KOMPAS.com - Memasuki akhir Juli 2020, penularan kasus virus corona di Indonesia masih menunjukkan peningkatan.
Hingga Kamis (30/7/2020), Indonesia telah melaporkan 106.336 kasus infeksi. Dari angka itu, 4.975 orang meninggal dunia, dan 62.138 pasien dinyatakan sembuh.
Pulau Jawa masih mendominasi angka kasus di Indonesia. Jawa Timur menjadi yang tertinggi, disusul DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan.
Pada bulan ini juga, muncul klaster-klaster baru di perkantoran dan menyumbang angka besar dalam laporan harian kasus Covid-19.
Berikut beberapa catatan dari para ahli mengenai kasus virus corona di Indonesia sepanjang Juli 2020:
Gunung es
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Windhu Purnomo mengatakan, jumlah pemeriksaan di Indonesia masih sangat rendah, yaitu sekitar 800.000 orang.
Padahal, angka ideal pemeriksaan Covid-19 di suatu negara adalah minimal satu persen atau sekitar 2,6 juta penduduk Indonesia.
Dengan kondisi ini, kasus infeksi yang dilaporkan setiap hari hanyalah puncak gunung es.
"Artinya, angka 104.000 (data Rabu) itu hanya puncak dari gunung es karena masih banyak lagi yang belum terdeteksi," kata Windhu kepada Kompas.com, Kamis (30/7/2020).
Dia menjelaskan, hal yang harus diutamakan dalam menangani wabah virus corona adalah finding case atau menemukan kasus.
Selama kasus tidak bisa dideteksi, maka penanganan wabah tidak akan berjalan dengan baik dan penularan akan terus berlangsung.
Baca juga: Perkantoran, Ancaman Baru Penyebaran Virus Corona
Konsisten dengan aturan
"Kalau zona merah itu tidak boleh ada pergerakan, warga harus di rumah, aktivitas di luar sektor esensial berhenti, perkantoran di tutup dan WFH, pendidikan serta aktivitas keagamaan ditutup," jelas dia.
Namun, realitas yang terjadi adalah pemerintah daerah tidak mengindahkan aturan itu, sementara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 tidak melakukan supervisi dan peneguran.
Maka tak heran jika muncul klaster-klaster baru di perkantoran dalam beberapa waktu terakhir.
"Saya bingung, aturan itu untuk apa. Satgas juga tidak ada supervisi sama sekali," kata dia.
Baca juga: Kantor dan Sekolah Harus Tutup sampai Akhir Tahun, Tak Ada Pilihan untuk Indonesia
Reorientrasi program
Sementara itu, epidemiolog Griffith University Dicky Budiman mengatakan, pemerintah perlu melakukan reorientasi program pengendalian Covid-19.
Reorientrasi program ini dilakukan untuk mengeliminasi kasus virus corona di Indonesia, sebagaimana instruksi Presiden Jokowi.
"Antisipasinya ya kita harus mereorientasi program pengendalian kita, baik skala nasional maupun daerah," kata Dicky, dihubungi secara terpisah, Kamis.
Menurut dia, strategi utama dalam mencapai tujuan itu adalah penguatan testing dengan hasil yang cepat.
Selain itu, Dicky juga meminta pemerintah terus mengoptimalkan upaya pelacakan, isolasi, dan edukasi untuk mengubah prilaku masyarakat.
Dicky mengingatkan, masa rawan pandemi Covid-19 masih akan berlangsung sampai akhir September 2020 mendatang. Hal itu didasarkan atas analisis pola pergerakan masyarakat mulai dari masa mudik.
"Terbukti saat ini di Juli melihat dampaknya. Ini belum yang terburuk, masih akan terus bertambah karena mayoritas masyrakat kita belum memiliki imunitas terhadap virus ini," jelas dia.
Baca juga: UPDATE 30 Juli: Ada 53.723 Kasus Suspek Covid-19 di Indonesia
3T, 3M, dan 3K
Selain itu pemerintah juga perlu mengedukasi masyarakat untuk senantiasa disiplin dalam 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan), dan 3K (kontak erat, kerumunan dan kamar/ruangan tertutup).
Menurut dia, tiga hal tersebut merupakan kunci dalam penanganan kasus Covid-19 di Indonesia.
"Namun pelaksanaannya masih sangat kurang di sebagian besar daerah plus pemerintah pusat tidak begitu bagus kinerjanya," kata Bayu kepada Kompas.com, Kamis.
Jika penanganan masih seperti ini, Bayu menyebut kasus di Indonesia akan tetap tinggi pada Agustus 2020.
Baca juga: Mengapa 100 Ribu Kasus Covid-19 di Indonesia Tak Membuat Rumit Rumah Sakit?
Belum siap tatanan baru
Ahli patologi klinis yang juga Juru Bicara Satgas Covid-19 RS UNS Tonang Dwi Ardyanto menilai, Indonesia belum siap memasuki tatanan baru.
Hal itu didasarkan atas pedoman pencegahan dan pengendalian Covid-19 terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah.
"Di sana ada tiga kelompok kriteria, yaitu epidemiologi, kesiapan sistem kesehatan, kemampuan surveilans. Kalau kita mau jujur, kita belum sampai ke sana, kita belum bisa memenuhi kriteria apa yang kita tetapkan sendiri," kata Tonang, saat dihubungi, Kamis.
Jika tetap memilih untuk memasuki tatanan baru, Tonang mengingatkan agar indikator-indikator tersebut ditampilkan secara jelas.
Jujur dalam menjelaskan data
Menurut Tonang, pemerintah perlu menjelaskan angka-angka itu kepada publik agar tetap waspada dan hati-hati dalam beraktivitas.
"Mari kita jujur, laporan seperti ini kita buka bareng-bareng, tidak untuk menunjuk siapa yang salah, tak ada gunanaya. Tapi menyadarkan bahwa posisi kita masih seperti ini," jelas dia.
"Ketika masih bertekat ingin masuk ke tatananan baru ya harus sadar kita masih belum siap, makanya harus hati-hati," lanjut Tonang.
Dia pun mengaku tak masalah mengenai adanya protokol komunikasi untuk selalu mengedepankan persepsi positif kepada publik.
Akan tetapi, dalam manajemen komunikasi risiko lebih baik menyampaikan apa adanya dengan berlandaskan data.
"Tetap dalam frame positif komunikasi, tapi berbasis komunikasi risiko, bukan berbasis data yang tak lengkap," ujar Tonang.
Baca juga: 31,3 Persen Pasien Covid-19 di Indonesia Berusia 31-45 Tahun