Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Termasuk Obat Covid-19 Hadi Pranoto, Ini Deretan Klaim Terkait Virus Corona

Baca di App
Lihat Foto
Screenshot
Tangkapan layar YouTube Anji bersama Hadi Pranoto
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Beragam usaha telah dilakukan baik oleh pemerintah Indonesia maupun individu untuk menghentikan laju penyebaran virus corona.

Namun, kasus infeksi virus corona masih terus meningkat sampai saat ini.

Hingga Sabtu (1/8/2020), tercatat 111.455 kasus infeksi dengan 5.236 kematian dan 68.975pasien dinyatakan sembuh.

Dalam perjalanannya, sederet klaim kontroversial pernah dilontarkan oleh pemerintah dan individu yang tak jarang mendapat kritikan dari berbagai pihak.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apabila klaim tak berdasar tersebut dipercaya dikhawatirkan akan membuat rasa aman palsu yang mengendurkan pencegahan.

Berikut ini sejumlah klaim yang pernah mencuat dan menjadi perbincangan terkait virus corona: 

1. Cairan antibodi Covid-19

Klaim pertama datang dari video wawancara penyanyi Anji bersama Hadi Pranoto, seseorang yang mengaku sebagai profesor sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19.

Dalam video yang diunggah di akun YouTube Anji pada 31 Juli 2020 tersebut, Hadi menyebutkan bahwa cairan antibodi Covid-19 yang ditemukannya bisa menyembuhkan ribuan pasien Covid-19.

Cairan antibodi Covid-19 tersebut bahkan diklaim telah didistribusikan di Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan.

Hadi juga menyebutkan, cairan antibodi Covid-19 tersebut juga telah diberikan kepada ribuan pasien di Wisma Atlet, dengan lama penyembuhan 2-3 hari.

Baca juga: Ramai soal Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto, Ini Tanggapan Peneliti Mikrobiologi UGM

2. Terhindar Covid-19 karena doa

Sebelum Indonesia melaporkan dua kasus pertamanya pada awal Maret 2020, banyak ahli mempertanyakan kondisi itu.

Sebab, semua negara tetangga Indonesia telah melaporkan adanya kasus infeksi virus corona.

Menanggapi hal itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat itu mengatakan, belum ditemukannya infeksi virus corona di Indonesia karena doa.

"Kami berhutang pada Tuhan. Ini karena doa kami. Kami tak mengharapkan hal-hal seperti itu sampai ke Indonesia," kata Terawan, dilansir dari pemberitaan Kompas.com, (18/2/2020).

Dia pun balik mengkritik pihak yang menyerangnya dengan menyebut bahwa tak adanya virus corona di Indonesia harus disyukuri, bukan dipertanyakan.

"Kalau tidak (ada temuan virus corona) ya justru disyukuri, bukan dipertanyakan. Itu yang saya tak habis mengerti, kita justru harus bersyukur Yang Maha Kuasa masih memberkahi kita," papar dia.

3. Ramuan arak percepat kesembuhan pasien

Pada beberapa minggu lalu, Gubernur Bali Wayan Kosten mengklaim ramuan tradisional yang terbuat dari bahan dasar arak Bali mampu mempercepat kesembuhan pasien Covid-19 di daerahnya.

Ia mencontohkan, seorang pasien positif Covid-19 menjalani terapi tersebut selama dua hari. Pada hari ketiga, pasien tersebut dinyatakan negatif Covid-19.

"Itu efektif sekali sembuh. Dua hari positif kemudian dilakukan treatment ini pada hari ketiga negatif. Sembuh kita pulangkan," kata dia, dikutip dari Kompas.com (22/6/2020).

Klaim itu pun ditanggapi oleh para ahli. Meski pasien yang menjalani terapi ini lebih cepat sembuh, hal itu bisa juga dipengaruhi oleh tingkat infeksi dan imun pasien.

Karenanya, dibutuhkan riset lebih mendelam untuk benar-benar mengatahui efektivitas ramuan itu.

Baca juga: Soal Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto, Achmad Yurianto: Ini Pembodohan Namanya

4. Kalung antivirus corona

Kontroversi pemerintah terkait virus corona kembali muncul pada awal Juli 2020 lalu, ketika Kementerian Pertanian mengklaim akan kalung berbahan eucalyptus sebagai kalung antivirus corona.

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, produk ini telah melalui uji lab peneliti pertanian terhadap virus influenza, beta dan gamma corona.

Diklaim, hasil uji lab eucalyptus ini mampu membunuh 80-100 persen virus.

"Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtang) membuat beberapa prototipe eucalyptus dengan nano teknologi dalam bentuk inhaler, roll on, salep, balsem dan defuser," kata Mentan, dilansir dari pemberitaan Kompas.com, 5 Juli 2020.

Klaim itu pun mendapat kritikan dari berbagai pihak, di antaranya adalah epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman.

Menurutnya, tak ada relevansi antara kalung antivirus dengan paparan virus corona.

"Saya tidak melihat relevansi yang kuat antara kalung di leher dengan paparan virus ke mata, mulut, dan hidung," kata Dicky, dikutip dari Kompas.com, 4 Juli 2020.

Dia menganggap produksi eucalyptus yang ditujukan untuk mencegah virus corona terlalu dipaksakan dan berpotensi menimbulkan salah persepsi.

Baca juga: Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto, Pakar Angkat Bicara

Metode ilmiah

Epidemilog Griffith University Dicky Budiman mengatakan fakta ilmiah suatu penyakit yang masih baru seperti Covid-19 belum banyak diketahui dan tidak cukup dengan press rilis.

Dicky menjelaskan, segala hal yang sifatnya klaim atau pernyataan penemuan ataupun statement bahwa penyakit ini berdampak atau memiliki dampak pada satu populasi tertentu harus menggunakan metode ilmiah.

"Metode ilmiah itu dilakukan dengan studi yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah kedokteran yang terpercaya," jelas dia. 

Apabila jurnal tersebut telah dimuat di jurnal ilmiah, maka sudah melalui mekanisme peer review, atau sudah diverifikasi berbagai pakar yang kredibel dan independen.

Jurnal yang telah dimuat tersebut bisa menjadi rujukan seluruh warga ilmiah dan ilmuwan di dunia.

"Di luar mekanisme itu adalah berarti hanya bersifat klaim sepihak dan tidak bisa menjadi merujukan ilmiah," papar Dicky. 

Rasa aman palsu

Dicky juga mengatakan, deretan klaim palsu tanpa dasar tersebut dikhawatirkan akan membuat rasa aman palsu yang mengendurkan pencegahan.

Karena itu, dia meminta agar semua pihak memahami prinsip penularan Covid-19 dengan benar.

Baca juga: Mengapa Ada Anggapan Virus Corona Tidak Berbahaya? Ini Respons Ahli

 

Pihaknya juga mengimbau agar pemerintah lebih fokus pada strategi yang sudah sangat jelas terbukti secara ilmiah dan juga fakta terkini, yaitu testing, tracing, dan isolated.

"Segala klaim yang tidak berdasar studi ilmiah termasuk dalam kategori infodemic. Dan ini berbahaya karena akan membuat sebagian masyarakat yang tidak memiliki daya nalar kritis akan terpengaruh. Sehingga akan mengurangi efektifitas program pencegahan atau upaya pengendalian pandemi ini," jelas dia kepada Kompas.com, Minggu (2/8/2020). 

Dicky juga menyebut, pemerintah berkewajiban untuk melakukan counter terhadap setiap infodemic seperti hoaks atau klaim tersebut. 

Karena keberhasilan program pengendalian pandemi Covid-19 juga bergantung pada strategi komunikasi risiko yang tepat dan efektif. Antara lain melakukan pelurusan atas setiap berita tidak berdasar di masyarakat. 

"Masyarakat harus diedukasi terus menerus sehingga tidak mudah terpengaruh segala bentuk infodemic seperti hoaks atau klaim-klaim. Ingat pandemi ini masih lama dan kita harus melakukan strategi optimal agar bisa bertahan," jelas dia. 

(Sumber: Kompas.com/Deti Mega Purnamasari/Vina Fadhrotul Mukaromah/Imam Rosidin | Editor: Kristian Erdianto/Virdita Rizki Ratriani/Dheri Agriesta/Robertus Belarminus/Fabian Januarius Kuwado)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi