Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Koordinator The Independent Community for Peace and Hummanity
Bergabung sejak: 16 Jun 2020

Koordinator The Independent Community for Peace and Hummanity

 

Covid-19 Mengubah Peradaban, Mempercepat Deglobalisasi

Baca di App
Lihat Foto
DOK. PIXABAY
Ilustrasi Covid-19
Editor: Heru Margianto


DALAM satu dekade terakhir, umat manusia berhadapan dengan setidaknya enam pandemi. Pandemi H1N1 (flu babi) pada 2009, polio (2014), Ebola (2014), Zika (2016), Ebola (2019). Terakhir, Covid-19 yang bermula di Wuhan, Cina, telah dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 30 Januari 2020.

Setiap pandemi selalu memicu sejumlah besar kematian dan mengakibatkan kerugian hingga miliaran dolar (Fan et al., 2019). Namun, dibandingkan dengan pandemi lain, Covid-19 telah menimbulkan dampak yang luar biasa bagi peradaban manusia.

Data WHO menunjukkan per 3 Agustus 2020, Covid-19 telah menyebar di lebih dari 200 negara, menjangkiti 17.918.582 orang. Dari jumlah itu, 686,703 orang meninggal. WHO juga memperkirakan angka-angka ini akan bertambah dengan cepat hingga batas waktu yang tak dapat dipastikan.

Pandemi Covid-19 belum dapat dikendalikan karena vaksin penawarnya masih dalam tahap uji coba. Sementara di saat yang sama, semua negara di dunia memiliki agenda untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan, sosial-budaya, akademi, bisnis, olahraga, dan politik (pemilihan umum), yang tak mudah untuk dibatalkan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbagai kegiatan itu memperbesar risiko penyebaran Covid-19, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Mengubah peradaban

Selain berdampak mematikan kehidupan manusia, Covid-19 memiliki potensi mengubah peradaban, baik secara negatif dan positif sekaligus.

Secara negatif, Covid-19 memaksa umat manusia untuk merenggangkan relasi dan interaksi sosial. Umat manusia terpaksa menghindari kerumunan.

Aktivitas beribadah, bekerja serta belajar dari rumah. Covid-19 juga mengganggu supply-chain, menghambat produksi sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di China, Amerika Serikat (AS), India atau Indonesia, tetapi juga dunia secara keseluruhan.

Selain itu, Covid-19 membuat berbagai layanan keagamaan, pendidikan, dan pemerintahan terganggu. Dalam sejumlah kasus, layanan publik yang terganggu membuat publik kecewa sehingga menimbulkan protes dan kekacauan.

Dalam perspektif sosiologis, hal seperti itu dapat mengancam peradaban jika pemerintah kehilangan kendali atas warga yang melakukan kekerasan.

Mengutip Tainter (1988:4), John Danafer (2019), suatu peradaban dapat dikatakan runtuh apabila mengalami kemunduran/kerugian ekonomi, sosial-budaya dan politik secara cepat dan substansial dari kondisi sebelumnya yang stabil/mapan.

 

Bahkan, lanjut Danafer, kejatuhan peradaban selalu merupakan proses sosial-politik akibat kekacauan layanan publik, pembusukan organisasi dan institusi.

Tapi pada sisi lain, Covid-19 juga membawa implikasi positif bagi peradaban manusia. Covid-19 memaksa pemerintah untuk memenuhi kewajibannya melindungi setiap warganya.

Dalam konteks seperti itu, pemerintah Indonesia misalnya mengalokasikan triliunan rupiah untuk membiayai pelayanan kesehatan, dan menanggung beban sosial-ekonomi warga yang terdampak, baik langsung maupun tak langsung oleh Covid-19.

Pandemi Covid-19 juga memperkuat solidaritas antara umat manusia. Mereka yang berkecukupan berbagi dengan yang berkekurangan.

Pandemi Covid-19 juga mendorong kebiasaan baru yang berdampak positif bagi lingkungan hidup.

Seattle, salah satu kota di AS yang paling terpengaruh oleh Covid-19, adalah markas besar bagi beberapa perusahaan teknologi terbesar di dunia, termasuk Microsoft, Amazon dan Boeing.

Seattle Times (2/8/20) memberitakan, sejak Maret lalu perusahaan-perusahaan tersebut telah mewajibkan staf mereka bekerja dari rumah guna memperlambat penyebaran Covid-19.

Kebijakan tersebut bisa mengubah pekerjaan dan gaya hidup selamanya. Tidak ada lagi perjalanan pulang pergi, gedung perkantoran, kemacetan, tempat parkir, dan sebagainya.

Sementara itu, citra satelit memperlihatkan bahwa awan polusi di Beijing menurun drastis akibat penurunan arus transportasi darat selama orang-orang yang bekerja dari rumah dan berkurangnya lalu lintas udara menyusul larangan berpergian dan berwisata (Forbes (1/8/20).

Sesungguhnya, apa yang terjadi di Seattle dan Beijing, terjadi juga di sejumlah kota besar di Eropah, Afrika, Timur-Tengah, Asia, Australia dan Amerika. Jadi, Covid-19 dapat menciptakan gaya hidup yang berimplikasi pada penurunan emisi CO2 global.

Deglobalisasi

Pandemi Covid-19 tak hanya menggerogoti peradaban, tapi juga mengancam integrasi ekonomi global.

Presiden Perancis, Emmanuel Macron misalnya, mengatakan bahwa Covid-19 akan mengubah sifat globalisasi yang telah kita jalani selama 40 tahun terakhir.

Menurut Marcon, pandemi Covid-19 seakan mempercepat proses deglobalisasi. Covid-19 menimbulkan ketakutan di banyak negara sehingga mulai lebih fokus membenahi ekonomi domestik.

Sementara Scott Morrison, perdana menteri Australia, mengatakan kepada parlemen, "Perdagangan terbuka telah menjadi bagian inti dari kemakmuran kita selama berabad-abad. Tetapi sama-sama, kita perlu melihat dengan hati-hati kedaulatan ekonomi domestik kita juga."

Jepang juga telah mulai menyelidiki cara untuk memutuskan ketergantungan rantai pasokannya pada Cina dan berupaya untuk memproduksi lebih banyak di dalam negeri.

Presiden AS, Donald Trump yang telah menggaungkan slogan America First sejak 2016, memanfaatkan Covid-19 untuk menggencarkan langkah proteksionisme.

Covid-19 juga telah mendorong sejumlah negara melarang ekspor karena khawatir akan produksi makanan, peralatan medis, peralatan pelindung diri, dan obat-obatan dalam negeri yang tidak memadai. Kebijakan semacam itu tentu saja akan memperburuk krisis ekonomi.

Berdasarkan tren degloblasasi yang makin kuat, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) meramalkan bahwa perdagangan dunia akan menurun antara 13 dan 32 persen pada 2020, jauh lebih besar dari perkiraan penurunan PDB dunia.

Yang bikin masa depan dunia makin kusut adalah ketika memfokuskan perhatian ke dalam negeri sendiri, banyak negara juga berhadapan dengan kondisi semakin lemahnya daya beli masyarakat.

Sebagian besar negara telah mengakui bahwa tingkat pengeluaran rumah tangga turun sebesar 20-50 persen, dan tidak pulih melebihi 80-90 persen bahkan berbulan-bulan ke depan.

Jadi, Covid-19 membawa bangsa-bangsa di dunia berhadapan dengan buah simalakama, di makan ibu mati, tak dimakan ayah yang mati. Masalah yang pelik kan?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi