Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dosen UMN. Ahli linguistik forensik.
Bergabung sejak: 2 Mei 2020

Dr. Niknik M. Kuntarto, M.Hum, selain Dosen UMN, juga aktif sebagai ahli linguistik forensik dan pegiat bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) di bawah Yayasan Kampung Bahasa Bloombank Indonesia.

Peringatan Hari Bhayangkara: Selisik Linguistik Forensik

Baca di App
Lihat Foto
shutterstock.com
Ilustrasi ejaan bahasa Indonesia
Editor: Ana Shofiana Syatiri

Bahasa tak terlepas dari hakikat keberadaan manusia karena itulah yang menjadi peranti komunikasi antarmanusia. Manusia tanpa bahasa sama seperti burung tanpa sayap karena sayaplah yang mencirikan burung dan bahasalah yang mencirikan manusia.

Noam Chomsky, Bapak Liguistik dunia, menyebutkan bahwa jika mempelajari bahasa, pada hakikatnya kita sedang mempelajari esensi manusia, yang menjadikan keunikan manusia itu sendiri.

Bahasa dikatakan menjadi keunikan yang mencirikan manusia dan membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Pernyataan ini tidak berarti bahwa hanya manusia yang memiliki peranti komunikasi.

Binatang disebut tidak berbahasa, tetapi tetap bisa berkomunikasi. Namun, seperti peribahasa “lidah tak bertulang”, dalam berkomunikasi terkadang tanpa sadar atau bahkan secara sadar kita menyampaikan sesuatu dengan menggunakan bahasa yang mengandung makna ganda sehingga memunculkan persepsi yang berbeda.

Terlebih jika ternyata bahasa yang kita gunakan mengandung ujaran kebencian, penghinaan, atau bahkan pencemaran nama baik yang berakhir di meja hijau. Di sinilah diperlukan pemahaman tentang bahasa hukum.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di sinilah juga diperlukan pemahaman bagaimana agar terhindar dari kejahatan bahasa yang berujung jerat hukum.

Linguistik forensik adalah bidang kajian yang mampu menyelisik hubungan antara bahasa, hukum, dan kejahatan.

Lingustik forensik atau linguistik hukum merupakan cabang dari linguistik yang menganalisis dan meneliti kehidupan kebahasaan manusia yang terkait dengan hukum.

Linguistik forensik merupakan bidang linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara bahasa, hukum, dan kejahatan, baik secara lisan maupun tulis.

Secara lisan bisa saja terjadi saat berpidato, presentasi, iklan, merek, acara di televisi, dan ujaran langsung dan secara tulis dapat terjadi saat menulis buku, status di media sosial, percakapan melalui media sosial.
Menurut Janet Holmes dalam An Introduction to Sociolinguistics (2013: 430), para ahli bahasa forensik bekerja dalam konteks sosio yang sangat luas. Juga meneliti tentang bagaimana bahasa dalam bentuk tulisan dan ucapan secara legal.

Mereka juga memberikan fakta-fakta hukum tentang permasalahan kebahasaan. Kadang-kadang permasalahan kebahasaan ini melibatkan analisis bahasa dan komunikasi dalam konteks hukum, seperti polisi yang mengitrograsi, interaksi dalam ruang hukum, atau dokumen yang legal, atau bisa juga menguji kebahasaan dalam academic writing (kasus plagiat), merek dagang, percakapan dalam telepon, pesan ataupun email.

Coulthard dan Johson (2007:5) menyimpulkan bahwa fokus utama kajian linguistik forensik yaitu bahasa dokumen legal, bahasa polisi penegak hukum, interview dengan anak-anak atau saksi- saksi, interaksi di ruang sidang, bukti-bukti linguistik, kesaksian ahli dalam persidangan, kepengarangan dan plagiarisme, dan fonetik forensik identifikasi penutur.

Ini dibutuhkan seorang ahli bahasa yang berpengalaman dalam hukum. Seorang ahli sosiolinguistik forensik untuk mengidentifikasikan klue sosiolinguistik serta pengertiannya yang akan membantu menjawab pertanyaan secara legal dan berkontribusi terhadap keadilan secara tuntas.

Janet Holmes juga menjelaskan bahwa ahli bahasa forensik telah berkontribusi sebagai ahli terhadap masalah hukum pembunuhan, pelecehan seksual, penculikan, penggelapan, narkoba, dan masih banyak tindak kriminal lainnya serta pelanggaran hukum.
Berdasarkan gambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya peranan seorang ahli linguistik forensik dalam menganalisis antara bahasa, hukum, dan kejahatan.

Selain menjadi garda terdepan dalam membela kebenaran, ia juga dapat menyelisisk sebuah kasus kebahasan hingga terungkap sesuai dengan keadilan dan kebenaran yang seharusnya memang hadir menyelamatkan seseorang atau sekelompok orang yang tertuduh.

Fungsi dan peran ahli bahasa Indonesia sebagai penganalisis hubungan antara bahasa dan penegakan, masalah, perundang-undangan, perselisihan atau proses dalam hukum yang berpotensi melibatkan beberapa pelanggaran terhadap hukum atau keharusan untuk mendapatkan penyelesaian hukum.

Selain itu, ahli bahasa berperan sebagai pengkaji bahasa proses hukum dan bahasa sebagai bukti, baik lisan maupun tulisan. Ahli bahasa juga berperan sebagai ahli klasifikasi teks untuk mengetahui bentuk linguistik sebagai bukti investigasi fungsi teks tersebut dan mengaitkankannya pada konteks masalah tersebut berada.

Terakhir, peranan ahli bahasa juga adalah sebagai pengungkap suatu kejahatan berbahasa baik kejahatan berbahasa berwujud lisan maupun tulisan yang berupa penghinaan, ancaman, penipuan, bahkan kejahatan seperti pencurian dan penculikan

Siapa yang harus Menyelisik Linguistik Forensik?

Untuk menjadi seorang ahli bahasa yang baik dan benar dibutuhkan beberapa persyaratan yang berhubungan dengan sikap dasar dan kompetensi.

Sikap dasar yang pertama, niat tulus membela kebenaran, independen, tidak memihak kepada salah satu pihak, fokus pada kasus yang ditangani saat itu, tidak menghubung-hubungkan dengan kasus sebelumnya yang pernah menimpa salah satu pihak, jujur, hanya berbicara tentang masalah berdasarkan sisi bahasa dan multidisiplin ilmunya.

Sementara itu, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang ahli bahasa forensik secara formal berlatar belakang bahasa; menguasai teori bahasa; berpengalaman menangani konflik kebahasaan atau minimal pernah magang atau pernah menjadi asisten ahli linguistik forensik untuk beberapa kasus, menyelisik secara komprehensif dan kontekstual, fokus pada bidang yang digeluti, dan mengetahui undang-undang atau peraturan dan norma agama, sosial atau budaya yang berhubungan dengan kasus.

Terdapat dua istilah yang biasa digunakan di masyarakat tentang orang yang menyelisik forensik bahasa: yakni saksi ahli bahasa dan ahli bahasa.

Apa berbedaan di antara kedua istilah itu?

Saksi ahli bahasa biasa diberikan seorang ahli bahasa yang dihadirkan di persidangan sebagai saksi yang dapat meringankan pelapor atau terlapor atau sebaliknya memberatkan pelapor atau terlapor.

Seorang saksi ahli bahasa dapat berdiri pada posisi pembela pelapor atau terlapor. Sementara itu, ahli bahasa adalah ahli dalam bidang bahasa yang ditunjuk oleh negara/lembaga hukum/pengacara untuk menganalis kasus bahasa forensik yang terjadi.

Sebagai contoh, saat gelar perkara yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus dugaan penistaan agama, dihadirkan beberapa saksi ahli bahasa dari pelapor dan saksi ahli bahasa dari terlapor yang akan membela terlapor, juga dihadirkan ahli bahasa yang sengaja ditunjuk oleh Pemerintah (kepolisian) untuk menjadi penerang dalam menyelisik kasus bahasa forensik.

Ahli bahasa tidak memiliki kepentingan untuk membela baik terlapor maupun pelapor, tetapi akan bicara sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya, yakni bahasa.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, saya cenderung hanya menggunakan istilah ahli bahasa, bukan saksi ahli bahasa, karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah saksi ahli bahasa kuranglah tepat selama ia tidak mendengar sendiri, tidak melihat sendiri, dan tidak mengalami sendiri peristiwa tersebut.

Istilah ahli bahasa adalah yang paling tepat karena kehadiran seorang ahli bahasa seperti yang Janet Holmes katakan adalah sebagai pengidentifikasi masalah secara komprehensif sehingga hingga tuntas (2013: 340).

Ia akan menyelisik dari berbagai bidang ilmu yang berkaitan dengan bahasa. Ia tidak hanya menganalisis secara gramatikal, struktural, tetapi juga mengaitkan dengan bidang ilmu bahasa yang lain seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, analisis wacana, semantik, semiotik, hermeneutik, dan stilistik.

Ia hanya boleh bicara sesuai dengan kemampuan bidang yang ditekuni dan dikuasainya: bahasa. Jikalau harus menguasai ilmu lain yang berhubungan dengan kasus yang sedang ditanganinya, cukuplah ia mengetahuinya. Ia harus belajar dan mengetahui KUHAP, Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik, peraturan penanganan ujaran kebencian, ilmu agama, sosial, politik, hokum, plagiat, dll.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa semua itu hanya untuk menambah wawasan atau pengetahuan yang dapat membantu kelancaran tugasnya sebagai ahli bahasa. Ia harus berkontribusi dalam menemukan kebenaran demi keadilan dari sisi bahasa.

Jadi, hapus dan lupakanlah ungkapan bahwa “Seorang ahli bahasa membela yang bayar, bukan membela yang benar!” Justru ia hadir sebagai “Pembela Kebenaran secara Komprehensif”.

Kesadaran atas Keterbatasan Seorang Ahli Linguistik Forensik

Seorang ahli linguistik forensik juga manusia yang tak luput dari keterbatasan. Oleh karena itu, pihak kepolisian biasanya akan mencari opini kedua sebuah kasus sebagai perbandingan jawaban atau jika perlu dihadirkan ahli bahasa ketiga untuk penyempurnaan jawaban.

Namun, jika memiliki kesadaran diri yang tinggi, kita bisa menghindari kesalahan tersebut atau paling tidak mampu meminimalisasinya. Potensi kesalahan itu, biasanya, ada pada pilihan seorang ahli bahasa dalam menentukan pisau yang akan mengupas masalah tertentu.

Metode apa atau pendekatan apa yang akan digunakan untuk menyelisik kasus konflik bahasa tersebut?

Sebuah kasus tidak hanya cukup tuntas diselisik oleh satu atau dua pendekatan. Bisa jadi beberapa pisau analisis sehingga pemahamannya menjadi lengkap dan komprehensif. Sebagai contoh kasus seorang pria yang tersinggung ketika dirinya disebut “berengsek” oleh pesaingnya dalam dunia usaha.

Menurut KBBI “berengsek” memang dimaknai sebagai umpatan, tetapi seorang ahli bahasa harus melihat secara gramatikal. Apakah kata itu mengacu atau ditujukan kepada seseorang atau pada situasi yang ada? Atau ketika seorang ahli bahasa menyelisik pernyataan seorang politikus “Kalau saya boleh berkata, rasanya ingin saya katakan bahwa kamu itu bangsat!”

Secara gramatikal, tidak ada yang salah dari kalimat itu. Itu hanya pengandaian dengan hadirnya ungkapan “Kalau saya boleh…”. Namun, berdasarkan analisis wacana bahwa setiap kalimat itu mempunya maksud yang dapat ditelusuri sebagai tindak tutur ilokusi.

Ada niat dan motif yang tidak terungkap di balik sebuah pernyataan. Kalimat tersebut bisa saja mengandung niat dan motif ketidaksukaan atau kebencian.

Kasus berikutnya misalnya kasus seseorang yang tersinggung karena ungkapan “Goblok, rek!” Menurut KBBI, kata goblok berarti bodoh sekali. Seorang ahli bahasa jangan langsung memutuskan bahwa ungkapan itu mengandung penghinaan.

Lihatlah secara kontekstual. Lihat dari sudut pandang sosiolinguitik. Bagaimana bahasa pisuhan digunakan di masyarakat Surabaya. Penutur yang berasal dari Surabaya biasa menggunakan ungkapan pisuhan itu sebagai keakraban.

Sementara itu, lawan bicara yang berasal dari Jawa Barat, tentu tidak akan menerima masalah ini sebagai suatu kesalahpahaman bahasa. Unsur budaya dapat menjelaskan masalah ini.

Oleh karena itulah, diperlukan pemahaman yang komprehensif dan kontekstual dalam menangani konflik bahasa yang melibatkan multidisiplin ilmu bahasa.

Contoh kasus selanjutnya, seseorang melaporkan sebuah kalimat di dalam buku yang dinilai mengandung perbuatan mengajak perzinaan. Kalimat tersebut adalah “Kalau pacarmu ngajak ML, boleh-boleh saja.”

Seorang ahli linguistik forensik tidak bisa hanya menggunakan pendekatan gramatikal atau struktural. Dia harus menyelisik sesara holistik. Dia harus mampu membaca bingkai kalimat tersebut. Sebuah teks tidak akan bermakna sempurna ketika berdiri sendiri.

Teks tersebut akan berhubungan dengan teks sebelum atau sesudahnya. Di sinilah diperlukan analisis wacana, bahwa menyelisik sebuah teks haruslah menyertakan konteks. Setelah diselisik, ternyata kalimat itu berasal dari “Kalau pacarmu ngajak ML, boleh-boleh saja, tapi ini loh akibatnya! Kamu akan berisiko hamil di luar nikah. Kamu akan dipaksa menikah muda. Ya, itu masih mending kalau pasanganmu mau bertanggung jawab. Bagaimana jika tidak? Dst….”

Apakah kalimat itu mengandung pornografi atau mengajak ke perbuatan zina? Tentu tidak! Justru kalimat itu mengandung pendidikan seks yang baik bagi remaja.

Dengan demikian, pemahaman semesta kasus akan meminimalisasi kesalahan ahli bahasa dalam menangani sebuah kasus.

Potensi terjadi kesalahan adalah ketika ahli bahasa minim pengetahuan tentang identitas terlapor. Sebagai contoh, kasus konflik bahasa Ratna Sarumpaet yang melibatkan orang lain atas cuitannya di Twitter yang berbunyi "Sy juga dokter. Sy melihat meraba dan memeriksa luka Bu Ratna kemarin. Sy bisa membedakan mana gurat pasca operasi & pasca dihujani tendangan, pukulan. Hinalah mereka yg menganggap sbg berita bohong. Krn mereka takut, kebohongan yg mereka harapkan, sirna oleh kebenaran."

Apakah tulisan tersebut cenderung mengandung kebohongan dan dapat menimbulkan keonaran? Mari kita selisik bersama. Kalimat pertama mengandung lokusi. Penulis memberikan informasi bahwa dirinya seorang dokter.

Kalimat pertama ini berkoherensi dengan kalimat kedua yang juga berilokusi bahwa sebagai seorang dokter, penulis telah meraba dan memeriksa luka Bu Ratna kemarin. Kemudian, kalimat ketiga tidak hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi dan prelokusi.

Penulis tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mempunyai tujuan dengan memberikan argumen bahwa sebagai seorang dokter, penulis telah meraba dan memeriksa luka Bu Ratna, dan sebagai seorang dokter, penulis berusaha memberikan argumen agar pembaca yakin dan percaya atas keahliannya (dokter) dengan mengatakan bahwa dirinya tahu benar dan dapat membedakan antara gurat pascaoperasi dan pasca dihujani tendangan dan pukulan.

Penulis memberikan persuasif dengan cara memberikan penilaian bahwa mereka yang menganggap berita tentang luka Bu Ratna sebagai gurat pascatendang dan pukulan itu bohong adalah hina karena ketakutan kebohongan yang diharapkan terjadi sirna oleh kebenaran.

Jika tidak mengetahui apa latar belakang penulis, seorang ahli bahasa akan kurang komprehensif dalam menyesilik masalah bahasa tersebut. Di sinilah diperlukan rekam jejak atau pengetahuan tentang latar belakang terlapor.

Nah, hal ini, sebetulnya bertolak belakang dengan pernyataaan di atas tentang syarat menjadi ahli bahasa forensik.

Telah dijelaskan bahwa seorang ahli bahasa harus fokus pada masalah yang saat itu sedang ditanganinya. Ia tidak boleh menghubungkan dengan jejak rekamnya atau berdasarkan latar belakang pendidikan.

Menelusuri rekam jejak seseorang dalam menangani kasus bahasa forensik berpotensi salah, tetapi ada kalanya hal ini diperlukan sebagai pertimbangan lebih lanjut. Dengan mengetahui rekam jejaknya, ahli bahasa akan mengetahui bahwa penulis adalah seorang dokter. Apa yang salah dengan pernyataannya? Sah-sah saja bukan ketika seorang dokter menilai atau mendiagnosis sesuatu yang berhubungan dengan medis! Permasalahannya adalah penulis bukanlah seorang dokter spesialis kulit.

Dari segi kelogisan bahasa dan juga dari segi materi atau proses penalarannya, penulis melakukan ketidakcermatan penalaran dan melakukan manipulasi dengan cara memberikan informasi dengan penyamarataan para ahli.

Salah nalar ini disebabkan oleh anggapan orang tentang berbagai ilmu dengan pandangan yang sama. Penulis berpikir bahwa setiap dokter memiliki ilmu dan pandangan yang sama dalam menghadapi masalah.

Penulis juga berpikir bahwa karena ia seorang dokter, ia juga dapat meraba dan memeriksa luka guratan yang sebenarnya bukan kapasitas dia mendiagnosis masalah medis tersebut.

Dalam hal ini, dokter ahli bedah kulit yang lebih berkemampuan dan memiliki kapasitas untuk mendiagnosis masalah medis yang berhubungan dengan legam kulit pascaoperasi.

Apalagi, seperti yang kita ketahui bahwa penulis misalnya adalah seorang dokter gigi. Hal tersebut akan mengakibatkan kekeliruan dalam mengambil kesimpulan dan ini pun benar-benar terjadi. Penulis akhirnya menyimpulkan sesuatu yang keliru.

Terakhir adalah keberpihakan. Keberpihakan akan berpotensi menjadi kesalahan seorang ahli bahasa dalam menangani konflik bahasa. Apalagi ketika konflik bahasa ini melibatkan dua kelompok yang berseteru, dua golongan yang bersaing.

Menjelang pemilihan kepala daerah atau menjelang pemilihan presiden, kasus-kasus bahasa sebagai hulu ledak mulai bermunculan. Biasanya salah satu pihak merasa terpancing untuk melaporkan lawan politik guna mencari pengaruh atau pendukung.

Seperti yang kita ketahui bersama, kita mengenal adanya istilah pendukung “kampret” vs pendukung “cebong”. Di sinilah bermunculan konflik bahasa, terutama di media sosial yang akhirnya dapat diwujudkan dalam dunia nyata. Yang diusung bukanlah kebenaran, melainkan pembenaran.

Konflik bahasa yang dibalut dengan politik sangat kental. Tak jarang, konflik bahasa ini ditumpangi oleh kepentingan pihak tertentu dalam membangun opini yang pada akhirnya mampu mengumpulkan pendukung dan berpengaruh baik bagi partainya.

Di sinilah peran seorang ahli bahasa untuk lebih mengasah hati dan jiwanya agar lebih jernih dalam menangani konflik bahasa tersebut. Independen! Kata itulah yang diperlukan untuk menguatkan hasil selisik seorang penyelisik linguistik forensik.

Mengindari Konflik Bahasa dan tidak Terseret Jerat Hukum

Bagaimana upaya pencegahan agar tidak terjadi konflik bahasa? John Austin dan John Scarle (Dalam Deborah Schiffrin, 2007: 63) mengembangkan teori tindak tutur dari keyakinan bahwa bahasa digunakan untuk melakukan tindakan.

Jadi, paham fundamentalnya berfokus pada bagaimana makna dan tindakan dihubungkan dengan bahasa.

Lebih lanjut, Austin (dalam Deborah Schiffrin, 2007: 66) menjelaskan bahwa semua tuturan menyebabkan tindak tutur yang merupakan tindak lokusi (produksi suara dan kata yang mempunyai makna), tindak ilokusi (isu suatu tuturan dengan komunikasi konvensional yang diwujudkan dalam perkataan), dan perlokusi (efek nyata yang diwujudkan dalam tuturan).

Dapat disimpulkan bahwa ketiga tindak tutur tersebut dapat menjadi acuan dalam berbahasa yang baik dan benar. Sebelum berkomunikasi harus kita sadari terlebih dahulu, informasi apa yang akan disampaikan, apa maksud informasi itu disampaikan, dan bagaimana pengaruh informasi itu jika sudah disampaikan.

Berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan sebagai saran agar dapat menghindari konflik bahasa dan tidak terseret ke dalam jerat hukum. Pertama, iktikad, yakni maksud atau kemauan yang baik.

Iktikad harus berasal dari diri sendiri. Kita harus selalu berhati-hati ketika berkomunikasi dengan orang lain baik secara lisan maupun tulis.

Baik dalam berbahasa, benar dalam bersikap, dan bijak dalam berkomentar di mana pun berada, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Sebaiknya selalu selimuti tujuan komunikasi kita dengan maksud yang baik.

Kedua, motif atau niat awal dalam berkomunikasi. Sebaiknya, kita selalu menyadari apa alasan kita untuk memberikan komentar. Setiap bentuk komunikasi apa pun sebaiknya ada manfaat yang ditarik, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Ketiga, taksa, gunakan bahasa Indonesia yang efektif, jelas, tidak bermakna ganda atau ambigu karena kadang-kadang dapat menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan.

Kalimat tuduhan itu biasanya terucap melalui kalimat pernyataan. Kalimat “Bupati X korupsi” tentu berbeda makna dengan kalimat “Apakah Bupati X korupsi?” “Sepertinya Bupati X korupsi” “Jangan-jangan Bupati X korupsi”.

Perhatikan kalimat ini: “Wanita cantik itu istri pejabat yang muda.” Siapa yang muda? Istri pejabat atau pejabat yang muda? Inilah yang namanya ambigu. Sadari benar bahwa ketika kita mengungkapkan kalimat dengan pernyataan tentang kondisi seseorang yang bersifat negatif, kita dapat dituduh melakukan penghinaan atau fitnah bahkan ketika ternyata kalimat tersebut ditulis di media sosial yang dapat diketahui umum, kita dapat dituntut dengan delikan pencemaran nama baik.

Untuk menghindarinya, jangan menggunakan kalimat pernyataan, lebih baik dibungkus dengan kalimat tanya, curiga, dan tanda baca yang jelas.

Keempat, agitasi dan provokasi. Apa yang dimaksud dengan agitasi? Apakah berbeda dengan istilah provokasi?

Agitasi adalah pidato yang berapi-api untuk memengaruhi massa dalam suatu kelompok. Agitasi biasa berisi hasutan kepada orang banyak dalam sebuah kelompok untuk memiliki semangat yang sama menyerang kelompok lain. Agitasi bersifat aktif dan lawan kelompok bersifat pasif.

Keberpihakan seorang agitator jelas. Sebagai contoh kelompok cebong memiliki keberpihakan yang jelas, yakni mendukung pemerintahan Jokowi. Sementara itu, kelompok kampret juga jelas memiliki keberpihakan kepada lawan politik Jokowi.

Baik cebong maupun kampret melakukan agitasi di dalam kelompoknya masing-masing, menghasut agar memiliki semangat yang sama untuk tujuan yang sama.

Provokasi adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan, memancing massa untuk melakukan perbuatan yang merangsang beberapa pihak berseteru.

Provokator biasanya berasal dari luar kelompok. Ia menjadi penumpang gelap yang sengaja mengadu domba kedua belah pihak agar berbenturan.

Provokator adalah pihak lain (di luar kelompok cebong dan kampret) yang sengaja membangkitkan kedua belah pihak agar terjadi benturan. Kedua kelompok aktif bereaksi atas provokasi yang dimainkan oleh provokator.

Keberpihakannya tidak jelas. Kejelasannya hanya satu, keinginan memecah belah bangsa Indonesia. Seorang provokator dengan mudah berganti peran demi kepentingan perpecahan kedua pihak. Provokasi bertujuan membenturkan agar berkonflik secara sistematis.

Umumnya provokator memilki data fakta yang berlawanan sehingga menjadi basis untuk menyerang kedua pihak.

Apakah kedua istilah itu bermakna negatif? Provokasi ya, benar negatif, tetapi agitasi bisa positif bisa juga negatif bergantung pada sudut pandang.

Pada zaman penjajahan, Bung Karno, menurut rakyat Indonesia adalah seorang agitator yang ulung.

Ia sanggup berpidato dengan berapi-api untuk membakar semangat rakyat Indonesia dalam menyerang Belanda. Namun, menurut Belanda, Bung Karno sebagai agitasi bermakna negatif.

Di dalam agitasi keberpihakan jelas. Bung Karno jelas sebagai seorang agitator.

Apakah bisa orang yang berada di luar kelompok itu menjadi agitator? Tentu bisa! Multatuli seorang Belanda, tetapi dengan jelas berpihak kepada Indonesia. Bahkan sosok dengan nama asli Eduard Douwerd Dekker ini menentang aturan tanam paksa dan membantu Indonesia menuju peraihan kemerdekaan.

Apakah Multatuli seorang agitator bermakna positif? Ya, bagi Indonesia. Namun, bagaimana pandangan orang Belanda?

Kelima, berita negatif dan berita hitam. Biasanya penyampaian kalimat berupa berita negatif dan berita hitam banyak dilakukan menjelang pemilihan umum atau pemilu.

Apa perbedaan berita negarif dan berita hitam? Berita negatif adalah informasi yang negataif tentang seseorang atau sekelompok orang dan berita itu memang benar adanya.

Berita negatif didukung dengan adanya fakta dan data yang cukup, benar, dan digali dari pihak yang berkompeten. Namun, data dan fakta itu akan mengerucut pada suatu simpulan atau rapor (kinerja) buruk suatu pihak.

Contoh kalimat berupa berita negatif: Menurut keimigrasian, di era presiden A, tenaga kerja asing (TKA) membanjiri Indonesia bahkan naik hingga 5 kali lipat dibanding era presiden B. (informasi negatif dan benar).

Berita negatif ini masih dapat dibenarkan untuk menekan popularitas pihak lain meskipun yang diungkapkan tidak seimbang karena yang diungkap hanya fakta negatif, tidak menyertakan fakta positif atau kondisi yang sesungguhnya, misalnya dengan adanya TKA ke Indonresia justru investasi asing meningkat, industri pun tumbuh dan berkembang secara signifikan.

Sementara itu, berita hitam disampaikan tanpa adanya fakta dan data yang benar. Kalau pun ada, data dan fakta itu tidak valid dan biasanya dirilis oleh orang yang tidak berkompeten.

Berita hitam inilah berhubungan dengan poin keenam yakni berita bohong atau hoaks. Ada baiknya kita selalu menyaring informasi apa pun terlebih dahulu sebelum membagikannya kepada orang lain.

Untuk menghindari hoaks, kita dapat menggunakan aplikasi pengecekan berita seperti Google Image dan Hoax Analyzer. Saya sangat suka dengan program Kementerian Informasi dan Komunikasi dalam melawan hoaks: “Saring sebelum Sharing”. Mari kita melakukan saring berita sebelum sharing.

Ketujuh, klarifikasi. Masih ingat kalimat kontroversi juru bicara pemerintah dalam penanganan Covid-19, Achmad Yurianto? Ya, beberapa saat setelah kalimat pernyataan tentang si kaya dan si miskin menjadi pembicaraan masyarakat, segera Achmad Yurianto memberikan klarifikasi atas pernyataannya yang dinilai ambigu bagi sebagian masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, ketika tanpa sadar kita terlanjur berbahasa yang sanggup memunculkan konflik, segera lakukan klarifikasi sebelum semua terlambat.

Kedelapan, penggunaan media komunikasi. Sadarilah dan bijaklah dalam menggunakan media komunikasi terutama media sosial. Kembali ke poin yang pertama dan kedua: iktikad dan motif.

Niat baik dan selalu ingin bermanfaat bagi orang lain menjadi dasar ketika berkomunikasi dengan menggunakan media sosial. Sadarilah bahwa kita tidak bisa seenaknya menyuarakan perasaan atau pikiran kita tanpa memperhatikan apakah pernyataan kita pantas atau tidak diucapkan atau disampaikan.

Sadarilah bahwa ketika kita berani melakukannya, ingatlah bahwa akan banyak masyarakat yang membaca dan mengetahui apa yang kita lontarkan.

Bagaimana jika di antara mereka ada yang tersinggung? Kalau pun tidak bermaksud menjelek-jelekkan orang lain, tetapi bagaimana jika ada orang lain yang tidak menyukai kita lalu melaporkan kita kepada orang lain?

Penggunaan media komunikasi tidak hanya di media sosial, tetapi juga melalui media lain seperti buku, acara rapat, seminar, aplikasi rapat daring, dan WA Group. Hal ini berhubungan dengan poin selanjutnya kesembilan, yakni potensi ketersebaran.

Ketika menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi di ruang publik, sadarilah bahwa apa yang kita sampaikan itu bisa berpotensi ketersebarannya bisa ke mana saja.

Saat ini siapa pun bisa menjadi penulis dadakan, wartawan dadakan, kamerawan dadakan, videografer dadakan dan dengan mudah menggunggah sebuah berita atau cerita ke media sosial seperti Facebook, Youtube, dll yang bisa diakses oleh siapa pun.

Suatu hari, seorang teman datang kepada saya dengan membawa kisah yang menyedihkan. Dia seorang mahasiswa S-3 di sebuah perguruan tinggi yang baru saja menyelesaikan ujian tertutup.

Dia merasa mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan saat salah satu penguji menolak temuan penelitiannya dan penguji itu meminta agar dia mengikuti apa yang biasa dilakukannya.

"Sudahlah, ikuti apa kata penguji! Yang penting kita lulus!"

"Ya, benar, ikuti kaya penguji saja dulu biar cepat lulus!"

"Kalau mau mempertahankan idealismemu, nanti saja berkarya setelah lulus. Jangan sekarang! Saran kami, ikuti saja penguji agar segera jadi doktor!"

Begitulah saran dari teman, dosen, dan promotor. Pikir dia, untuk apa kuliah dan mengadakan penelitian selama tiga tahun, tetapi temuan barunya itu ditolak salah satu penguji. Itu sama saja mengingkari hati nurani.

Itu paradigma lama. Kita harus mereposisinya. Justru disertasi kita haruslah merupakan puncak karya kita yang terhebat dan wajib kita pertahankan secara ilmiah.

Ingat, S-3 adalah strata pendidikan tertinggi, tidak ada lagi S-4. Kemudian, dia mencurahkan isi hati dengan segala kekecewaannya di What’s App Group (WAG) kelasnya yang anggotanya sudah seperti saudara sendiri.

Mungkin karena di antara mereka bernasib yang sama, berjuang mencapai gelar doktor dengan usaha yang maksimal. Dengan leluasanya, dia menceritakan kekecewaannya kepada salah salah penguji tersebut juga kepada promotornya.

Dia juga merasa heran, mengapa orang yang mengujinya adalah dosen S-2 yang tidak pernah mengajar bahkan membimbing mahasiswa S-3. Mengapa Kaprodi memilihnya? Dia juga mengajak agar teman-teman seangkatannya menjiwai penelitian dengan minat dan idealism yang bermakna besar.

Warnailah penelitian dengan gairah ruh ideologi sehingga menjadi penelitian yang berjiwa. Jika harus melulu mengikuti apa kata penguji, di mana prinsip kebebasan akademik? Bukankah sah-sah saja jika kita tetap mempertahankan penelitian kita asal temuan kita diimbangi dengan idealisme yang disertai argumen yang kuat.

Ternyata, curhatannya berujung masalah. Di antara anggota kelompok, ada seseorang di group itu membuat tangkapan layar dan entah bagaimana caranya, hasil tangkapan layar itu sampai ke penguji tersebut.

Masalah ini berujung pada ancaman penguji bahwa kalau tidak mau meminta maaf, penguji itu akan melaporkan teman saya dengan tuduhan pencemaran nama baik. Di sinilah sebagai ahli bahasa, pengetahuan Undang-Undang ITE dibutuhkan.

Berdasarkan hasil disekusi dengan ahli ITE dan juga berdasarkan hasil memperlajari Undang-Undang ITE, dijelaskan bahwa orang yang mencurahkan perasaannya di WAG tidak dapat dikenai tuduhan pencemaran nama baik karena dia curhat di grup terbatas.

Lagipula orang yang dicurhatkan tidak ada di dalam kelompok tersebut. Justru, seseorang yang melakukan tangkap layar itulah yang dinilai melakukan kejahatan dan dapat dikenai UU ITE Pasal 45 Ayat (3) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Sepuluh, persepsi. Ketika berkomunikasi di mana pun, hindari persepsi yang bisa digolongkan ujaran kebencian, penghinaan, penistaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan yang kurang menyenangkan orang lain dengan tetap merawat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Hindari berkomunikasi yang dapat dipersepsikan sebagai upaya membangun opini dan berpeluang memunculkan konflik bahasa. Terakhir, sebelas, bukalah hati dan pikiran kita untuk belajar literasi digital.

Bila dihubungkan dengan dunia komunikasi saat ini dengan keanekaragaman media komunikasi di media sosial dan dengan kemudahan berkomunikasi tanpa batas berpeluang menimbulkan konflik kebahasaan.

Kita dituntut jeli dalam membedakan antara berita bohong atau informasi yang sengaja dibuat untuk menyesatkan orang dan kebenaran. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya menapis setiap informasi yang akan kita bagikan atau setiap komentar yang akan kita sampaikan.

Selain harus terbiasa menapis bahasa yang akan kita gunakan, menapis informasi yang akan kita serap dan sebar, diperlukan juga pengetahuan literasi digital berdasarkan Undang-Undang ITE sehingga akan terbangun budaya bermedia sosial dengan bijak. Dengan demikian, diharapkan semua ini mampu menghindari konflik bahasa yang mampu memicu perpecahan bangsa.

Merawat bahasa berarti merawat bangsa. Mari gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar demi persatuan dan kesatuan bangsa kita yang tercinta ini: Indonesia.

Mari juga ikut membantu Kepolisian Indonesia dalam menangani dan mengatasi masalah konflik bahasa yang harus dapat ditangani dengan baik karena jika tidak, konflik bahasa dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa ini.

Mari kita ikut serta belajar dalam memahami dan mengetahui bentuk-bentuk konflik bahasa dan cara menghindari konflik tersebut sehingga terbebas dari jeratan hukum.

Terakhir, mari kita dukung peran penting pihak kepolisian selaku aparat negara yang memiliki tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat demi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika. Selamat Hari Bhayangkara untuk Kepolisian Republik Indonesia!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi