SALAH satu hal baik sebagai warga negara atau orang Indonesia adalah bahwa hari raya-hari raya dalam setiap agama tidak saja bermakna bagi penganut agama yang bersangkutan, melainkan bermakna juga bagi penganut agama lain.
Setiap orang beragama di Indonesia dapat mencerap makna hari raya agamanya masing-masing dan hari raya agama-agama lain. Hal ini menunjukkan bahwa makna hari raya-hari raya agama melampaui batas-batas formal agama itu sendiri.
Makna hari raya-hari raya agama dengan maknanya yang melampaui batas-batas formal agama, menunjukkan bahwa hari saya agama merupakan sebuah realitas yang berdimensi kolektif-kolegial sekaligus berdimensi publik.
Dimensi kolektif-kolegial agama tampak dalam pencerapan makna hari raya oleh penganutnya.
Sedangkan dimensi publiknya, terungkap melalui orang-orang di luar agama tertentu (penganut agama lain) yang mengucapkan selamat hari raya kepada yang merayakannya.
Dimensi publik hari raya agama ini berakar pada konteks kelahiran agama itu sendiri. Sebuah agama lahir dalam konteks sosial masyarakat tertentu. Agama lahir sebagai tanggapan terhadap keadaan manusia dalam konteks tersebut.
Manusia dalam konteks itu, bukan manusia yang monolitik melainkan plural, baik dari segi budaya, sistem nilai, orientasi hidup, maupun kepentingan. Tidak ada tatanan sosial-masyarakat yang tunggal manakala agama tertentu lahir.
Konsekuensi dari latar historis yang demikian adalah bahwa hari raya agama bermakna baik bagi pemeluk agama yang bersangkutan maupun bagi non-pemeluk agama itu.
Terlebih bagi negara seperti Indonesia, hari raya agama-agama dengan aneka makna yang terkandung di dalamnya, menjadi undangan bagi setiap orang dari berbagai agama dan budaya yang berbeda-beda menimba makna itu darinya.
Dimensi publik hari raya agama merupakan ruang terbuka sekaligus undangan bagi para penganut agama lain untuk mencerap maknanya. Dimensi publik itu merupakan kekayaan sekaligus kekuatan dari hari raya agama-agama.
Dimensi publik inilah menjadi sumbangan etis dari agama-agama untuk pembentukan tatanan sosial-kemasyarakatan yang beradab.
Idul Adha
Perayaan Idul Adha tahun 2020 berlangsung pada masa pandemi Covid-19 belum reda. Makna hari raya ini, bukan saja bermakna bagi saudari-saudara Islam, melainkan juga bermakna bagi penganut Hindu, Buddha, Katolik, Protestan, Konghucu, dan Aliran-aliran Kepercayaan.
Dimensi publik Idul Adha tampil secara aktual pada masa wabah ini. Hari raya ini tidak semata-mata menjadi momen refleksi dan bertindak sosial bagi penganut Islam, melainkan juga menjadi undangan bagi penganut agama lain untuk merefleksikan dimensi publik hari raya dalam agamanya masing-masing.
Boleh jadi, perayaan hari raya-hari saya dari setiap agama mana pun, berlangsung dalam selubung kegelisahan ancaman terpapar Covid-19 sampai beberapa tahun mendatang.
Selama vaksin untuk mengatasi virus itu belum ada, merayakan hari raya agama masih berlangsung dalam komunitas-komunitas kecil. Selama setiap orang belum divaksin anti-virus tersebut, perayaan hari raya agama tak berlangsung secara publik.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa hari raya-hari raya agama kehilangan dimensi publiknya. Dimensi publiknya justru semakin menemukan ruang aktualitasnya pada masa pandemi ini.
Dalam konteks Idul Adha tahun 2020, ruang dan waktu aktualitasnya terbuka lebar dan luas. Daging hewan kurban dibagikan secara cuma-cuma kepada orang-orang yang sangat membutuhkan asupan protein, untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya.
Orang-orang yang membutuhkan asupan protein, tidak terbatas pada saudari-saudara Islam, melainkan pula diperuntukkan bagi orang-orang di luar Islam.
Idul Adha merupakan salah satu momen Islam menampakkan dirinya sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Pada saat bersamaan, penganut agama-agama lain yang dapat mencerap makna solidaritas hari raya melalui ritual pemotongan hewan korban.
Dengan demikian, Idul Adha merupakan ruang dan waktu bagi aktualisasi kultur solidaritas sosial sekaligus penyingkapan dimensi publik hari raya agama.
Karakter etis
Karakter etis dari dimensi publik hari raya-hari raya setiap agama adalah moral sosial heteronom. Solidaritas sosial – seperti yang tersingkap hari raya agama-agama – lahir dari pengalaman perjumpaan penganut agama dengan sesama yang menderita.
Penderitaan mereka kerap kali sulit dipahami dengan akal sehat. Penderitaan mereka melampaui batas dan tak dapat dinalar lagi.
Sesama dengan penderitaan yang demikian, menyandera – meminjam istilah Emmanuel Levinas – orang-orang beriman, sehingga tidak ada sikap lain selain harus bertanggungjawab terhadap mereka.
Sesama yang menanggung beban berat yang tak terperikan menuntut para penganut agama yang merayakan hari raya keagamaan, untuk bertindak solider terhadap mereka. Tindakan itu menegaskan bahwa sesama yang menderita adalah subjek etis.
Dengan demikian, tindakan solider sebagai aktualisasi dimensi publik hari raya agama-agama dan bukan merupakan momen objektivasi terhadap orang-orang yang sengsara. Tindakan itu merupakan bentuk pemulihan martabat orang-orang sengsara karena mereka adalah manusia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.