Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan untuk Para Pendaki: Pahami Kompetensi Ini Sebelum Naik Gunung

Baca di App
Lihat Foto
kieferpix
Ilustrasi mendaki gunung
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, meninggalnya seorang pendaki di Gunung Lawu, diduga karena mengalami Paradoxical Undressing Syndrome, menjadi perhatian publik. 

Setelah ia ditemukan meninggal dunia. Bereda video yang merekam keadaan pendaki tersebut.

Dalam narasi video yang beredar di media sosial itu, disebutkan rombongan pendaki asal Ungaran tidak sengaja bertemu dengan korban dalam kondisi sendirian dan tak mengenakan baju. Ia melepas pakaian yang dikenakannya untuk membawa ranting-ranting pohon cantigi.

Secara fisik, korban terlihat kedinginan, karena menggigil dan menggosok-gosokkan tangannya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, mereka yang melihatnya mengaku heran mengapa ia justru melepas bajunya untuk membungkus kayu.

Saat itu, di lokasi yang berbeda, rekan pendakian korban masih mencari keberadaan korban yang terpisah sejak dini hari, namun tidak juga ditemukan.

Tidak menyadari keganjilan yang terjadi, rombongan pendaki asal Ungaran itu lalu  melanjutkan perjalanannya setelah beberapa saat mengobrol dengan korban.

Hingga akhirnya, jasad korban ditemukan oleh rombongan yang sama sudah tergeletak dengan kondisi sama seperti saat ditemui sebelumnya, tanpa mengenakan baju.

Baca juga: Para Pendaki, Kenali Gejala Paradoxical Undressing

Pahami kondisi saat mendaki

Menurut pendaki, yang juga anggota senior dari Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI), Adi Seno,  kejadian yang menimpa pendaki di Gunung Lawu itu merupakan hipotermia.

"Fenomena yang di Lawu beberapa kali terjadi, karena hipotermia yakni penurunan suhu inti tubuh di mana ada gejalanya malah sensasi panas, ini dari literatur medis. Mirip ketika terkena sengatan beku (frost bite), ada rasa seperti terbakar atau saat pegang es, biang es kesannya pana," jelas Adi saat dihubungi, akhir Juli lalu.

Menurut Adi, untuk menangani pendaki yang terserang hipotermia kuncinya hanya satu, memberinya energi panas.

Hal itu bisa dilakukan di antaranya dengan memintanya masuk ke dalam tenda agar terlindung dan mengurangi terkena udara dingin.

Atau, masuk ke dalam kantong tidur yang cenderung lebih hangat.

"Nah kalau sudah kena "jendelanya" pendek. Penanganan juga sulit. Harus terlindung  dengan cara masuk tenda dan pakai sleeping bag, dapat sumber panas misalnya dari asupan makan, minum panas, kontak dengan radiasi panas-api, sumber lain seperti panas tubuh, yang ini kerap disalahartikan dan dimanipulasi," papar Adi.

Baca juga: Detik-detik Mobil yang Angkut 17 Pendaki Asal Jakarta Tabrak Tebing di Karanganyar

Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengosok-gosokkan bagian ujung tubuh, seperti telapak tangan dan kaki.

"Seperti kita menggosok ujung-ujung tubuh yang edaran darah yang terjauh, supaya darah beredar yang bawa oksigen untuk menghasilkan energi/kalori panas. Tindakan bagi yang terkena gejala sengat beku," papar dia.

Namun, Adi menyebut hal ini adalah ranah medis.

Pada intinya, orang-orang bisa mendeteksi hipotermia dari gejala awal seperti kedinginan, merasa lemas, dan hilangnya keseimbangan.

Akan tetapi, gejala hipotermia ini sulit untuk didiagnosis oleh mereka yang awam.

Salah satu kekeliruan yang masih banyak terjadi di Indonesia menurutnya adalah banyaknya orang yang menganggap enteng gunung di wilayah tropis.

Misalnya, banyak yang tidak memperhatikan jenis pakaian yang digunakan.

"Pendaki bisa meremehkan gunung tropis, padahal di ketinggian 2.000 meter ke atas bisa terbentuk iklim musim dingin," ungkap Adi.

Selain itu, menurut dia, banyak juga yang tak memberikan perhatian serius pada gangguan kesehatan yang mungkin dialami saat mendaki.

"Apalagi kalau bukan di gunung salju, di mana kita mudah mengasumsi ketidaksehatan karena cuaca dingin," ucapnya.

Padahal, bisa saja hal itu adalah hipotermia yang salah satu cirinya memang mengalami kedinginan.

Baca juga: Puncak Gunung Piramid di Mata Pendaki: Saya Harus Ngesot karena Sangat Sulit

Sebelum mendaki, kuasai ilmunya

Adi mengatakan, ada banyak keahlian dan ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang sebelum akhirnya ia bisa mendaki gunung.

Jadi, tidak sembarang orang bisa melakukan kegiatan alam ini karena ada risiko keselamatan yang akan dipertaruhkan.

Alasannya, gunung adalah alam terbuka yang kondisinya bisa berubah setiap waktu dan di luar kendali manusia.

Pendaki juga perlu mengetahui medan dan cuaca yang berbeda saat ia mendaki, dibandingkan jika berada di dataran rendah.

"Mendaki gunung itu kompetensi yang dibentuk dari pengetahuan geologi geomorfologi- disebut juga ilmu medan, iklim dan cuaca, risk management, keterampilan, teknik hidup di alam, safety di keterjalan dan penyeberangan sungai, P3K, manajemen, dan attitude," jelas Adi.

Jika semua itu belum dikuasai, ia menyarankan agar memahami kode etik pencinta alam, yakni bertanggung jawab terhadap sesama, budaya, dan lingkungan.

"Jadi kalau belum ada kompetensi ini silakan gabung klub pendaki yang menseminasi kompetensi ini. Bisa juga meminta orang dengan kompetensi mountain leader atau pemandu gunung untuk mengantar/menemani," kata Adi.

Baca juga: Bukit Savana Rinjani Ditutup Sementara Gara-gara Aksi Pendaki Dugem

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi