Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Plombir dan Cerita Pesepeda yang Panik Saat Razia

Baca di App
Lihat Foto
repro Harian Kompas
Razia pajak sepeda di Yogyakarta pada tahun 1983
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Istilah plombir kembali ramai diperbincangkan publik dalam beberapa waktu terakhir.

Bermula dari melonjaknya jumlah pengguna sepeda saat pandemi Covid-19, Kementerian Perhubungan berencana menerapkan pajak bagi sepeda atau dulu dikenal sebagai plombir.

Plombir atau peneng merupakan lempengan logam yang menjadi bukti bahwa sepeda itu telah membayar pajak tahunan.

Pajak sepeda sendiri telah berlaku sejak zaman Belanda. Bahkan, aturan itu semakin ketat selama masa pendudukan Jepang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika saat ini pengendara motor seringkali "dihantui" oleh razia polisi karena tidak membawa surat kelengkapan kendaraan, pesepeda jaman dulu pun merasa was-was apabila belum membayar pajak.

Pasalnya, ada petugas yang melakukan razia di jalanan bagi para pesepada untuk mengetahui status pajak sepeda.

Baca juga: Ramai Dibicarakan, Ini Sejarah Pajak Sepeda di Indonesia

Cerita pesepeda panik terazia plombir

Dicky Kurnia Prasetya, warga Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul menceritakan pengalamannya soal razia peneng atau plombir.

Kepada Kompas.com, Selasa (30/6/2020), Dicky mengatakan, dia merasa panik ketika pertama kali melihat ada razia plombir.

"Saya SMP itu pertama kali bawa sepeda di jalan raya. Jadi ketika ada cegatan gitu langsung panik. Terus saya pulang lagi ke rumah dan diberitahu bapak kalau itu cegatan plombir," kata Dicky.

Menurut dia, razia plombir tak mesti dilakukan setiap hari. Biasanya petugas Satpol PP melakukan razia di jalan-jalan yang ramai pesepeda.

Sementara itu, para pesepeda yang terjaring razia sebagian besar adalah anak-anak muda.

"Razianya kayaknya acak, bukan setiap hari. Di Jogja biasanya di Jalan Parangtritis, daerah Prawirotaman, terus di dalam Benteng. Kira-kira di jalan yang lalu lintas sepedanya padat," tutur dia.

Baca juga: Pajak Sepeda di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Penjajahan

"Yang terjaring juga cukup banyak, biasanya anak-anak muda. Kalau yang sepuh-sepuh malah sudah tertib, mungkin karena jam terbangnya tinggi, mungkin," sambung dia. 

Bagi sepeda yang belum terpasang plombir, Dicky menyebut pengguna diharuskan untuk membayar Rp 150 (tahun 1993-an) di tempat.

Angka itu merupakan harga yang harus dibayarkan untuk pajak sepeda. Artinya, pengguna akan langsung mendapatkan plombir setelah membayar itu, tanpa ada surat tilang.

"Dulu itu saya ingat Rp 150 perak bayar untuk stiker, jadi kita bayar di tempat terus dapat stiker dipasang di sepeda. Besok kalau ada cegatan lagi ya bablas saja. Tidak ada surat tilang, langsung selesai di tempat," terang dia.

Menurut Dicky, pengguna tidak bisa mengelabui petugas karena plombir yang dipasang selalu beda warna setiapnya tahunnya.

"Dulu warnanya kalo tidak salah ada hijau, ada biru, jadi nanti setiap tahun ganti. Warnanya itu menunjukkan tahun," kata dia.

Baca juga: Kemenhub Bantah Bakal Pungut Pajak Sepeda

Dia menyebut, plombir terakhir kali diberlakukan sekitar 1996 atau 1997.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi