Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marak Kasus Kekerasan Seksual, Apa Isi dan Polemik RUU PKS?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi kekerasan seksual
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Beberapa hari belakangan ini, pemberitaan mengenai kekerasan seksual marak diperbincangkan oleh masyarakat, terutama warganet di media sosial Twitter. 

Seperti kejadian di Denpasar, korban yang hamil dan dinikahkan dengan pemerkosanya, setelah melahirkan justru kembali diperkosa oleh mertuanya.

Ada pula kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pegawai kedai kopi Starbucks kepada pelanggannya.

Terbaru, ada kisah remaja korban pemerkosaan di yang dititipkan di rumah aman milik lembaga pemerintah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di sana, korban yang seharusnya mendapat pendampingan dan perlindungan justru kembali mengalami peristiwa yang sama, ironisnya terduga pelaku adalah Kepala UPT P2TP2A itu sendiri. 

Kondisi ini tentu menuntut kehadiran peraturan yang tegas dan berpihak pada korban kekerasan seksual. Di sinilah peran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dibutuhkan.

Baca juga: Pemulihan di Rumah Aman Milik Pemerintah, Bocah 14 Tahun Korban Perkosaan Dicabuli Kepala P2TP2A

Apa Isi RUU PKS?

Hingga saat ini, belum ada kebijakan yang mengakomodir hak-hak korban kekerasan seksual secara komprehensif. Kehadiran RUU PKS yang mengakomodir hak-hak korban tentu mutlak dibutuhkan sebagai payung hukum.

Seperti diberitakan Kompas.com (23/9/2019) definisi kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Pasal itu menyatakan, "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik".

Sementara, cakupan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 20.

Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari:

Sementara itu, Pasal 11 Ayat (2) menyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus lainnya.

Baca juga: RUU PKS Ditarik dari Prolegnas Prioritas di Saat Tingginya Kasus Kekerasan Seksual

Polemik RUU PKS

Sayangnya, pembahasan RUU PKS seringkali diwarnai kontroversi, baik di kalangan masyarakat maupun di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Mengutip Harian Kompas, 27 Januari 2020, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR menolak RUU PKS dengan alasan ada potensi pertentangan antara materi RUU serta nilai-nilai Pancasila dan agama, yang dinilai akan memunculkan polemik di masyarakat.

Definisi kekerasan seksual hingga cakupan jenis kekerasan seksual di RUU tersebut dianggap berperspektif liberal.

Hal tersebut dibantah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menyatakan RUU PKS bukan ingin mengamini liberalisasi kehidupan seksualitas, tetapi ingin membantu korban kekerasan seksual agar mendapat rehabilitasi dan perlindungan.

Pembahasan yang berlarut-larut ini berujung antiklimaks ketika Komisi VIII DPR justru mengusulkan agar RUU PKS dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.

Seperti diberitakan Kompas.com, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS sulit dilakukan saat ini. RUU PKS merupakan RUU inisiatif DPR.

"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).

Dihubungi seusai rapat, Marwan menjelaskan, kesulitan yang dimaksud dikarenakan lobi-lobi fraksi dengan seluruh fraksi di Komisi VIII menemui jalan buntu.

Marwan mengatakan, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai pemidanaan juga masih menjadi perdebatan.

Baca juga: Masyarakat Minta DPR Segera Bahas dan Sahkan RUU PKS

Dibutuhkan masyarakat

Dari hasil jajak pendapat yang diterbitkan Harian Kompas, 27 Januari 2020, diketahui bahwa kekerasan seksual di Indonesia dinilai sudah mengkhawatirkan. Peraturan yang tegas dibutuhkan untuk menegakkan keadilan yang berperspektif korban.

Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan Litbang Kompas pada 22-23 Januari 2020.

Sebanyak 547 responden berusia minimal 17 tahun berbasis rumah tangga dipilih secara acak bertingkat di 16 kota besar di Indonesia, yaitu Banda Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, Pontianak, Samarinda, Manado, Makassar, Ambon, dan Jayapura.

Jumlah responden ditentukan secara proposional di tiap kota.

Menggunakan metode ini pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan ± 4,2 persen. Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajak
pendapat ini mencerminkan pendapat masyarakat sesuai karakterisitik responden di 16 kota.

Baca juga: Nasdem Komitmen Perjuangkan RUU PKS Jadi Undang-Undang

Hampir semua responden (94,9 persen) khawatir terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat belakangan ini. Publik juga berharap RUU PKS segera dirampungkan dan diterapkan untuk menjamin perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual.

Hasil jajak pendapat mencatat, lebih dari separuh responden setuju RUU PKS segera disahkan meskipun publik juga menangkap salah satu hal yang menjadi penyebab lambannya pembahasan RUU itu kontroversi yang muncul.

Sebanyak 41,9 persen responden mengakui, akibat banyak kontroversi di masyarakat, RUU PKS belum disahkan.

Padahal, semangat dari regulasi ini ialah untuk menghapuskan berbagai bentuk kekerasan seksual dan memberi keadilan bagi korban. Selain itu, peraturan ini juga didasari prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.

Kemudian, sebanyak 67,8 persen responden mengaku tidak puas terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual.

Baca juga: 16 RUU Resmi Ditarik dari Prolegnas Prioritas, Salah Satunya RUU PKS

(Sumber Kompas.com/ Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Achmad Nasrudin Yahya | Editor: Bayu Galih, Sandro Gatra)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi