Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teka-teki Rendahnya Angka Kematian akibat Covid-19 di Jepang

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/REUTERS/KIM KYUNG-HOON
Warga memakai masker pelindung berjalan di sebuah distrik pasar lokal di tengah penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) di Tokyo, Jepang, Rabu (13/5/2020).
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Rendahnya angka kematian akibat Covid-19 di Jepang menjadi misteri yang melahirkan sejumlah teori, mulai dari perilaku orang Jepang hingga klaim kekebalan tubuh tinggi.

Meski Jepang tidak memiliki angka kematian yang terendah di kawasan, tetapi rasio kematian di Jepang lebih rendah dari rata-rata.

Fakta itu mengejutkan karena Jepang memiliki kondisi-kondisi yang membuatnya rentan terhadap virus corona.

Apalagi, negara itu juga tak pernah mengambil kebijakan besar dalam menangani pandemi.

Apa yang terjadi?

Ketika infeksi virus corona memuncak di Wuhan, China, pada Februari 2020, Jepang masih membiarkan perbatasannya terbuka.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Padahal, Jepang memiliki jumlah lansia terbanyak di dunia, kelompok usia yang paling rentan terhadap paparan Covid-19.

Saat virus itu telah menyebar, Jepang tak mengindahkan saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melakukan pengujian secara massif.

Bahkan, total tes PCR Negeri Matahari Terbit itu hanya 348.000 atau 0,27 persen dari populasi Jepang.

Jepang juga tak menerapkan penguncian ketat seperti yang dilakukan negara lain.

Meski demikian, lima bulan setelah laporan pertama, Jepang memiliki kasus infeksi kurang dari 20.000 dengan kematian kurang dari 1.000.

Baca juga: Melihat Jepang dalam Melakukan Contact Tracing Covid-19, Ternyata Begini Caranya...

Adakah yang istimewa dari Jepang?

Jika mendengar pernyataan Wakil Perdana Menteri Tara Aso, apa yang terjadi di Jepang tergantung pada kualitas unggul warganya.

Dia pun meminta para pemimpin negara lain untuk menjelaskan kesuksesan Jepang itu.

"Saya memberitahu orang-orang ini: 'Antara negara Anda dan negara kami, mindo-nya berbeda". Itu membuat mereka terdiam," kata Aso, dikutip dari pemberitaan BBC, Sabtu (4/7/2020).

Secara literal, mindo berarti "tingkat rakyat", meski beberapa pihak menerjemahkannya dengan "tingkat budaya".

Ini adalah konsep yang berasal dari era kekaisaran Jepang dan menunjukkan rasa superioritas rasial dan chauvinisme budaya. Karenanya, Aso pun dikritik karena menggunkan kata itu.

Namun, tak ada keraguan bagi banyak orang Jepang dan beberapa ilmuwan untuk berpikir bahwa ada faktor X yang melindungi penduduk dari Covid-19.

Benarkah Jepang memiliki kekebalan khusus?

Profesor Tokyo University Tatsuhiko Kodama yang mempelajari bagaimana pasien Jepang bereaksi terhadap virus, percaya bahwa Jepang mungkin pernah menderita wabah serupa sebelumnya hingga meninggalkan "kekebalan sejarah".

"Ketika virus memasuki tubuh manusia, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang menyerang patogen," kata Kodama.

"Dalam infeksi virus primer (baru), respons IGM biasanya muncul lebih dulu dan disusul oleh respon IGG. Tetapi dalam kasus sekunder (paparan sebelumnya) limfosit sudah memiliki memori dan hanya respons IGG yang meningkat dengan cepat," lanjut dia.

Saat melihat hasil pengujian, jelas Kodama, respons IGG pada semua pasien justru datang dengan cepat dan disusul oleh respons IGM yang muncul secara lemah.

Baca juga: Mengintip Masker Pintar Buatan Jepang yang Mendukung Panggilan Telepon

Dia berpikir, ada kemungkinan virus seperti SARS telah beredar di wilayah tersebut sebelumnya sehingga menyebabkan tingkat kematian rendah.

"Tidak hanya di Jepang, tetapi di sebagian besar China, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Asia Tenggara," terang dia.

Akan tetapi, klaim itu ditanggapi secara skeptis oleh Direktur Kesehatan Masyarakat di Kings College, London, Kenji Shibuya.

"Saya tidak yakin bagaimana virus semacam itu dapat dibatasi untuk Asia," kata Shibuya.

Shibuya tidak mengabaikan kemungkinan perbedaan regional dalam kekebalan atau kerentanan genetik terhadap Covid-19.

Akan tetapi, dia tidak sepakat dengan anggapan "Faktor X" yang menjelaskan perbedaan angka kematian.

Menurut dia, negara-negara yang telah berhasil dengan baik dalam perang melawan Covid, telah melakukannya untuk alasan yang sama.

Identifikasi pola infeksi

Jepang telah menemukan dua pola penting di awal pandemi. Peneliti medis di Kyoto University dan anggota gugus tugas Kazuaki Jindai, mengatakan, data menunjukkan lebih dari sepertiga infeksi berasal dari tempat yang sangat mirip.

"Angka-angka kami menunjukkan bahwa banyak orang yang terinfeksi telah mengunjungi tempat-tempat musik di mana ada teriakan dan nyanyian. Kami tahu itu adalah tempat yang harus dihindari orang," jelas dia.

Tim kemudian mengidentifikasi bernyanyi di tempat karaoke, pesta, bersorak di klub, percakapan di bar, dan berolahraga di gym sebagai kegiatan berisiko tinggi.

Kedua, tim menemukan bahwa penyebaran infeksi hanya terjadi pada sebagian kecil pembawa virus.

Sebuah studi awal menemukan sekitar 80 persen dari mereka dengan Covid-19 tidak menginfeksi orang lain, sementara 20 persen lainnya sangat menular.

Penemuan ini menyebabkan pemerintah meluncurkan kampanye peringatan nasional orang untuk menghindari ruangan tertutup dengan ventilasi buruk, tempat ramai dengan banyak orang, dan percakapan tatap muka.

"Saya pikir itu mungkin bekerja lebih baik daripada hanya memberitahu orang untuk tinggal di rumah," kata Jindai.

Baca juga: Corona, Penutupan Tokyo Disneyland Diperpanjang hingga Pertengahan Mei 2020

Kepatuhan Warga

Menurut Shibuya, tak ada faktor X, tetapi hal itu bergantung pada hal yang sama, yaitu usaha memutus rantai transmisi.

Di Jepang, pemerintah dapat mengendalikan warga untuk mematuhi aturannya.

Kendati tidak memerintahkan orang untuk tinggal di rumah, tapi secara keseluruhan mereka melakukannya.

"Itu beruntung tetapi juga mengejutkan. Kuncian ringan Jepang tampaknya memiliki efek kuncian yang nyata. Orang-orang Jepang menurutinya meskipun tidak ada tindakan ketat," kata Shibuya.

Pemerintah Jepang meminta warganya untuk berhati-hati, menjauhi tempat-tempat ramai, memakai masker, dan mencuci tangan.

Pada umumnya, itulah yang dilakukan kebanyakan orang.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri Saat Wabah Virus Corona

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi