KOMPAS.com - Dampak pandemi virus corona di sektor ekonomi telah dirasakan oleh banyak orang. Buruh mengalami pemutusan hubungan kerja, karyawan menerima pemotongan gaji, bahkan mereka yang bekerja di sektor informal juga turut terdampak.
Kondisi ini memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi ekonomi. Namun, apa itu resesi?
Melansir Forbes, resesi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Para ahli menyatakan, resesi terjadi ketika ekonomi suatu negara mengalami produk domestik bruto (PDB) negatif, meningkatnya tingkat pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan kontraksi ukuran pendapatan dan manufaktur dalam periode waktu yang panjang.
Resesi dianggap sebagai bagian tak terhindarkan dari siklus bisnis atau irama teratur ekspansi dan kontraksi yang terjadi dalam ekonomi suatu negara.
Baca juga: Bamsoet Sebut New Normal Jadi Jalan Keluar Resesi Ekonomi
Kapan resesi terjadi?
Selama resesi, ekonomi menghadapi kesulitan, orang-orang kehilangan pekerjaan, perusahaan membuat lebih sedikit produksi dan penjualan dan output ekonomi negara secara keseluruhan menurun.
Titik di mana ekonomi secara resmi jatuh ke dalam resesi tergantung pada berbagai faktor.
Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) otoritas yang dipercaya menentukan tanggal mulai dan berakhirnya resesi di Amerika Serikat memiliki definisi sendiri tentang resesi.
NBER menyebut resesi sebagai penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang tersebar di seluruh sektor, yang berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.
Pendefinisian NBER dinilai fleksibel dalam menentukan apa yang dimaksud dengan resesi dan bisa digunakan untuk menganalisa berbagai potensi penyebab resesi.
Sebagai contoh, virus corona yang kemunculannya tidak pernah diprediksi ternyata berpotensi menciptakan resesi berbentuk W, di mana ekonomi turun seperempat, mulai tumbuh, lalu turun lagi di masa depan.
Baca juga: Menko Airlangga: Kuartal II Indonesia Sudah Masuk Zona Resesi
Penyebab resesi
Ada lebih dari satu hal yang dapat menyebabkan resesi, mulai dari goncangan ekonomi yang tiba-tiba hingga dampak dari inflasi yang tidak terkendali.
Fenomena berikut adalah beberapa pendorong utama resesi:
1. Guncangan ekonomi yang tiba-tiba
Pandemi virus corona yang mematikan ekonomi di seluruh dunia, adalah contoh yang lebih baru dari goncangan ekonomi yang tiba-tiba.
2. Utang yang berlebihan
Ketika individu atau bisnis mengambil terlalu banyak utang, biaya untuk melunasinya dapat tumbuh ke titik di mana mereka tidak dapat membayar tagihan mereka. Terjadinya gagal bayar utang dan kebangkrutan kemudian membalikkan kondisi perekonomian.
Baca juga: Dalam Bayang-bayang Resesi Ekonomi Global...
3. Gelembung aset
Investasi berlebihan di pasar saham atau real estate diibaratkan seperti gelembung yang membesar. Ketika gelembung itu meletus, terjadi penjualan dadakan yang dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.
4. Terlalu banyak inflasi
Inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik seiring waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk, tetapi inflasi yang berlebihan adalah fenomena yang berbahaya.
5. Terlalu banyak deflasi
Deflasi adalah ketika harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah berkontraksi, yang selanjutnya menekan harga. Ketika siklus deflasi tidak terkendali, orang-orang dan bisnis berhenti belanja, yang akibatnya merongrong perekonomian.
6. Perubahan teknologi
Saat ini, beberapa ekonom khawatir bahwa Artificial Inteligence (AI) dan robot dapat menyebabkan resesi. Hal ini dikhawatirkan terjadi bila mereka mampu mengerjakan semua kategori pekerjaan manusia.
Baca juga: Imbas Corona, OECD Prediksi Resesi Global Terburuk dalam 100 Tahun
Apakah akan terjadi di Indonesia?
Mengutip Harian Kompas, (12/6/2020) Indonesia harus bersiap mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam jika gelombang kedua Covid-19 terjadi. Kontraksi ekonomi akan berimplikasi terhadap proses pemulihan yang semakin sulit dan memerlukan waktu lama.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dalam laporan Proyeksi Ekonomi Edisi Juni 2020, Rabu (10/6/2020) malam, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini minus 2,8 persen dengan asumsi lonjakan kasus pandemi Covid-19 di dalam negeri telah terjadi pada pertengahan April.
Dalam skenario buruk, perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh minus 3,9 persen jika terjadi gelombang kedua Covid-19.
Gelombang kedua itu memperlambat pemulihan ekonomi. Pola pemulihan ekonomi RI tak membentuk huruf V, tetapi cenderung bergelombang.
Baca juga: Terpukul Virus Corona, AS Alami Resesi Ekonomi pada Februari 2020
Dalam laporan bertajuk World Economy on a Tightrope itu, OECD memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati melonggarkan pembatasan sosial karena jalan menuju pemulihan ekonomi masih sangat tidak pasti dan rentan terhadap gelombang infeksi kedua Covid-19.
Konsekuensi pemulihannya akan lebih berat dan lama. Risiko gelombang kedua Covid-19 juga menghantui hampir semua negara di dunia.
OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global minus 7,6 persen pada 2020 apabila gelombang kedua Covid-19 terjadi dan pembatasan wilayah diterapkan lagi oleh sejumlah negara. Pertumbuhan ekonomi baru berangsur pulih pada 2021 menjadi 2,8 persen.
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini berkisar 2,3 persen hingga minus 0,4 persen. Namun, kemungkinan besar ekonomi hanya tumbuh pada kisaran 1 persen, dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi triwulan I-2020 dan potensi terjadinya gelombang kedua Covid-19.
Baca juga: Bank Dunia: Akibat Pandemi, Ekonomi Global Bakal Alami Resesi Terburuk dalam 80 Tahun Terakhir
Bersiap gelombang kedua Covid-19
Kepala Ekonom OECD Laurence Boone menjelaskan, kebijakan yang fleksibel dan gesit diperlukan guna menghindari gelombang kedua Covid-19. Pemerintah harus pula menyediakan jaring pengaman sosial dan dukungan untuk sektor- sektor yang paling parah.
Pelaku bisnis dan pekerja perlu dibantu untuk beradaptasi pada era kenormalan baru.
”Utang negara yang semakin tinggi tidak dapat dihindari. Pengeluaran yang dibiayai utang harus tepat sasaran guna mendukung mereka yang paling rentan dan menyediakan investasi bagi transisi ke ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” kata Laurence Boone.
Indonesia dan China termasuk segelintir negara yang masih tumbuh positif pada triwulan I-2020. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 sebesar 2,97 persen.
Baca juga: Pertama Kalinya dalam 29 Tahun, Australia Mengalami Resesi
Namun, proyeksi OECD, kontraksi ekonomi terjadi pada triwulan II-2020. Pemulihan ekonomi mungkin saja terjadi pada triwulan III-2020 jika pemerintah bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
Kontraksi ekonomi akan melumpuhkan sisi produksi sehingga mendorong peningkatan kemiskinan dan pengangguran.
OECD memperkirakan angka pengangguran global akan meningkat tajam dari 5,4 persen pada tahun 2019 menjadi 9,2 persen pada 2020.
Pemerintah Indonesia memproyeksikan, kenaikan jumlah penganggur akibat Covid-19 berkisar 2,92 juta-5,23 juta orang, dan jumlah penduduk miskin bertambah 1,16 juta-3,78 juta orang.
Baca juga: Imbas Virus Corona, Jerman Alami Resesi Ekonomi
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.