Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KSAU 2002-2005
Bergabung sejak: 25 Feb 2016

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Kontroversi Pesawat Terbang "Made in Indonesia"

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/PRAMDIA ARHANDO JULIANTO
Miniatur pesawat R80.
Editor: Ana Shofiana Syatiri

Salah satu penjuru di garis depan Industri Penerbangan adalah pabrik pesawat terbang. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan letak yang sangat strategis dan sebagian besar berujud wilayah bepegunungan, idealnya memang harus memiliki pabrik pesawat terbang.

Salah satu alasan utama adalah karena sistem perhubungan udara bagi negeri ini laksana jejaring yang digunakan untuk mengalirkan darah dan oksigen ke seluruh bagian tubuh manusia.

Pabrik pesawat terbang bukanlah hal yang baru bagi Indonesia karena ide, pemikiran dan perintisannya sudah dimulai sejak tahun awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Angkatan Udara dengan Nurtanio, Wiweko, Yum Soemarsono, Salatun, dan teman-teman sudah memikirkan dan memulainya.

Ide ini yang kemudian dilanjutkan pada era Habibie masih di tempat yang sama di kawasan pusat pemeliharaan pesawat terbang Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara Bandung, sekarang dikenal sebagai PTDI.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Singkat kata, kita memang sudah memiliki pabrik pesawat terbang yang hasil produksinya pun sudah “mendunia”. Produksinya, syukur alhamdulilah, sudah digunakan oleh cukup banyak negara di luar Indonesia.

Indonesia memang tidak dapat dibantah sudah memiliki kemampuan dalam sektor memproduksi pesawat terbang dengan kategori “World Class”.

Sekadar contoh saja pesawat CN-235 produksi Indonesia bersama dengan Spanyol sudah digunakan banyak negara antara lain Thailand, Perancis, Turki, Malaysia dan Korea Selatan. Indonesia sudah punya pabrik pesawat terbang kelas dunia.

Beberapa bulan lalu, masyarakat penerbangan Indonesia dikejutkan dengan keputusan pemerintah yang mencoret proyek pembuatan pesawat terbang N245 dan R80 dari daftar PSN (Proyek Strategis Nasional).

Artinya, pemerintah telah menetapkan bahwa proyek pembuatan pesawat terbang N245 dan R80 tidak masuk dalam kategori penilaian proyek yang strategis ditingkat nasional.

Dapat pula diartikan bahwa pemerintah meragukan bahwa proyek N245 dan R80 yang tengah berjalan dengan berbagai alasan (temasuk dukungan dana) akan dapat selesai sesuai rencana.

Tidak mustahil keputusan tersebut juga dilatar belakangi oleh bayang-bayang kekecewaan terhadap proyek N219 yang sudah berulang kali, molor atau tertunda dari jadwal yang telah ditentukan pada rencana induknya.

Walahualam bisawab, kita memang tidak akan pernah tahu tentang apa sebenarnya yang menjadi alasan pemerintah mengeluarkan keputusan tersebut. Apapun yang dijadikan alasan oleh pemerintah, yang pasti, hal tersebut telah mengecewakan para pecinta produksi dalam negeri terutama para penyandang proyek dan tentu saja kemungkinan besar pihak Pabrik pesawat terbang dalam hal ini PTDI.

Dalam berjalan menuju kesuksesan membuat pesawat terbang produksi dalam negeri, setidaknya diperlukan tiga pihak yang bergandengan tangan dengan erat, yaitu produsen dalam hal ini PTDI, konsumen (TNI, Polri, maskapai penerbangan, dan lain-lain), serta pemerintah sebagai penentu kebijakan berkait dengan dukungan dana.

Nah, selama ini yang terjadi dan muncul di permukaan adalah banyaknya keluhan dari pihak produsen tentang tidak adanya keberpihakan, terutama dari konsumen, yang terkesan tidak ingin menggunakan pesawat terbang produksi negeri sendiri.

Konsumen sering ditenggarai lebih senang menggunakan produk negara lain dibanding "bangga" menggunakan produksi hasil putra bangsa. Padahal, "katanya" produk dalam negeri harganya jauh "lebih murah" dan lain sebagainya.

Di samping itu, kerap muncul keluhan dari konsumen tentang kualitas dan pelayanan purna-jual dari produk dalam negeri. Pesawat terbang buatan dalam negeri yang sebenarnya sangat membanggakan itu, ternyata di samping dinilai lebih rendah mutunya, juga sulit sekali untuk memperoleh suku cadang yang dibutuhkan.

Belum lagi jadwal produksi yang tidak tepat waktu, sering molor, yang pada akhirnya menggangu segi operasional dan berujung menjadi “lebih mahal” dibanding bila menggunakan produk negara lain.

Selama kontroversi dari persepsi dalam menggunakan produk dalam negeri antara pihak produsen dan konsumen tidak dapat dipertemukan untuk diselesaikan terlebih dahulu, maka dipastikan pihak pemerintah berada dalam posisi sulit untuk dapat memutuskan sebuah kebijakan yang berorientasi kepada mengutamakan produksi dalam negeri serta atas nama “kepentingan nasonal”.

Secara sederhana, idealnya, sebelum pesawat terbang dirancang bangun untuk dibuat, sudah ada pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak pengguna atau konsumen tentang pesawat terbang macam apa dengan spesifikasi bagaimana yang memang sedang dibutuhkan.

Demikian pula dalam perjalanan sejak awal rancangan dalam proses yang berjalan pihak konsumen sudah harus terlibat di dalamnya. Sejalan dengan itu, pihak pemerintah dengan kebijakan strategis di tingkat nasional sudah dengan jelas merinci kebutuhan dari postur institusi di bawahnya yang berkait dengan tugas pokok yang dapat dijabarkan sampai kepada peralatan yang dibutuhkan dalam hal ini jenis pesawat terbang.

Dengan demikian, tidak akan mungkin terjadi lagi saling komplain antara produsen dan konsumen serta kontroversi munculnya perubahan kebijakan pemerintah di tengah jalan.

Sementara ini, kesannya, para pihak memang berjalan sendiri-sendiri. Harus dihindari tentang produsen yang berimajinasi sendiri membuat pesawat terbang, konsumen yang merasa di “fait accompli” dan pemerintah yang merasa “ditodong” untuk mendukung anggarannya.

Indonesia sudah berhasil memiliki sebuah pabrik pesawat terbang berkelas dunia dan sudah pula mampu memproduksi beberapa pesawat terbang. Sayangnya, belum ada satupun produknya yang dapat dinilai bertahan dan sukses dikancah pasar domestik apalagi global.

CN-235 sampai dengan saat ini banyak dikeluhkan sulit untuk memperoleh suku cadangnya. N-219 masih belum pula mampu merampungkan proses sertifikasinya. Terakhir N245 dan R80 dicoret dari daftar Proyek Strategis Nasional.

Sekadar ilustrasi saja tentang bagaimana kesuksesan produksi pesawat terbang jenis C-130 Hercules. Segera setelah selesai melakukan kaji ulang tentang perang dunia ke-2, salah satu kesimpulannya adalah, Angkatan Udara memerlukan pesawat angkut serba guna yang sangat dibutuhkan dan berukuran lebih besar dari pesawat C-47 Dakota, yang telah sukses dalam banyak misi memenangkan perang dunia ke 2 antara lain dalam penyerangan Normandia yang terkenal itu.

Maka dibuatlah “sayembara” bagi pabrik-pabrik pesawat terbang yang ada ketika itu, untuk merancang bangun pesawat angkut militer serbaguna untuk mengangkut pasukan dan peralatan perang lainnya pengganti Dakota.

Sayembara ini yang kemudian dimenangkan oleh Lockheed dengan jenis pesawat terbang yang dikenal dengan C-130 Hercules.

Dalam proses rancang bangun dan pembuatannya, dari sejak awal para personil Angkatan Udara telah terlibat turut serta di dalamnya. Demikian pula dalam proses menyusun prosedur mekanisme dukungan pengadaan suku cadang dalam menunjang operasi penerbangan pasca produksi.

Intinya adalah keterpaduan pihak produsen dengan konsumen dari titik yang paling awal dari sebuah perencanaan sebuah pesawat terbang. Sementara inisiasi ide muncul dari sebuah kajian komprehensif di tataran pemerintahan.

Sebuah model yang sangat masuk akal untuk mewujudkan kesuksesan dalam proses sebuah produksi pesawat terbang buatan dalam negeri. Sebuah moda dari sistem produksi yang dapat mencegah munculnya pertentangan ditengah jalan dari berbagai pihak. Sebuah jawaban terhadap kontroversi pesawat terbang “made in Indonesia”.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi