KOMPAS.com - Kalung yang diklaim antivirus corona oleh Kementerian Pertanian masih menjadi perbincangan.
Kementerian Pertanian berencana memproduksi massal kalung antivirus corona berbahan eucalyptus pada bulan Agustus mendatang.
Berbagai respons muncul. Sebagian besar menyampaikan kritik dan mempertanyakan klaim antivirus corona yang dilakukan Kementan.
Mengklaim suatu produk sebagai antivirus corona di saat wabah Covid-19 dinilai harus melalui uji klinis terlebih dahulu.
Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo meyebut bahwa produk ini telah melalui uji lab peneliti pertanian terhadap virus influenza, beta, dan gamma corona.
Baca juga: [POPULER TREN] Kontroversi Kalung Antivirus Corona Kementan | UTBK 2020
Berikut respons-respons yang muncul terhadap kalung eucalyptus produksi Kementan ini, dirangkum dari pemberitaan Kompas.com:
Klaim masih membutuhkan riset yang panjang
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih mengatakan, seharusnya ada penelitian terlebih dahulu yang membuktikan bahwa kalung ini dapat berfungsi sebagai antivirus.
"Semestinya ada hasil penelitian yang dapat membuktikan atau meyakinkan bahwa kalung tersebut berkhasiat sebagai antivirus," kata Daeng.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ari Fahrial Syam, menilai, butuh perjalanan riset yang panjang untuk dapat mengklaim kalung eucalyptus tersebut sebagai antivirus corona.
"Jangan skepstis atas hasil penelitian in vitro bahwa eucalyptus ada efek positif untuk virus corona, tetapi juga tidak boleh berlebihan dengan langsung mengklaim sebagai anti Covid-19," kata dia.
Oleh karena itu, Ari juga tidak setuju jika kalung tersebut diklaim sebagai kalung antivirus.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh ilmuwan dari Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Berry Juliandi S.Si., M.Si.
Berry mengatakan, eksperimen in vitro terhadap produk ini memang sudah dilakukan, tetapi bukan dengan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
"Melainkan virus corona lain. Itu kelemahannya, belum ada eksperimen ini vivo yang dilakukan terhadap SARS-CoV-2," kata Berry.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo juga mendorong Kementan untuk melakukan uji klinis terhadap produk ini.
Baca juga: Kontroversi Kalung Antivirus Corona, Cukuplah Disebut Kalung Kayu Putih...
Bukan kalung antivirus corona
Berry juga menyarankan agar pihak yang berkepentingan harus dapat mengomunikasikan produk kalung aromaterapi dengan benar.
Penyampaian yang salah kepada publik dinilainya sangat berbahaya.
"Kalau komunikasinya salah, bisa bahaya untuk publik. Komunikasi harus benar, bahwa kalung aromaterapi itu bisa membantu untuk mencegah penularan virus termasuk SARS-CoV-2. Jangan disebut sebagai obat corona atau anticorona," kata dia.
Ia menekankan, berbahaya jika obat herbal tertentu diklaim sebagai obat corona meski eksperimen yang dilakukan belum sampai pada kesimpulan tersebut.
Sementara itu, menurut Ari, kalung tersebut cukup disebut dengan kalung kayu putih atau kalung eucalyptus.
"Cukuplah disebut kalung kayu putih atau kalung eucalyptus atau kalung aromatherapy," kata Ari.
Baca juga: Kontroversi Kalung Antivirus Corona, Cukuplah Disebut Kalung Kayu Putih...
Tidak ada relevansi dan mengendurkan pencegahan
Secara terpisah, Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman menilai, tidak ada relevansi antara kalung antivirus dengan paparan virus corona.
Meski eucalyptus memiliki potensi antiviral, Dicky mengatakan, riset tersebut dalam bentuk spray dan filter.
Itu juga untuk jenis virus yang terbatas dan sudah umum, bukan virus corona jenis baru.
Oleh karena itu, ia menganggap produksi produk eucalyptus yang ditujukan untuk mencegah virus corona terlalu dipaksakan dan berpotensi menimbulkan salah persepsi.
Menurut Dicky, sejumlah negara Asia dan Eropa sebelumnya telah melarang penggunaan produk antivirus dari Jepang.
Selain dianggap tidak memliliki dasar ilmiah, kalung tersebut juga dikhawatirkan akan menciptakan rasa aman palsu yang mengendurkan pencegahan.
(Sumber: Kompas.com/ Sania Mashabi, Dandy Bayu Bramasta, Ahmad Naufal Dzulfaroh |Editor: Diamanty Meiliana, Ariska Puspita Anggraini, Sri Anindiati Nursastri, Fabian Januarius Kuwado, Inggried Dwi Wedhaswary)