Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reog Ponorogo, Nyaris "Tamat" pada 1965 hingga Diklaim Negara Lain

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/NURSITA SARI
Pertunjukan reog Ponorogo dalam parade Momo Asian Para Games 2018 di Monas, Jakarta Pusat, Minggu (23/9/2018).
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Kota Ponorogo identik dengan salah satu kesenian khasnya, yaitu reog. Ponorogo dan reog bahkan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Nama reog telah merasuki nyaris seluruh sendi keseharian hidup segenap masyarakat Kota Ponorogo.

Kesan itu muncul karena lambang-lambang reog selalu siap menyambut setiap pendatang dari arah Madiun sebelum memasuki Kota Ponorogo.

Sendratari reog bisa dikenali dari irama musik pengiringnya yang membangkitkan semangat dan kata-kata liriknya yang berbunyi "hooke".

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu grup reog biasanya terdiri dari seorang warok tua, sejumlah warok muda, penari jathilan, penari Bujangganong, dan Prabu Klono Sewandono.

Menyusul kemudian sebuah karangan berbentuk kepala macan yang mengaum karena "diinjak" seekor burung merak yang sedang mengembangkan sayapnya.

Inilah yang disebut dhadhak merak, sebuah barongan khas reyog Ponorogo yang beratnya mencapai lebih 40 kg.

Baca juga: Saat Reog Ponorogo Pukau Para Siswa dan Guru di Australia..

Asal-usul reog Ponorogo

Melansir Harian Kompas, 13 Januari 1972, ada banyak versi mengenai asal-usul kesenian reog Ponorogo. Salah satunya bermula dari kisah Kelana Sewandana, raja di Banter Angin (sekarang Ponorogo) yang ingin mempersunting Putri Kediri Dewi Dyah Ayu Sangga Langit.

Orang yang mendapat tugas untuk meminang putri Kediri itu adalah Bujangganong yang berasal dari Kediri.

Agar tak dikenali orang Kediri, ia memakai topeng dengan bentuk rupa yang sangat burung.

Singkat cerita, lamaran itu diterima dengan satu syarat yaitu Kelana Sewanadana harus mengalahkan Singa Barong yang ada di Alas Roban.

Syarat itu disanggupi dan sebuah pasukan kuda dikirim ke hutan untuk mencari Singa Barong.

Namun, pasukan-pasukan telah dikalahkan, sehingga memaksa Kelana untun turun tangan secara langsung.

Ketika merasa tertekan, Kelana membanting sumpingnya (perhiasan di atas telinga) ke tanah dan berubah menjadi dua burung merak.

Keindahan burung itu membuat Singa Barong terlena.

Kelengahan itu dimanfaatkan Kelana dengan mencambukkan senjatanya yang benama "Pecut Saman". Singa Barong pun berhasil dikalahkan.

Saat pesta perkawinan Kelana Sewandana dengan Dewi Dyah Ayu Sangga Langit, mereka diiringi oleh arak-arakan Singa Barong dengan dua merak bertengger di atasnya.

Dari sinilah kemudian dikembangkan menjadi permainan reog.

Baca juga: Ketika Reog Ponorogo Jadi Pusat Perhatian Penonton Menoreh Art Festival 2018

Reog atau Reyog?

Harian Kompas, 19 April 1999, menuliskan, salah satu sesepuh warok Kasal Gunapati atau Mbah Kamituwo Kucing mengatakan, susunan kata yang tepat sebenarnya reog.

Menurut dia, reyog merupakan singkatan lima huruf yang masing-masing memiliki arti arti sendiri, tapi jika dinyanyikan akan membentuk lagu Pucung.

Huruf pertama "R" lengkapnya berbunyi "rasa kidung" (cita rasa seni); "E" lengkapnya "engwang sukma adiluhung" yakni halus yang telah bebas dari segala kelekatan duniawi; "Y" artinya "yuwang agung kang pirsa" alias Tuhan YME; "O" artinya "olah kridaning pambudi" atau oleh batin, dan "G" berarti "gelar gulung karsane Kang Maha Kuasa" alias melakukan kehendak Tuhan.

"Jadi, pertunjukan reyog itu sekaligus hiburan seni namun juga mengandung nilai-nilai rohani dan religius yang dalam," jelas dia.

Oleh karena itu, ia sangat peduli ketika reyog "diplesetkan" hanya menjadi reog seperti bunyi slogan Pemda Dati II Kabupaten Ponorogo yang berarti "Resik, Endah, Ombu, dan Girang-gemirang".

"Ya terserahlah bagaimana ini ditafsirkan. Namun yang benar nulisnya harus memakai huruf y," kata warok senior itu.

Baca juga: Reog Ponorogo Meriahkan National Day Lebanon

Lika-liku sejarah

Kesenian yang populer di Jawa Timur dan Jawa Tengah itu sering dimanfaatkan untuk tujuan propaganda sebelum 1965.

Soelastri, dalam artikelnya "Reog Ponorogo, Kesenian Rakyat yang Tetap Jaya" yang dimuat di Harian Kompas, 18 Juni 1995, bahkan menyebut kesenian ini nyaris "tamat" pada 1965.

Pasalnya, ribuan unit reog dibakar akibat isu yang menyebut bahwa kesenian itu digunakan sebagai alat PKI dalam mengumpulkan dan menggerakkan massa.

Setelah 1965, situasi perlahan pulih setelah berdirinya organisasi Insan Takwa Ilahi (Inti) di Ponorogo.

Peran para warog pun mulai berubah bukan lagi sekadar pengumpul massa namun juga mulai jadi alat pemerintah untuk soal pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sampai penerangan tentang Keluarga Berencana.

Bahkan, beberapa kali grup kesenian itu berpartispasi dalam penangkapan penjahat kelas kakap dari luar daerah yang sedang beroperasi di Ponorogo dan sekitarnya.

Begitu populernya reog Ponorogo membuat Malaysia berusaha mengklaim kesenian itu. Sepanjang 2007-2012 saja Negeri Jiran itu tujuh kali mengklaimnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi