Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Virus Tick-Borne Marak di China, Berikut Penjelasan dari Epidemiolog

Baca di App
Lihat Foto
WIKIMEDIA COMMONS/Daktaridudu
Ilustrasi kutu Haemaphyalis, salah satu kutu pembawa virus tick-borne yang menyebabkan Severe Fever with Thrombocytopenia Syndrome (SFTS). Baru-baru ini infeksi virus dari kutu ini menyebabkan sejumlah warga China mengalami demam parah.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Pandemi virus corona penyebab Covid-19 belum usai, adanya infeksi virus baru dilaporkan di China.

Infeksi virus baru ini disebabkan oleh gigitan kutu dan bisa menular dari orang ke orang.

Seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (7/8/2020) sebanyak 37 orang di Provinsi Jiangsu, China Timur, didiagnosis dengan Severe Fever Thrombocytopenia Syndrome (SFTS), atau demam parah pada tahun ini.

Penyakit tersebut disebabkan oleh virus baru (Novel bunya virus) yang diakibatkan oleh tick atau kutu. Penyakit ini kemudian disebut tick borne, atau ditularkan oleh kutu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikutip dari jurnal yang diterbitkan di Science Direct, Jumat (7/8/2020), infeksi virus ini didiagnosis dengan SFTS, yang mana pasien ditandai dengan sindrom demam akut dengan suhu di atas 38 derajat celsius.

Selain itu, trombositopenia dan leukopenia kurang dari normal, khususnya yang berhubungan dengan riwayat gigitan kutu di daerah endemik.

Baca juga: Penyakit Baru di China Menghantui di Tengah Pandemi Covid-19, Apa Itu Virus Tick Borne?

Menurut jurnal PubMed National Library of Medicine, sejumlah peneliti di China mencoba meneliti penyebab penyakit seperti demam berdarah yang terjadi pada petani.

Berdasarkan deteksi yang dilakukan, mereka menemukan sebuah virus yang tidak diketahui dalam sampel darah orang yang terinfeksi dan dari kutu Haemaphysalis yang dikumpulkan dari anjing.

Analisis sekuens genom keseluruhan mengidentifikasi virus itu sebagai anggota baru dari Bunyaviridae atau bunya virus.

Lantas, seberapa berbahaya penyakit ini? dan apakah bisa masuk ke Indonesia?

Bukan penyakit baru

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman, mengatakan, penyakit yang saat ini menyebabkan tujuh kematian dan puluhan orang terinfeksi di Cina ini bukanlah penyakit baru.

"Dikenal dengan STFS virus, termasuk kategori bunyavirus dan sudah dikenal sejak 2011," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (8/8/2020).

Baca juga: Kasus Virus Corona pada Anak Muda Meningkat, Apa yang Harus Dilakukan?

Ia menuturkan, kasus pertama penyakit ini ditemukan pada 2009 dan virusnya sudah diisolasi pada 2011. Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2013 di Jepang, dan Korea Selatan.

Dicky mengatakan, yang harus diwaspadai dari penyakit ini adalah potensi penularan dari manusia ke manusia, artinya memiliki potensi untuk menyebar ke wilayah lain.

"Namun, dari sisi mekanisme penularannya, maka potensi adanya wabah berskala besar relatif kecil. Termasuk potensi masuk ke Indonesia relatif masih kecil," kata Dicky.

Ia menjelaskan, virus ini menular lewat paparan darah dan mukosa penderita. Penularan juga hanya dapat terjadi lewat adanya paparan terhadap luka dan saluran pernafasan.

"Gejala yang terjadi berupa demam, batuk, dan gejala mirip flu," jelas Dicky.

"Bila melihat gejala klinis yang terlihat maka penyakit ini lebih mirip demam berdarah. Seperti demam trombocytopenia dan perdarahan, bisa berupa gusi berdarah dan bercak di kulit," imbuhnya.

Tidak perlu panik

Terkait penemuan kasus infeksi tersebut, Dicky meminta semua pihak untuk tidak panik atau takut berlebihan. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ancaman kesehatan global.

Hal ini, ia sebut, sudah diprediksi sebelumnya oleh para ahli global health security dan pandemi.

"Indonesia akan semakin memerlukan suatu sistem proteksi kesehatan yang lebih komprehensif dan mengakomodasi perkembangan terkini dan merespon ancaman masa depan," kata Dicky.

Baca juga: Hantavirus: Dari Karakter, Gejala, Proses Penularan, hingga Vaksinasi

Langkah antisipasi

Sebagai langkah antisipasi, Dicky menyarankan untuk melakukan skrining setiap produk import dan juga orang asing yang masuk wilayah Indonesia.

Ia juga menjelaskan, skrining untuk STFS berbeda dengan Covid-19 yang menggunakan PCR (Polyemerase Chain Reaction).

Pada STFS, skrining yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, termasuk serum darah.

Selain itu, ia juga menyebut bahwa tingkat fatalitas dari penyakit ini tergolong kecil. Namun, pada lansia yang berisiko tinggi, fatalitasnya bisa mencapai 10 persen.

Ia menjelaskan, beberapa pasien yang terinfeksi virus ini mengalami gangguan organ tubuh. Kematian pada pasien, umumnya terjadi akibak koagulasi intravaskular dan kegagalan multi organ.

Sementara itu, pada pasien yang berhasil pulih, akan terjadi perbaikan setelah 13 hari. Ia juga menyebut ada kemiripan antara penyakit ini dengan Covid-19, yaitu potensi terjadinya badai sitokin atau reaksi sitem imun yang berlebihan.

"Namun, harapannya seiring kondisi umum lingkungan yang lebih baik, fatality rate ini tidak sebesar dulu," kata Dicky.

Baca juga: Wabah Pneumonia Misterius di China, Satu Orang Meninggal

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi