Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Tanda Negara Alami Resesi Ekonomi, Bagaimana dengan Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/LIGHTSPRING
Ilustrasi resesi akibat pandemi virus corona.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Dampak dari pandemi virus corona Covid-19 yang masih berlangsung, membuat sejumlah negara mengalami resesi eonomi.

Secara sederhana, resesi dipahami sebagai sebuah kondisi di mana terjadi penurunan di segala sektor ekonomi selama beberapa kuartal.

Lebih spesifik, Ekonom Julius Shiskin (1974) menyebut kondisi ekonomi suatu negara bisa disebut mengalami resesi apabila Produk Domestik Bruto (PDP) turun selama 2 kuartal berturut-turut.

Namun, ternyata turunnya angka PDP itu bukan menjadi satu-satunya indikator suatu negara sudah terserang gelombang resesi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikutip dari Business Insider, (31/6/2020), National Bureau of Economic Research (NBER) menyebut ada sejumlah indikator lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah suatu negara mengalami resesi atau tidak.

Di antaranya adalah tingkat pekerjaan, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), penjualan grosir-eceran, dan produksi industri.

Dalam kondisi resesi, juga akan terjadi gabungan sejumlah masalah, seperti meningkatnya klaim angka pengangguran, perubahan kebiasaan belanja, penjualan yang melemah, dan peluang ekonomi menyusut.

Sehingga dalam praktinya, resesi tidak hanya ditandai dengan PDP yang turun, tapi juga penurunan pendapatan pribadi, produksi dan penjualan pabrik, dan meningkatnya angka pengangguran.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi, Dampak, dan Penyebabnya...

Sementara Julius Shiskin (1974), sebagaimana dikutip dari The Balance.com disebutkan ada 6 indikator yang lebih presisi untuk mengetahui apakah resesi sudah terjadi.

Keenam indikator tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penurunan produk nasional bruto (PDB) selama 2 kuartal berturut-turut;

2. Penurunan PDB sebanyak 1,5 persen;

3. Penurunan kegiatan manufaktur selama periode 6 bulan;

4. Penurunan pekerjaan non-pertanian sebesar 1,5 persen;

5. Menurunnya jumlah lapangan kerja di lebih dari 75 persen industri selama 6 bulan atau lebih;

6. Peningkatan angka pengangguran sebanyak 2 poin, minimal di angka 6 persen.

Shisken membuat poin-poin ini sebagai upaya memberikan definisi kuantitatif, karena pada tahun 1974 banyak orag yang tidak yakin apakah negaranya dalam kondisi resesi atau tidak.

Saat itu, kondisinya adalah stagflasi, artinya pertumbuhan ekonomi menurun dan pengangguran meningkat dalam waktu yang sama.

Meski PDB negatif, harga di pasaran tidak mengalami penurunan. Di era itu, stagflasi di AS dipicu oleh kebijakan ekonomi Presiden Richard Nixon yang menyebabkan terjadi inflasi hingga 2 digit.

Baca juga: Contoh Resesi Ekonomi

Indonesia

Dikutip dari Kontan, (5/5/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis PDB kuartal I-2020 tumbuh 2,97 persen secara year on year (yoy).

Secara kuartalan pertumbuhan tersebut melambat sebesar 2,41 persen. Pertumbuhan PDB kuartal I-2020 juga lebih rendah dari proyeksi pasar dan konsensus.

Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail Zaini sebelumnya memproyeksikan PDB kuartal I-2020 di 3,5 persen. Nyatanya, pertumbuhan PDB jauh lebih melambat.

Sedangkan untuk angka PDB Indonesia untuk periode April Juni 2020 atau kuartal II-2020, akan dirilis BPS, Rabu (5/8) mendatang.

Meskipun demikian, Sekretaris Sekretaris Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede mengungkapkan, pihaknya sudah menerima update pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020.

"Untuk kuartal II kami sudah tahu datanya pertumbuhan ekonomi akan negatif, akan mengalami kontraksi. Sebesar apa kontraksi? Antara 4-5 persen, lebih baik dari negara lain yang mengalami kontraksi ekonomi lebih parah akibat pandemi virus korona Covid-19," katanya dikutip dari Kontan, Senin (3/8/2020).

Beberapa ekonom memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2020 bakal minus lebih dari 4 persen. Bahkan, kontraksi diperkirakan masih berlanjut hingga kuartal III-2020.

Baca juga: Penyebab Resesi Ekonomi

Pekerja

Sementara itu Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hingga akhir Juli 2020, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun dirumahkan mencapai lebih dari 3,5 juta.

"Data pekerja terdampak imbas Covid-19 yang dihimpun Kemenaker, dengan bantuan dari rekan-rekan Disnaker Pemda di seluruh Indonesia, hingga 31 Juli 2020 menunjukkan secara total baik pekerja formal maupun informal yang terdampak Covid-19 mencapai lebih dari 3,5 juta orang," kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dikutip dari Kompas.com (4/8/2020).

Di sisi lain, pelemahan ekonomi yang terjadi saat ini, berdampak pada jumlah pengangguran nasional yang tumbuh dengan lebih cepat.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebutkan, sudah ada 16-17 juta orang yang siap untuk bekerja.

"7 juta penduduk Indonesia yang existing itu lagi mencari lapangan kerja, dengan 2,5 juta angkatan kerja baru setiap tahun. Bahkan, (akibat) Covid sudah ada 7-8 juta pengangguran. Maka sudah ada kurang lebih sekitar 16-17 juta orang yang siap cari kerja," tutur Bahlil.

Baca juga: Pandemi Virus Corona Membuat 7 Negara Ini Alami Resesi

(Sumber: Kompas.com/Rully R. Ramli/Ade Miranti Karunia | Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan) 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi