitam di Surabaya dan Mengapa Bisa Terjadi?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana epidemiolog menilai?

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan pemerintah dan masyarakat harus bahu membahu mendukung terlaksananya pengendalian kasus yang ekstrim.

Dalam hal peningkatan kasus yang sudah tinggi, terdapat strategi tambahan yang dapat dilakukan selain testing, tracing, dan isolasi, yaitu karantina wilayah atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

"Dengan kondisi yang sangat kritis, katakanlah grade-nya sudah lebih dari merah, maka PSBB atau karantina wilayah itu satu pilihan yang tidak bisa ditawar, harus dilakukan dalam waktu dua minggu itu," ujar Dicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (27/6/2020).

Sementara itu, masyarakat dapat menumbuhkan kesadaran untuk tetap tinggal di rumah.

"Masyarakat diam saja di rumah dalam waktu dua minggu ini untuk meredam kasus, meredam penularannya untuk membantu tracing, pelacakan kasus, ini membantu informasi," kata dia.

Baca juga: Penerapan New Normal, Zona Hitam di Surabaya, dan Penjelasan Khofifah...

Isolasi mandiri

Selain itu, secara bersama-sama dapat membantu orang yang diduga kontak dengan penderita positif Covid-19 agar bersedia melakukan isolasi secara mandiri.

Meski begitu, ditegaskan bahwa strategi testing, tracing, dan isolasi tetap perlu dilakukan.

Untuk percepatan dan penguatan testing, lanjut Dicky, dapat dilakukan seluruh pihak baik dari tingkat RT hingga melibatkan TNI dan Polri.

Ia menilai, dengan melakukan PSBB dibarengi dengan masifnya testing, tracing dan isolasi setidaknya akan membantu mengerem percepatan penamabahan kasus.

"(PSBB) minimal dua minggu. Itu harus dilakukan," papar Dicky.

Baca juga: Ibu Hamil Disebut Memiliki Risiko Terkena Covid-19 Lebih Parah, Apa Alasannya?

Sementara bagi wilayah lain, harus mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di Jawa Timur dan tidak boleh menganggap remeh masalah testing dan tracing terhadap virus SARS-CoV-2 ini.

"Karena ketika suatu daerah melihat peningkatan kasusnya sudah eksponensial, itu sudah agak telat kita merespons dengan cara yang biasa. Kita harus sangat waspada ," kata dia.

Sementara itu, semakin minimal strategi testing dan tracing maka kasus orang dengan membawa virus dimasyarakat akan tinggi.

Sehingga tidak mungkin banyak kasus positif yang lolos dan dapat menyebabkan penularan, hingga menulari orang-orang yang rawan.

"Menyebabkan angka kesakitan yang tinggi dan kematian yang tinggi," katanya lagi.

Baca juga: Jadi Syarat Saat Bepergian di Era New Normal, Apa Itu PCR dan Mengapa Mahal?

Pentingnya data harian

Dicky menyampaikan bahwa data harian menjadi hal yang sangat penting, di mana sebaiknya disampaikan ke publik secara transparan.

Tidak lain, hal ini untuk menumbuhkan rasa percaya antara masyarakat dengan pemerintah.

Ia menambahkan, data testing idealnya merupakan data harian.

Selain itu, data rate positif per kabupaten/kota pun sangat penting.

"Setidaknya di situasi kritis, saya sebagai epidemiolog satu hal yang mendasar sekali yang saya lihat adalah cakupan testing-nya berapa, positif rate-nya berapa," katanya.

Namun, kendala yang muncul memang terletak pada lamanya hasil keluar dan data yang dilaporkan tidak real time.

"Ini yang menjadi permasalahan yang harus diselesaikan," imbuhnya.

Baca juga: Viral, Unggahan Diagnosis Berkode CVD Dikira Covid-19, Ini Penjelasan Dokter

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi