Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Unggahan Bekal untuk Suami dan Perdebatan soal Peran Perempuan...

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi perempuan
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Di media sosial, apa saja bisa memancing perdebatan. Termasuk unggahan seseorang yang berbagi inspirasi soal bekal yang disiapkan untuk suaminya.

Beberapa hari lalu, ada perbincangan yang memicu perdebatan warganet soal peran perempuan yang berawal dari unggahan bekal untuk suami ini.

Pengguna Twitter membagikan resep bekal untuk suami yang biasa ia buat setiap hari. Ia juga bercerita bahwa kebiasaan ini ia lakukan bukan karena permintaan suaminya, melainkan karena ia memang suka memasak dan apresiasi yang diberikan suami atas masakannya.

Jika melihat utas atau rangkaian twitnya, si pengunggah membagikan foto bekal makanan dan persiapan bahan masakan berikut resepnya.

Banyak yang menyukai unggahan ini. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalo liat beginian jd pengen punya suami, terus masakin buat dia. Tp masalahnya, aku belum punya calon + masih belum bisa masak-masak yg kayak gini. Jadi gak nikah dulu deh," tulis seorang pengguna akun.

Namun, ada pula yang merespons sebaliknya. Misalnya, ada yang mempertanyakan, kenapa hanya ada bekal untuk suami dan tidak bekal untuk istri. Ada yang berkomentar, memasak seharusnya bukan hanya tanggung jawab istri atau perempuan.

"'Its' just cooking and not that deep' is often used to justify the unpaid labour carried out by women as well as low wage of women domestic workers," komentar seorang pengguna Twitter.

Mereka yang kontra menilai, kepopuleran thread itu bisa dijadikan justifikasi atau pembenaran bahwa perempuan harus bisa memasak, perempuan harus mengabdi pada suaminya, dan perempuan harus terampil dalam urusan domestik.

Karena perdebatan ini, sempat muncul trending #bekaluntuksuami di Twitter. Tagar ini disertakan warganet saat meunggah foto-foto bekal makanan atau masakan yang mereka buat.

Bagaimana melihat dua pandangan soal ini? Mengapa ada yang menganggap unggahan seperti ini meletakkan perempuan pada peran-peran domestik?

Perempuan dapat memilih

Peneliti isu gender yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rouli Esther Pasaribu, menilai, melihat perdebatan soal ini, yang harus diperhatikan adalah masalah pilihan.

Ia menyebutkan, pada dasarnya, feminisme menghendaki perempuan dapat memilih apa yang ingin dilakukan dilakukan di dalam hidup tanpa kontrol orang lain, khusunya laki-laki, dan atau tekanan masyarakat.

"Jika si istri memang mau buat masakan untuk suaminya dan dia senang melakukannya, ya tidak apa-apa. Dia berarti dengan sadar melakukannya, apalagi kalau dia sampai posting di Twitter," kata Rouli saat dihubungi Kompas.com, Minggu (28/6/2020).

Jika memang itu merupakan pilihan dan dilakukan atas kehendak perempuan, Rouli menilai, membuat bekal untuk suami merupakan bagian dari aktualisasi diri.

Ia mengatakan, sepanjang perempuan melakukan aktualisasi dirinya secara bebas, maka hal itu tidak perlu dipermasalahkan. 

"Kata kuncinya adalah pilihan. Tidak semua orang mau menjadi ibu rumah tangga, tapi tidak semua orang juga mau punya karier di luar rumah. Tidak semua istri suka masak tapi ada istri suka masak," jelas Rouli.

Rouli berpendapat, yang berbahaya adalah jika perempuan tidak mendapat kesempatan untuk memilih.

Misalnya, perempuan yang terpaksa harus memasak karena tuntutan suami, atau tidak boleh bekerja karena dilarang oleh suaminya.

Mengapa ada yang kontra?

Menurut Rouli, munculnya argumentasi yang kontra atau mengkritisi unggahan itu karena jika tidak dipahami secara kritis akan menjadi alat untuk melanggengkan patriarki.

"Jadi misalnya ada postingan bekal suami, lalu orang lain akan menggunakan postingan itu untuk mendukung pendapat pribadinya, nah kan memang perempuan itu harus pintar masak untuk suami. Akhirnya yang kontra masak bekal suami ini bereaksi dengan cara mengingatkan ini bukan hanya masak, ada yang lebih dalam dari itu," papar dia.

Hal itu merespons adanya komentar yang menghendaki istri atau pasangannya harus bisa melakukan hal yang sama.

Sementara itu, saat dihubungi secara terpisah, dosen FIB UI, Adriana Rahajeng mengatakan, para feminis seringkali mendapat label "angry feminists" karena mempermasalahkan atau mempertanyakan hal-hal yang menurut masyarakat "sepele".

Padahal, jika dicermati lebih dalam, hal-hal yang dipertanyakan atau dipermasalahkan pada dasarnya tidak sesederhana yang terlihat.

"Pertama, saya ingin mengajak orang yang menyukai #BekalUntukSuami untuk menonton iklan kecap “Bantu Suami Hargai Istri” dan berbagai seri iklan terkait. Saya ingin mendengar pendapat mereka dahulu terkait iklan-iklan ini. Apakah mereka suka juga dan memahami iklan-iklan ini sama halnya dengan #BekalUntukSuami? Jika jawabannya 'tidak suka' atau paham karena mereka menganggap kegiatan memasak adalah tanggung jawab istri, di situ lah letak ketidaksepelean tagar #BekalUntukSuami," jelas Ajeng.

Ia mengatakan, kegiatan memasak pada dasarnya bisa dilakukan siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki.

Memasak adalah keterampilan dasar dalam hidup. Namun, melalui tagar yang terlihat sederhana ini, menurut dia, perempuan terus menerus diingatkan bahwa tempat mereka adalah ruang domestik.

Melayani suami seperti mempersiapkan bekal (aktivitas di dapur) adalah penanda istri “ideal”. Jika tidak melakukannya, perempuan tidak dianggap “ideal” di masyarakat.

Menurut Ajeng, dikotomi ideal versus tidak ideal itu dimulai dari hal sesederhana ini. 

"Jika hal “sepele’ macam #BekalUntukSuami ini tidak dikritisi, perempuan akan terus menerus terjebak di dalam konstruksi gender: pelayan untuk suami di dapur, sumur, dan kasur di ruang domestik. Dari kata pelayan saja sudah terlihat adanya ketimpangan relasi kuasa yaitu  ada yang melayani dan ada yang dilayani," kata Ajeng.

Ia menekankan, feminisme bertujuan untuk membuat relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki lebih seimbang.

Menurut Ajeng, sebetulnya laki-laki juga tidak selalu diuntungkan oleh adanya ketimpangan relasi kuasa.

"Misalnya, laki-laki (yang dilayani) dikonstruksikan menjadi pencari nafkah utama. Ketika penghasilan seorang laki-laki tidak sebesar istrinya, ia seringkali kurang dihargai orang di sekitarnya, dan ia pun dapat menjadi rendah diri," ujar dia. 

"Feminisme memberikan pemberdayaan bagi perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga: supaya ia tidak melihat dirinya rendah sebagai ibu rumah tangga. Supaya ia mengetahui bahwa ia berhak melawan ketika dia tidak dihargai/ mengalami kekerasan; supaya ia mengajarkan ke anak-anaknya bahwa keluarga itu berlandaskan kerja sama. Anak perempuan tidak harus menjadi ibu rumah tangga, anak laki-laki boleh menjadi bapak rumah tangga," lanjut Ajeng.

Perempuan dan laki-laki harus bekerja sama dalam sebuah rumah tangga. Memasak bukan hanya kegiatan perempuan, mengecat rumah bukan hanya kegiatan laki-laki.

"Jika mau, perempuan dapat menjadi seperti Jacinda Ardern, PM New Zealand, yang hamil dan melahirkan sembari mengatur sebuah negara. Ia juga boleh menjadi ibu rumah tangga yang mendidik anak laki-laki dan perempuannya untuk mencapai cita-cita mereka," kata Ajeng. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi