Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jurnalis
Bergabung sejak: 16 Mar 2020

Eksekutif Produser program talkshow Satu Meja The Forum dan Dua Arah Kompas TV

Tim Pemburu Koruptor, Daur Ulang Barang Usang

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/Fitria Chusna Farisa
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (3/3/2020).
Editor: Heru Margianto


PEMERINTAH berencana menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK) guna mengejar buronan kasus korupsi.

Ide menghidupkan kembali TPK berawal dari kasus lolosnya Djoko Tjandra yang dengan leluasa masuk dan keluar Indonesia.

Terpidana kasus Bank Bali ini membuat heboh publik di Tanah Air. Terpidana kasus korupsi yang sudah menjadi buron sejak 2009 ini bisa wira-wiri dan keluar masuk Indonesia dengan leluasa.

Pria bernama lengkap Djoko Sugiarto Tjandra ini bahkan bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, paspor dan mengantongi Surat Jalan dari Mabes Polri.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah berang karena dianggap kecolongan. Sejumlah perwira polisi yang menerbitkan "surat sakti" untuk DJoko Tjandra dicopot dari jabatannya.

Tak hanya itu. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) berencana menghidupkan kembali TPK.

Menteri Koordinaror Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, tim ini akan dihidupkan guna meringkus DJoko Tjandra dan koruptor lain yang menjadi buronan.

Menurut Mahfud, nantinya TPK akan beranggotakan pimpinan Kejaksaan Agung dan Kemenkumham di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

Guna merealisasikan rencana tersebut, pemerintah akan memperpanjang aturan hukum terkait TPK. Hal ini lantaran instruksi presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2004 terkait TPK telah habis masa berlakunya.

Ia mengklaim, Kemenko Polhukam telah memiliki instrumen hukum yang selaras dengan Inpres tersebut.

Menuai kritik

Rencana menghidupkan kembali TPK menuai kritik. Kebijakan ini dinilai tidak akan efektif.

Selain itu TPK juga berpotensi tumpang tindih (overlapping) dengan institusi penegak hukum yang sudah ada seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan. Karena, tugas menangkap koruptor telah melekat pada institusi penegak hukum tersebut.

Pembentukan tim ini juga dinilai akan berseberangan dengan niat Presiden Jokowi merampingkan lembaga dan instansi. Menghidupkan kembali TPK akan menambah daftar panjang task force di pemerintahan ini.

Padahal, Jokowi mewacanakan akan membubarkan sejumlah lembaga dan instansi karena dinilai tidak efektif dan memboroskan anggaran.

 

Kasus lolosnya DJoko Tjandra seharusnya dimaknai sebagai dampak akibat buruknya koordinasi antaraparat penegak hukum dan lembaga terkait bukan kurangnya tim.

Untuk itu, daripada menghidupkan kembali tim yang dinilai gagal di masa lalu, pemerintah khususnya Kemenko Polhukam lebih baik meningkatkan dan menguatkan koordinasi antarpenegak hukum.

Barang usang

TPK sebenarnya bukan barang baru di republik ini. Task force yang diniatkan guna memburu para buronan kasus korupsi ini sudah ada sejak tahun 2004. Tim ini dibentuk pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tim gabungan ini dibentuk dengan mengacu Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang diterbitkan Presiden SBY. Tim yang bertugas mencari para tersangka dan terpidana kasus korupsi ini dibentuk oleh Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla.

Tim ini beranggotakan perwakilan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Awalnya tim ini dipimpin Jaksa Agung Muda Intelijen Basrief Arief. Setelah Basrief pensiun pada 1 Februari 2007, ketua tim dijabat Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin.

Namun, tim ini dinilai gagal atau setidaknya tidak bekerja secara maksimal. Tim ini hanya mampu memulangkan empat dari 16 terpidana kasus korupsi yang buron.

Salah satu kendala yang kerap disampaikan, buronan susah ditangkap dan dibawa pulang karena berada di negara yang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Ide menghidupkan kembali tim yang sudah lama terkubur ini dinilai menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membereskan birokrasi dan institusi penegak hukum.

Alih-alih menghidupkan kembali TPK agar terkesan serius memburu buronan kasus korupsi, lebih baik pemerintah menyusun strategi dan memaksimalkan tugas dan fungsi lembaga yang sudah ada.

Mengapa pemerintah akan menghidupkan kembali TPK? Tim ini sudah dinilai gagal kenapa akan dihidupkan lagi?

Bagaimana teknis pembentukan dan cara kerja tim ini? Siapa saja yang akan terlibat?

Apakah tim ini tidak akan tumpang tindih dengan institusi penegak hukum lain? Bagaimana pembagian tugas antara tim ini dengan institusi penegak hukum lain?

Ikuti pembahasannya dalam talkshow Dua Arah, Senin (20/7/2020), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 22.00 WIB.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi