Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Praktisi Demokrasi Digital
Bergabung sejak: 15 Feb 2016

Executive Director SAFEnet, alumni IVLP 2018 Cyber Policy and Freedom of Expression Online, pendiri Forum Demokrasi Digital, dan penerima penghargaan YNW Marketeers Netizen Award 2018.

Melawan Balik Otoritarianisme Digital

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi.
Editor: Heru Margianto


MESKIPUN Indonesia bukan dipimpin lagi oleh figur yang bertangan besi seperti rezim Orde Baru di bawah Soeharto, namun bayang-bayang kekuatan otoriter itu masih kuat mencengkeram di kepala banyak orang.

Membayangkan kembalinya dwifungsi militer, kontrol informasi yang ketat, penyeragaman di banyak dimensi demi melanggengkan kekuasaan yang korup, kolutif dan nepotis, menjadi momok tersendiri yang ikut bisa dirasakan saat ini, sekalipun Soeharto sudah ditumbangkan lebih dari 20 tahun lalu pada 1998.

Pada tahun pemilihan umum, narasi anti Orde Baru hadir mengingat Prabowo, salah satu calon presiden yang dekat dengan lingkar keluarga Soeharto.

Sementara calon presiden lain yang kini terpilih kedua kali menjadi presiden, Joko Widodo, menarasikan dirinya sebagai orang yang sudah tidak punya beban.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun kalangan aktivis mengkritisi siapapun yang memenangkan pemilihan umum, hampir dapat dipastikan, didukung oleh kekuatan oligarki yang masih berkelindan dengan Orde Baru. Ini yang melatari gerakan #sayagolput menjelang pemilihan umum 2019 di Indonesia.

Pemilihan umum 2019 dimenangkan kembali dengan selisih tipis oleh Joko Widodo. Masyarakat yang telah terbelah karena polarisasi dukungan, sempat mengentalkan sentimen negatif dengan melakukan gerakan untuk menolak hasil pemilihan umum dalam bentuk demonstrasi di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta.

Demonstrasi ini kemudian menjadi tidak terkendali dan berujung dengan pengendalian keras dari aparat keamanan. Suasana memanas yang bermula dari penolakan hasil pemilu, menjadi letupan-letupan kekerasan antara pendukung Prabowo dengan polisi.

Pelambatan internet

Untuk pertama kalinya di Indonesia, terjadi pelambatan internet (bandwith throttling) pada 23-25 Mei 2019. Alasan yang digunakan oleh pemerintah saat itu, seperti yang disampaikan dalam siaran pers Kemkominfo, adalah mencegah beredarnya hoaks terkait kerusuhan.

Tentu saja peristiwa ini mengejutkan, mengingat bandwith throttling adalah salah satu bentuk opresi teknologi yang dikecam oleh banyak pihak, termasuk oleh PBB karena melanggar hukum internasional terkait hak akses informasi.

Kritik yang disampaikan oleh organisasi masyarakat sipil, termasuk oleh SAFEnet, tidak diperhatikan pemerintah terkait tidak adanya due process of law dan transparansi tindakan.

Bahkan pelambatan internet ini dilakukan kembali pada bulan Agustus 2019, dan dilanjutkan dengan pemadaman Internet (Internet shutdown) sampai bulan September 2019 di Papua dan Papua Barat.

Dalam banyak kesempatan, pemerintah Indonesia sesumbar bahwa apa yang mereka lakukan dipuji oleh banyak negara karena dianggap mampu menyeimbangkan antara kemerdekaan berekspresi dan keamanan nasional.

Omnibus Law dan Revisi UU KPK

Usai pemilihan umum 2019, pemerintah Joko Widodo didukung oleh oligarki dan melakukan konsolidasi dengan lawan politiknya dengan memberi porsi jabatan menteri dan jabatan strategis lainnya.

Pemerintah Indonesia memfokuskan diri pada investasi dan peningkatan Sumber Daya Manusia/SDM, seperti yang disampaikan dalam pidato kepresidenan, dan tidak menyinggung sama sekali tentang perbaikan hak asasi manusia.

Untuk mendukung keperluan investasi tersebut, presiden mengerahkan segala upaya termasuk aparat keamanan dan intelejen untuk memuluskan jalan, terutama melancarkan upayanya melakukan pengesahan Omnibus Law.

Selain itu, pemerintah juga mengusulkan revisi UU KPK, yang salah satu poin meminta agar ada Dewan Pengawas KPK yang mengawasi kinerja lembaga anti-rasuah tersebut.

Kedua kebijakan ini dinilai kritis oleh organisasi masyarakat sipil dan akademisi sebagai upaya melemahkan kekuatan melawan korupsi dan oligarki. Karenanya terjadi demonstrasi besar-besaran terkait penolakan revisi UU KPK dan juga Omnibus Law di banyak kota.

Demonstrasi yang mayoritas dilakukan oleh mahasiswa, akademisi, dan aktivis ini dihadapi dengan aksi kekerasan di sejumlah kota.

Tercatat ratusan korban luka-luka akibat benturan dengan aparat, bahkan juga ada korban meninggal dunia. Kekerasan fisik yang terjadi semakin diperparah dengan laporan kekerasan digital yang dialami oleh mahasiswa, akademisi dan aktivis.

Selain itu, dengan memanasnya konflik di Papua akibat tindakan rasial kepada mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, kekerasan fisik dan kekerasan digital juga terjadi pada mereka yang mengadvokasi isu Papua, dilanjut dengan peristiwa pelambatan Internet bandwith throttling) dan pemadaman Internet (Internet shutdown).

Berbagai peristiwa peretasan aktivis dan akademisi, intimidasi dalam bentuk doxing kepada aktivis dan jurnalis, pengerahan cyber army yang dipimpin key opinion leader  untuk menggeruduk para penolak kebijakan pemerintah, juga kepada media yang kritis, merupakan penanda bagaimana teknologi digunakan untuk melakukan represi terhadap kemerdekaan berekspresi dan kemerdekaan untuk berkumpul di Indonesia.

Kebangkitan otoritarianisme digital

Sebagai organisasi regional yang fokus pada membela hak-hak digital di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) betul-betul khawatir bahwa Indonesia akan segera menyusul banyak negara di kawasan yang kini mempraktikkan otoritarianisme digital. Kekhawatiran ini dapat dibaca dalam laporan kondisi hak digital di Indonesia pada Juli 2020.

Laporan SAFEnet 2020 ini menyatakan situasi perlindungan hak digital di Indonesia berada pada siaga satu otoritarianisme digital.

Penindasan teknologi, seperti menggunakan bandwith throttling atau pemadaman Internet di wilayah tertentu, memperburuk situasi yang selama ini telah terjadi banyak pelanggaran kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk mengadakan protes damai.

Laporan tahunan ini didasarkan atas pemantauan organisasi ini terhadap tiga hak digital di Indonesia.

Pertama, hak untuk mengakses informasi: termasuk kebebasan untuk mengakses Internet, seperti ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan kendali ISP, kesenjangan digital, kesetaraan akses antar gender, sensor daring dalam bentuk penapisan dan pemblokiran, dan juga pemadaman internet.

Kedua, hak untuk berekspresi secara bebas: termasuk keragaman konten, kebebasan berpendapat, dan penggunaan Internet dalam memobilisasi masyarakat sipil.

Ketiga, hak untuk merasa aman saat daring: termasuk bebas dari pengawasan massal dan penyadapan tidak sah, kondisi perlindungan privasi, dan bebas dari serangan siber.

Laporan SAFEnet 2020 mengatakan, Indonesia memiliki tantangan besar untuk menegakkan hak digital. Tantangan bagi perlindungan hak mengakses informasi, Indonesia menghadapi kesenjangan digital, membesarnya kelompok orang yang tidak mampu, terjadinya sensor daring dan pemadaman internet.

Lalu tantangan dalam perlindungan hak berekspresi secara bebas adalah adanya regulasi internet yang bermasalah, terjadinya represi terhadap ekspresi yang sah, polarisasi komunikasi yang menghambat demokrasi, dan situasi yang tidak demokratis.

Sedang pada hak atas rasa aman, tantangan yang dihadapi Indonesia adalah pengawasan massal, penyadapan tidak sah, terjadinya peretasan data, belum kuatnya peraturan privasi.

Demokrasi telah dibunuh teknologi digital?

Selama lebih dari dua dekade di Indonesia, saya telah menyaksikan korelasi kuat antara Internet dan demokrasi.

Secara historis, bisa dibaca di banyak literatur, penggunaan internet sejak tahun 1994 di Indonesia dinilai membantu untuk menggulingkan rezim Orde Baru yang korup di bawah Soeharto.

Dengan kata lain, teknologi digital melalui platform user-generated content (UGC) dan bentuk teknologi lainnya telah menciptakan demokrasi digital – perluasan ruang untuk mengekspresikan kebebasan berbicara di mayantara.

Dalam “Temu Demokrasi Digital 2014” yang digagas Forum Demokrasi Digital (FDD), menurut John Muhammad, ada 64 inisiatif di Internet berupa platform, website dan mobile apps yang berusaha memperbaiki demokrasi.

Selama waktu itu, saya melihat contoh yang bagus bagaimana Internet memiliki peran demokratisasi di Indonesia.

Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, saya menyaksikan bagaimana Internet membalikkan semua yang kami banggakan.

Teknologi digital juga menciptakan masalah terkait akun palsu, disinformasi, penyebaran pidato kebencian, dan jaringan ekstremisme. Situasi ini memicu pertanyaan yang perlu dijawab: Apakah demokrasi terbunuh oleh digital?

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan memulai menjawab dari praksis pengamatan yang dilakukan selama ini oleh SAFEnet.

Agitator online

Yang tampak menonjol adalah semakin banyaknya oknum-oknum jahat yang melakukan tingkah laku yang buruk. Semisal agitator online yang menggunakan hoaks/disinformasi dan serangan digital untuk mengalahkan lawan-lawan mereka.

Sangat sering saya menemukan bagaimana oknum jahat ini memobilisasi akun troll dan bot untuk melakukan manipulasi platform yang sistematis untuk mengarusutamakan pendapat mereka dan "menyerang musuh mereka" menggunakan teknologi digital.

Dalam kasus-kasus seperti MCA pada tahun 2017, saya melihat penggunaan luas disinformasi dan mobilisasi akun troll dan bot, sebagai bagian dari pasukan siber mereka), untuk melakukan persekusi, yang dimulai dengan tindakan doxing - menyebarkan informasi pribadi ke media sosial sebagai cara untuk mengintimidasi target dan kemudian diikuti oleh kekerasan.

Pada tahun 2019, sejumlah pengguna Internet populer yang lazim disebut Key Opinion Leader (KOL) mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan “amuk siber” untuk menyerang outlet media seperti Tempo, Detik, Kompas yang artikelnya tidak mereka sukai karena dianggap “mengkritik” orang yang mereka dukung, dengan perintah untuk memberikan skor satu bintang di apps store dengan tujuan agar aplikasi tersebut dikeluarkan dari apps store.

Selain itu, para pengikut ini juga menyerang jurnalis mereka dengan tindakan doxing dan perundungan menggunakan platform UGC.

Oknum-oknum jahat ini bila dibiarkan akan membunuh demokrasi. Namun untuk melindungi diri dari oknum-oknum jahat ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan regulasi Internet yang dimiliki Indonesia sejak 2008.

Alih-alih mengirim oknum jahat ke penjara, undang-undang ini malah banyak mengirim jurnalis, aktivis, dan akademisi ke balik jeruji hanya karena mengekspresikan pendapat mereka secara sah melalui platform UGC.

Bahkan regulasi internet ini telah membawa Indonesia ke situasi yang tidak demokratis. Ancaman terhadap demokrasi datang dari pasal 26, 27 ayat 1, 27 ayat 3, 28 ayat 2, 29, 36, 40 dan pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Keberadaan pasal-pasal bermasalah yang menghambat demokrasi ini lebih dulu perlu dihapus dan atau diperbaiki untuk membenahi kondisi demokrasi digital agar sehat kembali.

Di sisi seberang meja, saya melihat ketidakmampuan platform user-generated content untuk melakukan moderasi konten dari ulah oknum-oknum jahat ini.

Hambatan bahasa, norma/hukum yang berbeda, dan pemahaman yang buruk tentang konteks peristiwa, membuat moderasi konten platform UGC tidak dapat diandalkan.

Moderasi konten yang awut-awutan akan membahayakan sifat terbuka Internet dan semakin memarginalkan suara kelompok yang terpinggirkan.

Karena itu penting dalam melakukan moderasi konten, platform UGC harus menghormati hak asasi manusia.

AI/machine learning, keputusan yang buruk

Selain itu, menggunakan AI/machine learning, terutama selama COVID-19, adalah keputusan yang sangat buruk.

Peristiwa ini telah terjadi bulan lalu, ketika YouTube memotong siaran langsung webinar ‘Menjelajahi agama non-homofobia 'yang diadakan oleh SEJUK dengan menyatakan konten melanggar pedoman komunitas (community guidelines) dan juga webinar langsung lainnya tentang‘ Hukum Lingkungan dan Omnibus ’yang diadakan oleh JATAM karena alasan yang sama.

Setelah mengomunikasikan kasus ini ke Google Indonesia, kami baru mengetahui bahwa AI keliru menghentikan siaran tersebut, sejak diberhentikannya pengulas karena meluasnya pandemi COVID-19.

Sebaliknya, platform UGC tanpa moderasi sama sekali akan semakin terganggu dengan ulah oknum-oknum jahat yang melakukan doxing, trolling, dan penyalahgunaan hak digital.

Sekalipun telah tercantum sebagai tindakan yang dilarang dalam community guidelines, ternyata banyak kasus doxing tetap tidak tersentuh oleh platform UGC.

Ini menandakan bila hanya mengandalkan adanya community guidelines sendiri, moderasi konten korporasi tidak akan berjalan baik.

Fakta-fakta ini mendorong saya untuk menyatakan moderasi konten di platform UGC harus melibatkan dan berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil untuk memantau, mengevaluasi community guidelines, dan membutuhkan transparansi, baik dari negara maupun korporasi seperti platform UGC, di depan publik yang dapat dipertanggungjawabkan.

Upaya bersama melawan balik

Pada 2018, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi David Kaye telah menuliskan sebuah panduan yang dapat diikuti oleh negara dan korporasi termasuk platform UGC.

David Kaye merekomendasikan agar negara memastikan lingkungan yang memungkinkan untuk kebebasan berekspresi online dan bahwa perusahaan menerapkan standar hak asasi manusia di semua tahap operasi mereka.

Hukum hak asasi manusia memberi korporasi alat untuk mengartikulasikan posisi mereka dengan cara yang menghormati norma-norma demokrasi dan melawan tuntutan otoriter.

Paling tidak, korporasi dan negara harus melakukan transparansi untuk memastikan otonomi pengguna sebagai individu dalam menggunakan hak-hak dasar secara daring.

Dengan perbaikan mutu moderasi konten di platform UGC yang dimiliki korporasi diharapkan akan berdampak pada berkurangnya ulah oknum-oknum jahat dalam melemahkan demokrasi di mayantara.

Selain itu, penghormatan hak asasi manusia akan melindungi hak-hak digital warga.

Di sisi lain, negara juga harus memperbaiki kualitas perlindungan hak digital dengan menarik regulasi internet yang selama ini membatasi pemenuhan hak asasi manusia, terutama hak untuk mengakses informasi, kemerdekaan berekspresi dan hak atas rasa aman.

Selain itu, untuk menghadapi kebangkitan otoritarianisme digital di Indonesia, kelompok organisasi masyarakat sipil perlu senantiasa menguji regulasi-regulasi internet dan tindakan-tindakan yang membatasi hak digital lewat jalur hukum.

Upaya hukum pernah ditempuh oleh Tim Pembela Kebebasan Pers yang melakukan gugatan hukum tata usaha negara atas tindakan internet shutdown di Papua dan Papua Barat yang dilakukan pemerintah Indonesia.

Keputusan hakim PTUN Jakarta pada 3 Juni 2020 menetapkan bahwa tindakan tersebut adalah perbuatan melanggar hukum.

Selain itu, kelompok organisasi masyarakat sipil perlu terus melakukan kritik secara terbuka kepada negara dan korporasi bila melanggar hak-hak digital, serta terus melakukan konsolidasi masyarakat sipil di tingkat nasional sembari menjalin dukungan dari kawasan dan internasional untuk mencegah hal terburuk di masa depan Indonesia.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi