Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kolumnis
Bergabung sejak: 16 Mei 2017

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Tiga Presiden Indonesia di Bulan Juli

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS-KOMPAS.COM/ BAHANA PATRIA GUPTA/ TOTOK WIJAYANTO/ RODERICK ADRIAN MOZES
Tiga mantan presiden Indonesia. Dari kiri ke kanan, Alm BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Megawati Soekarnoputri.
Editor: Heru Margianto


ANTARA Kamis, 21 Mei 1998, sampai Kamis, 20 Oktober 2004, Republik Indonesia dipimpin tiga orang presiden secara berturut turut atau bergiliran.

Mereka adalah Presiden BJ Habibie (21 Mei1998 - 20 Oktober 1999), Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001), dan Presiden Megawati Soekarnoputri (23 Mei 2001 - 20 Oktober 2004).

Tiga presiden telah berusaha meluruskan jalan yang bengkak-bengkok akibat 32 tahun di bawah pemerintahan rezim Presiden Soeharto (1967-1998).

Ketiganya berusaha membawa republik ini ke alam reformasi seperti yang dikehendaki oleh para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, pada Mei 1998.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tidak mudah untuk memperbaiki kerusakan akibat rezim pendahulu mereka. Tapi cukup lumayan apa yang mereka lakukan dengan segala kekurangannya.

Wakil Presiden Hamzah Haz (2001-2004) mengakui hal itu. Dalam acara buka puasa bersama para wartawan di kantornya di Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa, 11 Desember 2001, Hamzah mengatakan, pemerintahan Megawati - Hamzah Haz sudah cukup lumayan bila bisa bertahan sampai tahun 2004 karena beban kesalahan masa lalu yang harus diperbaiki cukup berat.

Selama memerintah, BJ Habibie pun berkali-kali mengatakan apa yang dilakukan pemerintahannya saat itu ialah membuat “agar Indonesia yang seperti kapal yang sedang oleng itu tidak sampai karam dulu”.

Begitu pula pemerintahan Gus Dur bersama Megawati. Seperti yang dilakukan Habibie, keduanya melanjutkan usaha jangan sampai kapal itu kandas.

Sejarah ketiga presiden ini paling tidak merupakan bahan yang sangat berguna untuk dipelajari oleh para presiden yang melanjutkan menahkodai negeri ini.

Mungkin juga bagi Presiden Joko Widodo yang kini sedang menghadapi masa sulit di era serbuan covid 19 ini.

Sejarah bulan Juli

Inspirasi untuk menulis artikel ini muncul ketika saya duduk di sebuah ruang tunggu di gedung markas pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) di Jalan Diponegoro nomor 58, Menteng, Jakarta, Senin 29 Juni 2020 lalu. Dua hari lagi, saat itu, bulan Juni beralih ke Juli.

Banyak peristiwa di bulan Juli yang berkaitan dengan tiga presiden itu. Perlu dicatat pula, dua dekrit presiden dikumandangkan pada bulan itu.

Presiden Soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1958.

 

Sementara, pada Senin subuh, 23 Juli 2001, Presiden Gus Dur mengeluarkan dekrit pembekuan MPR/DPR dan Partai Golkar. Siang harinya, rapat paripurna Sidang Istimewa MPR mencabut mandat Gus Dur sebagai Presiden RI.

Kemudian Megawati menjadi presiden dan Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, menjadi wakil presiden.

Dua hari kemudian, Rabu 25 Juli 2001, Gus Dur meninggalkan istana kepresidenan dan langsung terbang ke Amerika.

Lima tahun sebelumnya, pada 27 Juli 1996, terjadi peristiwa berdarah penyerbuan di kantor PDI Perjuangan ini. Peristiwa ini merupakan salah satu langkah dari beberapa langkah dari jalan Soeharto lengser keprabon.

Tiga tahun kemudian, Kamis siang, 29 Juli 1999, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politiknya dengan judul “Menyambut Kemenangan Rakyat pada Pemilu 1999” di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Tiga bulan kemudian, Mega gagal jadi presiden, tapi dapat kursi wakil presdien.

Dua tahun kemudian, pada Senin siang, 23 Juli 2001, Megawati menjadi Presiden RI ke-5.

Ketika duduk-duduk di kantor PDI Perjuangan malam itu, saya melihat dan mendengar beberapa pengurus partai ini sedang berbincang-bincang tentang peristiwa pembakaran PDI Perjuangan menjelang akhir Juni 2020 lalu.

“Bagaimana perasaan para pendukung Partai Nasdem, Golkar, Partai Berkarya, tentu terinjak-injak rasa harga diri mereka bukan. Begitu juga perasaan para pendukung PDI Perjuangan,” bagitu kata seorang pengamat politik (bukan dari PDI Perjuangan) yang ikut duduk-duduk di Jalan Diponegoro 58 waktu itu.

Sementara pengamat politik lainnya yang juga ada di situ mengatakan, “sebenarnya perisiwa itu ada hikmahnya bagi PDIP.”

“Apa pun latarbelakang peristiwa pembakaran bendera PDIP itu, justru membuat soliditas partai ini makin kuat dan tinggi. Ingat pengalaman PDIP di masa lalu yang membuat partai ini menjadi seperti sekarang, partai nomor satu di republik ini,” ujar pengamat yang baru kali itu datang ke markas PDI Perjuangan Jalan Diponegoro 58 Jakarta.

Menanggapi soal pembakaran bendera dan berbagai kecaman yang ditujukan ke partai tersebut, seorang pengurus PDI Perjuangan yang ada di situ malam itu mengatakan, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, telah mengeluarkan perintah harian kepada segenap kader-kader PDI Perjuangan seluruh Indonesia untuk mawas diri dan tidak terpancing terhadap berbagai upaya provokasi dan adu domba serta menjaga persatuan bangsa Indonesia.

Juga dikatakan, PDI Perjuangan akan menempuh jalur hukum dengan melaporkan kepada aparat penegak hukum atas berbagai aksi kekerasan dan fitnah yang dilakukan.

“Sebagai bangsa yang menganut paham kekeluargaan kami akan membuka pintu maaf apabila oknum-oknum yang telah membakar bendera partai kami dan memfitnah Ketua Umum PDI Perjuangan punya niat baik untuk mengakui kekeliruan dan kesalahannya,” ujar pengurus PDI Perjuangan itu.

Pengurus PDI Perjuangan lainnya mengatakan, setelah terjadi pembakaran bendera itu, sebenarnya PDI Perjuangan di Kalimantan Barat akan melakukan aksi turun ke jalan, tapi Megawati tidak menghendaki.

“Sebenarnya, aksi pembakaran dan protes-protes lainnya itu juga tertuju pada Presiden Joko Widodo,” katanya.

 

Pembicaaraan santai tidak resmi malam itu ( Senin, 29 Juni 2020) membawa angan saya ke masa pemerintahan tiga presiden setelah Soeharto lengser. Banyak peristiwa yang terjadi saat itu yang saya catat, terutama yang terjadi di bulan Juli.

Malam itu juga saya kontak lewat telepon kepada sejumlah aktivis yang banyak bergerak di jalan pada masa menjelang berakhirnya pemerintahan Soeharto sampai masa tiga pemerintahan selanjutnya.

Mereka adalah, Fendry Panombon (mantan Sekretaris Jenderal Komite Perjuangan untuk Perubahan Yogyakarta), Ahmad Rofiq, Melky Lakalena (sekarang wakil ketua komisi 9 DPR RI dari fraksi Partai Golkar)

Juga seorang yang pernah jadi menteri di masa pemerintahan Gus Dur, yakni Soni Keraf (Menteri Negara Lingkungan Hidup).

Ketika saya kontak untuk bicara soal tiga presiden, Soni memilih mengemukakan pengalamannya yang tak terlupakan ketika dipilih jadimenteri lingkungan hidup.

“Kekuatan utama Gus Dur adalah filsafat dan berpikir rasional. Dia mengangkat saya menjadi menteri bidang lingkungan hidup karena keyakinannya, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus bersumber pada etika (bukan etiket) yang mengejawantah dalam perilaku menjaga dan melindungi lingkungan hidup sebagai ciptaan Tuhan,” ujar Soni.

Ahmad Rofiq, aktivis 98 yang punya pengalaman dalam Partai Nasdem dan Perindo, lebih memilih bicara soal Megawati Soekarnoputri. Menurutnya, Megawati adalah presiden perempuan pertama dalam sejarah di Indonesia.

“Ibu Mega adalah presiden perempuan pertama yang memimpin negara bermayoritas Muslim dan bahkan terbesar di dunia. Ia memimpin negara multi etnis, multi agama dan seterusnya,” ujar Rofiq

Ia mengatakan, dalam kepemipinannya Mega mampu menjadikan Indonesia dalam situasi kondusif, ekonomi tumbuh berkembang, di tengah krisis waktu itu.

“Konflik horizontal yang ditakutkan banyak pihak waktu itu bisa dikendalikan.,” ujarnya.

Habibie, Gus Dur dan Megawati

Saya tidak begitu akrab dengan BJ Habibie. Tapi beberapa kali saya diajak bicara langsung ketika beliau memerintah selama satu setengah tahun lebih.

Di awal Juli 1998, setelah beberapa bulan jadi presiden, Habibie mengatakan kepada saya di koridor antara Istana Negara dan Istana Merdeka, “Dik, besok saya akan menyanyikan lagu Widuri di istana”.

Keesokan harinya, dalam acara resmi di Istana Negara, Habibie membawakan lagu “Widuri”.

 

Bagi saya yang bertahun tahun, tiap hari, berada di istana masa Soeharto, penampilan Habibie saat itu menjadi simbol kecil desakralisasi istana.

Pada 9 sampai 11 Juli 1998, setelah dua bulan Habibie jadi presiden, Golongan Karya mengadakan musyawarah nasional luarbiasa (Munaslub). Akbar Tanjung (waktu itu menjabat menteri sekretaris negara) terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar mengalahkan mantan Menteri Pertahanan Jenderal TNI (purnawirawan) Edi Sudradjat.

Setelah kemenangannya itu, Akbar seusai acara puncak Hari Koperasi Nasional di halaman istana kepresidenan Jakarta, Minggu 12 Juli 1998, antara lain mengatakan kepada wartawan, Presiden Habibie melihat pemilihan ketua umum Golkar dari jauh dengan hati berdebar-debar.

Akbar saat itu mempersamakan dirinya dengan kesebelasan sepakbola Brasil yang didukung semua orang.

Dalam pertemuan dengan para tokoh pers di Wisma Negara bulan Agustus 1998, saya mengusulkan agar Presiden BJ Habibie punya panggilan akrab yang khas dekat dengan rakyat Indonesia, yakni “Bung Rudy”.

Menanggapi usulan saya, Habibie mengatakan, “boleh saja, mau panggil apa saja boleh.”

Tapi seorang pemimpin redaksi sebuah suratkabar di Surabaya dalam pertemuan itu menyatakan tidak setuju kalau seorang presiden dipanggil “bung”.

“Di Amerika Serikat pun seorang presiden dipanggil mister presiden,” kata pemimpin redaksi itu.

Setelah sebelas bulan Habibie memerintah, pada 7 Juni 1999, diselenggarakan pemilihan legislatif yang diikuti 48 partai.

PDI Perjuangan di bawah Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri memperoleh suara 33, 74 persen (35. 689.073 suara) dan Partai Golkar 22, 44 persen (23.741.749) dan PKB 12, 61 persen (13.336.982), PPP 10,71 persen (11.329.905) dan PAN 7,12 persen (7.528.956).

Pada 29 Juli 1999, Megawati di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, menyampaikan pidato politik yang disiarkan secara langsung oleh semua televisi di Indonesia. Hampir dua jam lebih pidato “Menyambut Kemenangan Rakyat pada Pemilu 1999” itu.

Sehari kemudian, ketika berada di istana, seusai bertemu dengan Presiden BJ Habibie, pejabat Ketua Umum ICMI Achmad Tirto Sudiro dengan sinis mengatakan, “seperti sudah jadi presiden saja”.

Sementara seorang menteri mengatakan, “Mega belum tentu jadi presiden”.

Di luar istana, mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dan mantan Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) Indonesia bagian timur, Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Kemal Idris menyerukan dukungan Megawati pantas jadi presiden.

 

Tentang Megawati sebelum pileg 7 Juni 1999, saya tertarik membaca buku yang dicetak 17 Agustus 1998, berjudul “Gerakan Pro-Mega: Menelusuri Jejak Pendukung Megawati”.

Prolog buku ini ditulis oleh Saifullah Yusuf, waktu itu sebagai Sekjen Angkatan Muda Nahdlatul Ulama. Editor buku saku ini adalah A. Helmy Faishal Zaini, waktu itu Wakil Sekjen Angkatan Muda Nahdlatul Ulama (sekarang Sekjen PBNU).

Di bawah sub-judul “Gus Dur : 30 juta Rakyat Dukung Mega” (halaman 7) antara lain dituliskan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung Megawati untuk mencalonkan diri sebagai presiden periode 1999 - 2003. Tapi, kata artikel itu, Gus Dur pesimis Megawati akan menjadi presiden mendatang.

Ramalan Gus Dur ada benarnya dan ada melesetnya. Tahun 1999, Mega tidak terpilih sebagai presiden, yang jadi Gus Dur. Mega jadi wakil presiden. Satu tahun lebih kemudian, 23 Juli 2001, Mega jadi presiden dan Gus Dur lengser.

Habibie, demokrat tulen

Fendry Ponomban, aktivis 98 dari Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM) dan Sekjen Komite Perjuangan untuk Perubahan (KPRP, Yogyakarrta 1998 -1999) punya pendapat menarik tentang sosok Habibie. Padahal di tahun 1998 dan 1999, Fendry sangat anti dengan Habibie dan lebih mendukung Gus Dur dan Megawati.

Fendry pada mulanya, seperti banyak aktivis 98 pada umumnya, mengatakan Habibie identik dengan Soeharto. Menurut Fendri, Habibie mampu keluar dari bayang-bayang Soeharto melalui serangkaian keputusan penting yang diambilnya, yakni kebebasan pers, pembebasan tahanan politik, dan berani membuka pintu penyelesaian damai Timor Timur lewat referendum.

“Dari Habibie kita belajar bagaimana seorang pemimpin bertindak di tengah badai politik dan berani memegang teguh nilai-nilai yang ia yakini kebenaranya. Saya mengenang Habibie seorang cendekiawan cemerlang, negarawan humanis dan demokrat tulen,” kata Fendri yang kini tinggal di Luwuk, Sulawesi Tengah.

Selama Gus Dur jadi presiden saya sering dipanggil di ruang kerjanya di Istana Merdeka. Pertemuan itu lebih banyak diiringi canda dan ketawa terbahak - bahak. Sampai suatu hari putri Gus Dur, Yenny Wahid menegur kami, “lho koq cuma ketawa-ketawa, tidak ada wawancara ya.”

Masa itu, bagi saya sebagai wartawan kepresidenan sangat menyenangkan. Selain punya kedekatan dengan Gus Dur saya juga kenal baik dengan Wakil Presiden (waktu itu) Megawati Soekarnoputri.

Beberapa hari setelah dilantik jadi presiden, saya ikut perjalanan pertama Gus Dur ke seluruh negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN). Perjalan ini hanya makan waktu tiga hari. Perjalanan ini banyak ditandai dengan jumpa pers baik di pesawat maupun di tempat kita menginap.

Suasana saat itu adalah “sorga” bagi wartawan.

Perjalanan paling fantastis, ketika ke Amerika, bertemu dengan Presiden (waktu itu) Bill Clinton. Hampir semua anggota rombongan tidak punya visa. Ini terjadi karena kami tidak sempat mengurus visa. Kami, rombongan, berangkat ke Amerika Serikat, dua malam setibanya dari keliling ASEAN.

Dalam kelompok wartawan, ada Wahyu Muryadi dari majalah Tempo (waktu itu). Banyak teman-teman wartawan yang bersikap sinis dengan penampilan Wahyu yang saat itu membawa ransel, sepatu sandal dan kemeja tangan panjang yang dilipat.

Penampilan ini terasa “aneh” bagi para wartawan istana yang sebagian besar dari masa Soeharto yang selalu tampil dengan setelan jas, dasi, atau batik berlengan panjang. Setiba kembali ke Indonesia, Wahyu diangkat oleh Gus Dur jadi kepala protokol istana.

Perjalanan pertama ke luar negeri Megawati adalah ke Singapur. Selama perjalanan beberapa hari ini saya ditemani Taufik Kiemas dan mendapat waktu eklusif wawancara dengan Wapres.

Yang paling saya ingat ialah pernyataan Megawati tentang khasiat rempah-rempah Indonesia yang membuat orang Eropa datang ke Nusantara di beberapa abad silam. Mega juga bilang selalu membawa kencur untuk mencegah flu atau batuk (menghilangkan suara parau).

Menjelang Juli 2001, suasa kemesraan presiden dan wakil presiden sudah diliputi awan mendung. Dalam sebuah acara di istana ,mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dan mantan Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) Indonesia bagian timur, Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Kemal Idris mengatakan, “betapa sayangnya bila antara Gus Dur dan Megawati terjadi keretakan”.

Dalam pemilihan umum legislatif Juni 1999, Kemal Idris sering menyuarakan dukungannya kepada Megawati. Di bulan Oktober 1999, setelah terpilihnya Gus Dur jadi presiden dan Megawati jadi wakilnya, Kemal Idris mengatakan pasangan itu ideal sekali untuk pemerintahan ke depan.

Di awal Juli 2001 itu Kemal mengatakan, “jahat sekali kalau friksi antara Gus Dur dan Megawati disebabkan oleh orang-orang lain”. Kemal Idris wafat 28 Juli 2010.

Fendry Ponomban, Sejen Komite Perjuangan untuk Perubahan Yogyakarta atau KPRP (1998 -1999), mengatakan sampai saat ini dia mengenang Megawati sebagai tokoh politik tahan banting, politisi perempuan tangguh. “Maka beliau menjadi tokoh politik terkemuka saat ini.”

Senada dengan itu, Ahmad Rofiq mengatakan, “Kini Bu Mega tetap eksis di politik dan bahkan mampu mengantar parpol yang dipimpinnya menjadi pemenang tiga kali.”

Melky Lakalena, Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Partai Golkar mengenang, Gus Dur telah memberikan cintanya untuk kemanusiaan.

Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono menyebut Gus Dur sebagai bapak pluralisme.

Habibie, Gus Dur dan Megawati adalah sosok presiden tempat kita belajar saat ini.

Inilah catatan saya sebagai wartawan istana tentang tiga presiden dalam sejarah bulan Juli. Maaf bila catatan saya ini meloncat-loncat kekiri dan kekanan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi