Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dituding Manipulasi Pasien Covid-19 agar Dapat Keuntungan, Ini Respons Perhimpunan RS

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI
Tenaga kesehatan menggunakan alat pelindung diri saat menunggu pasien di ruang isolasi Rumah Sakit Dadi Keluarga, Kabupetan Ciamis, Jawa Barat, Selasa (14/7/2020). Kementerian Keuangan menyatakan penyerapan anggaran kesehatan dalam pemulihan pandemi COVID-19 meningkat dari 4,68 persen menjadi 5,12 persen atau sebesar Rp87,55 triliun. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/agr/hp.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Tudingan mengenai adanya rumah sakit yang memanfaatkan situasi Covid-19 untuk meraup keuntungan, belakangan ini banyak beredar di media sosial atau aplikasi perpesanan.

Di antara narasi itu menyebutkan bahwa rumah sakit sengaja memanipulasi data pasien Covid-19 untuk mendapat anggaran dari pemerintah.

Tak hanya warganet, tudingan itu juga disampaikan oleh Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah.

Said Abdullah bahkan meminta Menteri Kesehatan menindak tegas dan memberikan sanksi bagi rumah sakit yang mengakali data pasien Covid-19 demi mendapatkan keuntungan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau terjadi, sertifikat akreditasinya (RS) dicabut dan dokternya dipecat tidak ada ampun. Etiket kedokteran dipertanyakan kalau itu dilakukan," kata Said dikutip dari Kompas.com, Jumat (17/7/2020).

Said mengatakan, saat rapat kerja dengan pemerintah termasuk Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Rabu (15/7/2020), ia menceritakan bahwa ada salah seorang warga di Surabaya yang mengidap penyakit diabetes namun dinyatakan positif Covid-19.

Belum mendapat informasi

Menanggapi hal itu, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) menegaskan bahwa pihaknya belum mendapatkan informasi dan laporan soal dugaan adanya rumah sakit "nakal".

"Sampai saat ini Persi belum mendapatkan informasi soal dugaan adanya RS nakal, di mana RS tersebut membuat klaim seolah-olah pasien meninggal karena Covid-19 dengan modus dapat anggaran," kata Humas Persi Anjari Umarjiyanto kepada Kompas.com, Senin (20/7/2020).

Menurut Anjari, apa yang disampaikan oleh Said Abdullah dan narasi-narasi di media sosial sejauh ini belum terkonfirmasi kebenarannya, bahkan cenderung pada disinformasi.

Sebab, banyak unggahan yang menyebut adanya dugaan itu bersumber dari orang lain yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. 

"Rata-rata dan kebanyakan itu 'katanya', 'dari temennya temen', 'dari tetangganya'. Begitu dikonfirmasi, mereka kemudian hapus postingan dan sampai sekarang tak ada yang jawab," jelas dia.

Baca juga: Tren Kematian karena Covid-19 di Rumah Sakit Inggris Turun, Ini Penyebabnya Menurut Peneliti

Klaim harus diverifikasi

Anjari menjelaskan, tidak benar bahwa rumah sakit bisa mengklaim puluhan juta untuk satu pasien. Sebab, sistem klaim berdasarkan pada diagnosis penyakit penyerta sesuai dalam aturan yang telah dituntukan.

Klaim pembayaran pun, tambah dia, harus melewati verifikasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Setelah lolos verifikasi, rumah sakit baru bisa menerima dana klaim tersebut.

"Jadi dilakukan oleh lembaga yang punya kompetensi, bukan didasarkan oleh rumah sakit mengajukan pembayaran atas pelayanan yang sudah diberikan," terang dia.

Terkait pemakaman dengan prosedur Covid-19, Anjari menegaskan bahwa pasien konfirmasi atau suspek (pasien dalam pengawasan) ketika meninggal harus dimakamkan dengan protokol yang berlaku.

Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan yang dikuatkan dengan Peraturan Menteri Agama dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Menurut dia, tujuan pemulasaran pasien suspek dengan prosedur Covid-19 adalah untuk mencegah terjadinya penularan, baik kepada keluarga maupun petugas.

"Artinya, rumah sakit melaksanakan apa yang sudah ditetapkan protokol kesehatan itu. Kan yang buat aturan bukan rumah sakit, tetapi regurator," kata Anjari.

"Namun ada orang salah persepsi seolah-olah rumah sakit mengklaim itu di-Covid-kan. Ya memang protokolnya seperti itu," tambahnya.

Pihaknya pun mengaku prihatin dengan adanya tuduhan tak berdasar yang banyak beredar di masayarakat.

Sebab menurut Anjari, tuduhan itu muncul ketika tenaga kesehatan dan perawat sedang berjuang melawan virus corona, bahkan sampai banyak yang sudah berguguran.

"Kok ya tega-teganya ada narasi seperti ini. Bukankah pada situasi ini kita harus bahu membahu supaya Covid-19 segera teratasi dan kita kembali normal, bukan narasi-narasi seperti ini. Apa sih keuntungannya, justru memperumit masalah," jelas dia.

Namun, jika masyarakat menemukan adanya praktik-praktik "nakal" seperti itu, Anjari meminta untuk segera melaporkan ke dinas kesehatan setempat.

Baca juga: Update Terkini Pelaksaan Haji 2020: Jemaah Mulai Jalani Karantina

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi