Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Butuh 7 Planet untuk Buat Kenyang Penduduk Bumi jika Ikuti Pola Makan Negara G20

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Shutterstock
Ilustrasi daging wagyu grade A5
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Manusia sebagai makhluk yang bisa memakan berbagai jenis bahan pangan, mulai dari tanaman, biji-bijian, daging, telur, dan lain sebagainya, membutuhkan pasokan untuk terus bertahan hidup.

Namun, kebutuhan terhadap bahan pangan itu jika dikelompokkan berdasar kebutuhan per negara akan menjadi berbeda-beda.

Melansir DW, Jumat (17/7/2020), jika semua penduduk Bumi memiliki tingkat kebutuhan akan bahan pangan sebagaimana negara-negara anggota G20 atau negara dengan kondisi perekonomian besar dunia, maka setidaknya dibutuhkan 7 planet untuk membuat penduduk Bumi kenyang.

Dalam sebuah laporan terbaru soal pangan yang dirilis WWF, Kamis (16/7/2020) di Paris, sejauh ini Jerman dan Amerika Serikat menjadi negara yang termasuk kategori paling “rakus”.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Jubir Menhan: Lumbung Pangan Nasional Bukan Program Cetak Sawah

Konsumsi pangan mereka dikatakan boros dan membawa dampak buruk bagi peningkatan emisi karbon.

Laporan berjudul "Diet for a Better Future" itu menyebut di antara 19 negara yang masuk menjadi anggota G20, hanya Indonesia dan India lah yang konsumsi pangannya cukup rendah.

Sementara itu, Argentina, Brasil, dan Kanada termasuk memiliki kebutuhan pangan yang mendekati Jerman dan AS, sangat tinggi.

Tinggi-rendahnya tingkat konsumsi pangan berpengaruh pada proses pemanasan global yang terjadi. Saat ini, target Bumi adalah bisa menurunkan pemanasan global sekitar 1,5 derajat Celcius.

Baca juga: Pro Kontra Ditunjuknya Menhan Prabowo Jadi Pemimpin Proyek Lumbung Pangan Nasional

Apa hubungannya?

Konsumsi daging dan produk susu pada negara-negara G20 yang merupakan rumah dari 64 persen populasi Bumi, saat ini menciptakan 75 persen total emisi yang disebabkan oleh sektor pangan.

Konsumsi daging merah dan susu disebutkan menjadi pemicu emisi karbondioksida.

Disebutkan dalam laporan, sekitar 40 persen emisi karbon dari produk pangan berasal dari peternakan dan limbah makanan.

Daging dan produk susu adalah makanan yang paling tidak baik bagi lingkungan (karena proses produksinya tidak memperhatikan kelanjutan lingkungan), namun paling banyak dikonsumsi di negara G20.

Disebutkan pula, bahwa ternyata banyak negara memiliki pola konsumsi yang jauh melebihi rekomendasi diet ramah lingkungan.

Baca juga: Apa Kata Buwas Soal Rencana Erick Thohir Bikin BUMN Klaster Pangan?

Misalnya, Jerman merekomendasikan konsumsi 50 gram daging merah sehari, tapi realitasnya dalam konsumsinya bisa mencapai rata-rata 100 gram sehari.  

Angka ini tentu 2 kali lipat lebih tinggi dari angka yang direkomendasikan negara. Bahkan hampir empat kali lipat dari rekomendasi global yang maksimal 28 gram sehari.

"Saat ini, orang-orang di beberapa negara mengonsumsi terlalu banyak makanan yang salah dan mengorbankan seluruh dunia. Pola makan yang tidak seimbang di sejumlah negara kaya ini merugikan iklim, kesehatan dan ekonomi," kata Direktur Pangan Global WWF, Brent Loken.

Loken menyebut pola konsumsi pangan menjadi satu sektor yang sangat menentukan terhadap emisi karbon yang tercipta.

Sebenarnya, jika setiap dari kita memperhatikan dan menaati pola konsumsi sebagaimana dianjurkan, maka dapat mendorong terbentuknya pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan alias ramah terhadap lingkungan.

Hal-hal tersebut pada akhirnya dapat mewujudkan sistem pangan yang lebih tangguh.

Baca juga: Soal Ancaman Krisis Pangan Dunia, Buwas: Jangan Terlalu Khawatir

Diet bahan pangan bisa cegah pandemi

Saat ini sudah banyak negara yang mulai menyadari pentingnya menerapkan produksi dan penggunaan bahan pangan yang memperhatikan keberlanjutan kesehatan lingkungan.

Selain konsumsi yang kelewat tinggi, masalah lain yang masih terkait makanan dan negara-negara kaya adalah soal banyaknya makanan yang terbuang.

"Makanan yang kita konsumsi dan bagaimana kita memproduksinya juga merupakan pendorong utama dalam munculnya virus mematikan seperti COVID-19. Perubahan ke arah diet sehat dan berkelanjutan akan sangat mengurangi risiko pandemi di masa depan," ujar Loken.

Laporan ini disusun oleh sebuah organisasi nirlaba bernama EAR yang berbasis di Oslo.

Mereka telah mengadakan penelitian terkait kesehatan, perubahan iklim, juga menilai pola pangan negara-negara maju untuk memproyeksikan jejak karbon yang tersisa dari konsumsi pangan itu.

Baca juga: Jubir Sebut Prabowo Pimpin Proyek Lumbung Pangan Didasari Perspektif Pertahanan

Sumber: DW

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi