Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

55 Tahun Harian Kompas, Berikut Sejarah dan Asal-usul Nama "Kompas"

Baca di App
Lihat Foto
LITBANG KOMPAS
Harian Kompas edisi perdana yang terbit pada 28 Juni 1965.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Tepat hari ini, Harian Kompas berusia 55 tahun setelah terbit pertama kali pada tahun 1965 silam.

Dikutip dari laman Kompas.id, sejak pertama kali terbit, perjalanan Harian Kompas sebagai media informasi tak selalu berjalan mulus.

Banyak tantangan yang harus dihadapi hingga akhirnya Harian Kompas dapat menjadi media informasi yang terus dipercaya oleh masyarakat.

Berikut perjalanan Harian Kompas:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awal mula berdirinya Harian Kompas

Pada April 1965, Menteri atau Panglima Angkatan Darat Letjen Achmad Yani mengusulkan kepada Drs Frans Seda, Ketua Partai Katolik, agar partainya memiliki sebuah media.

Dalam buku P.K Ojong Hidup Sederhana Berpikir Mulia karya Helen Ishwara menyebutkan, hampir saja usulan tersebut tak memiliki kelanjutan.

Frans Seda kemudian menghubungi dua rekan yang berpengalaman menangani media massa, yakni Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama, yang dua tahun sebelumnya mendirikan majalah "Intisari".

Jakob Oetama sebelumnya menjabat sebagai redaktur mingguan "Penabur" dan PK Ojong pemimpin redaksi mingguan "Star Weekly".

Kemudian, dibentuklah sebuah yayasan untuk menerbitkan koran tersebut, dan yayasan itu dinamai Bentara Rakyat, korannya juga akan bernama sama.

Baca juga: 55 Tahun Harian Kompas, Panduan Masyarakat Mengarungi Informasi dan Peristiwa

Nama Bentara dipilih, kata Seda, dipilih untuk memenuhi selera orang Flores karena majalah Bentara sangat populer di sana.

Nama Rakyat dipilih untuk mengimbangi Harian Rakyat yang komunis, untuk menunjukkan bahwa rakyat bukan monopoli PKI.

Pengurus yayasan terdiri dari I.J. Kasimo (ketua), Drs. Frans Seda (wakil ketua), F.C. Palaunsuka (penulis I), Drs. Jakob Oetama (penulis II), dan Mr. Auwjong Peng Koen (bendahara).

Jakob Oetama dan PK Ojong mendapat otonomi profesional yang penuh sebagai pangasuh sehari-hari koran yang akan lahir itu.

Namun, tidak mudah mendapatkan izin terbit walaupun, kata Seda, "ada restu dari Bung Karno".

Masalahnya, lanjut Seda, aparatur perizinan saat itu "dikuasai" PKI.

Setelah pusat memberikan izin prinsip, mereka harus mengonfirmasikannya ke Daerah Militer V Jaya.

Lalu, ketika semua sudah dapat diatasi, muncul suatu persyaratan terakhir untuk dapat terbit, yakni harus ada bukti bahwa telah memiliki langganan sekurang-kurangnya 3.000 orang.

"Ini benar-benar pukulan terakhir, knock out! Itu sangka mereka. Mereka lupa bahwa masih ada yang dinamakan Flores," kata Seda.

Maka, selanjutnya diberi instruksi ke Pulau Bunga itu kepada semua anggota partai, guru-guru sekolah, dan anggota-anggota Koperasi Kopra Primer di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, Flores Timur, untuk segera mengirim daftar 3.000 pelanggan lengkap dengan alamta dan tanda tangan.

Baca juga: Kisah Komputer Pertama di Redaksi Harian Kompas

Nama Kompas diberikan Bung Karno

Hingga akhirnya, bagian perizinan Kodam V Jaya menyerah, keluarlah izin terbit.

"Saya menghadap Bung Karno untuk melaporkan bahwa semua sudah siap," kata Seda.

Lalu, Seda bertemu Bung Karno dan ia ditanya mengenai nama korannya.

"Apa nama harianmu itu?," tanya Bung Karno.

"Bentara Rakyat, Bung!," jawab Seda.

Bung Karno hanya tersenyum sembari memandang wajah Seda dan kembali bertanya padanya.

"Aku akan memberi nama yang lebih bagus...Kompas! Tahu toh apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba!," sahut Bung Karno.

Seda pun menjawab, "Baik, Bung. Akan saya bicarakan dulu dengan Redaksi dan Yayasan," jawab Seda.

Akhirnya, redaksi dan yayasan menyetujui usulan Bung Karno tersebut dan nama Bentara Rakyat yang sudah disiapkan, diubah dengan nama Kompas.

Terbit perdana 28 Juni 1965

Pada 28 Juni 1965, Kompas edisi perdana dengan 20 halaman berita di halaman I, terbit empat halaman. Terbit sebanyak 4.828 eksemplar dengan harga langganan Rp 500 per bulan.

Medio tahun 1966-1968, krisis kertas membuat Kompas berulang kali terbit dengan jumlah ukuran, jumlah kolom, dan halaman bervariasi.

Dari lebar normal 43 cm, menjadi 30 cm, dengan 5-6 kolom. Pada Maret 1968 terbit hanya dengan dua halaman, dari normal empat halaman.

Pada 20 Januari 1978, Harian Kompas dibredel. Kepala Penerangan Laksusda Jaya Letkol Anas Malik memberitahukan hal itu bersama tujuh media lainnya.

Di antaranya yakni Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore.

Sebulan setelahnya, tepatnya pada 6 Februari 1978, Harian Kompas kembali terbit setelah pembredelan.

Baca juga: Harian Kompas, Kompas.com, dan Perubahan Media di Era Digital

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi