Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Sapardi Djoko Damono dan Karya Abadinya bagi Dunia Sastra Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/Don Sabdono
Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan dosen UI pada Temu Kritikus dan Sastrawan, 12-16 Desember 1984.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Siapa yang tidak mengenal bait-bait puisi di atas?

Itulah Aku Ingin salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono di tahun 1989 yang ia masukkan dalam buku kumpulan puisi berjudul "Hujan di Bulan Juni".

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Tutup Usia, Berikut Profil dan Karya Sapardi Djoko Damono...

Pujangga yang kemudian biasa dipanggil SDD ini memang tidak lagi diragukan kemahirannya dalam meracik kata.

Di buku itu ada lebih dari 100 judul puisi karyanya yang ia kumpulkan dalam rentang waktu sekian puluh tahun.

Pilihan kata yang sederhana, di tangannya bisa memunculkan imajinasi yang luar biasa. Dalam, luas, dan tak lekang oleh waktu.

Banyak makna hidup yang ia siratkan dalam suratan kata-katanya.

Tak heran jika banyak seniman yang memusikalisasi puisi-puisi sang maestro.

Baca juga: Mengenang Perjalanan Djoko Santoso, dari Panglima TNI hingga Kiprahnya di Dunia Politik

 

Atas karya pikirnya di bidang sastra, SDD juga telah menerima sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri.

Salah satunya "Penghargaan Akademi Jakarta" tahun 2012, sebagaimana dikutip dari Antara.

Pagi ini, Minggu (19/7/2020) kabar duka itu tiba, sang perangkai kata itu sudah mangkat ke haribaan Sang Kuasa dari ruang perawatannya di RS Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.

Eyang mengembuskan napas terakhir pada usia 80 tahun.

Baca juga: Mengenang Perjalanan Karier Omas, dari Lenong Betawi hingga Sinetron Kejar Tayang

Selama hidupnya, laki-laki kelahiran Surakata, 20 Maret 1940 ini telah menuliskan puluhan buku yang banyak di antaranya laris manis di pasaran.

"Sebut saja "Yang Fana adalah Waktu", "Ayat-Ayat Api", "Hujan di Bulan Juni", "Melipat Jarak", "Pada Suatu Hari Nanti", dan lainnya.

Ia pun sempat menuliskan sebuah karya tentang kematian, tentang apa yang akan abadi darinya jika nyawa sudah tak lagi di dalam badan.

Sebagai seorang sastrawan, ia betul meyakini, tulisan dan karya-karyanya lah yang akan terus ada dan abadi, meski hadirnya tak lagi ada di Bumi.

Baca juga: Mengenang 14 Tahun Gempa Yogyakarta dan Solidaritasnya untuk Bangkit

 

Puisi itu berjudul Pada Suatu Hari Nanti.

Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini,
kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.

Selain sastrawan, SDD juga dikenal sebagai seorang akademisi.

Lulusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) pada era 1999-2004.

Kini sastrawan besar itu telah tiada, selamat jalan sang pujangga!

Baca juga: Mengenang Kurt Cobain, Ikon Musik Rock Modern

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi