Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Virus Corona Capai 64.958, Berapa Jumlah Rata-rata Kasus Harian di Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Petugas Puskesmas Kecamatan Gambir melakukan tes usap (swab test) ke pedagang di Pasar Thomas, Jakarta, Rabu (17/6/2020). Pemeriksaan tes usap di sejumlah pasar secara langsung tersebut dilakukan guna memutus rantai penularan COVID-19. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Lebih dari empat bulan sudah berlalu sejak pertama kali Indonesia mengonfirmasi adanya kasus Covid-19 di Tanah Air. Hingga kini, peningkatan kasus harian terus terjadi.

Dalam sepekan terakhir, mulai Senin (29/6/2020) hingga Minggu (5/7/2020) ada 9.739 tambahan kasus Covid-19. Kemudian, pada Senin (6/7/2020), terdapat tambahan 1.209 kasus baru, sehingga total kasus kini mencapai 64.958 kasus.

Dengan demikian, berarti rata-rata penambahan kasus harian dalam sepekan terakhir adalah 1.391 kasus, atau hampir 1.400 kasus tiap harinya.

Seperti diberitakan Kompas.com, Senin (6/7/2020), angka kasus harian yang dipublikasi pada Kamis (2/7/2020) menjadi angka dengan penambahan tertinggi kasus Covid-19, yakni 1.624 kasus.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penambahan kasus tertinggi berikutnya terjadi pada Minggu (5/7/2020) dengan total 1.607 kasus, dengan Jawa Timur menjadi provinsi dengan tambahan kasus terbanyak, yaitu 552 kasus.

Meski demikian, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan setiap harinya tidak sama dengan jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 pada hari itu.

"Pelaporan hasil yang dikonfirmasi laboratorium dapat memakan waktu hingga satu minggu sejak pengujian," kata WHO dalam Situasion Report tentang Indonesia yang diterbitkan 1 Juli 2020.

Baca juga: Ketika Virus Corona Menciutkan Semangat Perayaan Hari Kemerdekaan AS

Prediksi meleset

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memperkirakan, puncak pandemi di Indonesia akan dimulai pada Mei dan berakhir pada Juli.

Seperti diberitakan Kompas.com, Senin (6/7/2020), hal tersebut disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo.

Doni menyebutkan, perhitungan puncak pada Juli didasarkan data dari Badan Intelijen Negara (BIN).

Berdasarkan data itu, penyebaran Covid-19 di Tanah Air diperkirakan akan mencapai 106.000 kasus pada Juli 2020.

Merujuk data perkiraan tersebut, kasus Covid-19 akan mengalami peningkatan dari akhir Maret sebanyak 1.577 kasus, akhir April sebanyak 27.000 kasus, 95.000 kasus pada akhir Mei, serta 106.000 kasus di Juni dan Juli.

Meski demikian, memasuki Juli, total kasus masih berada di kisaran 60.000. Jika demikian, apakah perkiraan Gugus Tugas meleset?

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, melesetnya prediksi itu kemungkinan karena banyaknya kasus yang belum terdeteksi. Buktinya, kata dia, rata-rata kasus infeksi di Indonesia masih berada pada kisaran di atas 11 persen.

"Angka kasus positif Covid-19 masih banyak yang belum terdeteksi di masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari positive rate Indonesia yang rerata di kisaran 11 persen ke atas. Jadi wajar bila jauh di bawah prediksi," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (4/7/2020).

Baca juga: 2.434 Kasus Virus Corona dalam Sehari, Filipina Catat Lonjakan Kasus Harian Tertinggi

Deteksi belum optimal

Mengutip Harian Kompas, Jumat (3/7/2020) Henry Surendra, peneliti serologi dan epidemiolog Laporcovid19.org, mengatakan, salah satu hambatan percepatan tes Covid-19 dengan PCR di Indonesia adalah penggunaan tes cepat (rapid test) berbasis antibodi untuk diagnosis, padahal akurasinya rendah.

Laporcovid-19 mendapat informasi dari sejumlah dokter yang ditekan kepala daerah agar mengurangi tes PCR dan hanya memakai tes cepat antibodi sehingga kasus positif tak bertambah.

Padahal, tes cepat lebih tepat untuk studi guna mengetahui tingkat kekebalan komunitas dan sebaran orang yang pernah tertular. Jadi, pemerintah perlu mengevaluasi penggunaan tes cepat yang rentan disalahpahami dan disalahgunakan.

”Sebaiknya pemerintah fokus memperbanyak tes PCR dan tak memakai tes cepat antibodi untuk diagnosis. Apalagi, banyak tes cepat yang beredar ini tidak divalidasi,” kata dia. 

Selain itu, pemerintah mesti membuka jumlah harian tes PCR di tiap daerah sebagai ukuran kinerja. Jika data tes PCR tak dibuka, bisa jadi daerah minim kasus atau zona hijau terjadi karena tesnya kurang.

Baca juga: Mengenal Eucalytol yang Diklaim Mampu Atasi Virus Corona oleh Kementan

Memperlambat penanganan pasien

Tri Maharani, dokter emergensi di Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, menilai, tes cepat memperlambat penanganan pasien. Tri sebelumnya positif Covid-19 menurut hasil tes PCR, padahal hasil tes cepat nonreaktif.

Menurut epidemiolog dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria, tak ada negara yang sukses mengendalikan Covid-19 dengan tes cepat antibodi untuk diagnosis.

Dalam panduan WHO, standar yang dipakai tes molekuler dengan PCR. ”Di Korea Selatan dan Taiwan, yang disebut tes cepat ini pakai PCR, bukan serologi (antibodi). Di negara lain, tes PCR bisa selesai sehari,” kata dia. 

Pemerintah Indonesia disarankan tidak menjadikan tes cepat antibodi sebagai pilihan syarat penerbangan. Di Taiwan, syarat untuk terbang adalah hasil tes PCR paling lama tiga hari sebelum terbang.

Saran penghentian tes cepat antibodi sejalan dengan riset di The British Medical Journal edisi 1 Juli 2020.

Kajian oleh Mayara Lisboa Bastos dari Research Institute of the McGill University Health Centre, Kanada, dan tim ini mengungkap kelemahan utama tes antibodi Covid-19 sehingga tidak bisa untuk diagnosis.

Baca juga: Ratusan Ahli Tuduh WHO Sangkal Fakta Virus Corona Bisa Tersebar di Udara

(Sumber: Kompas.com/ Dandy Bayu Bramasta, Ahmad Naufal Dzulfaroh | Editor: Inggried Dwi Wedhaswary)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi