Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Profil Ibu Fatmawati Soekarno dan Kisahnya Menjahit Sang Merah Putih...

Baca di App
Lihat Foto
Dok. KOMPAS/Ipphos
Ibu Fatmawati Soekarno pada tahun 1947.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

Bendera merah putih
Bendera tanah airku
Gagah dan jernih tampak warnamu
Berkibarlah di langit yang biru
Bendera merah putih
Bendera bangsaku

KOMPAS.com - Fatmawati Soekarno. Nama Ibu Negara pertama RI ini tak bisa dilepaskan kala kita mengingat perjuangan awal kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Pada tahun ini, Indonesia akan merayakan HUT ke-75 pada Senin (17/8/2020).

Bendera Merah Putih pun mulai berkibar di seluruh penjuru negeri.

Adalah Fatmawati, istri Presiden Soekarno, sosok di balik bendera Merah Putih yang berkibar saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mari mengenal sosok Ibu Fatmawati dan kisahnya menjahit Sang Saka Merah Putih.

*****

Fatmawati dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Bengkulu. Ketika ia lahir, ada dua nama yang akan diberikan kepadanya, yaitu Fatimah yang berarti bunga teratai dan Siti Djabaidah, yang diambil dari nama salah satu istri Nabu Muhammad SAW.

Kedua nama itu ditulis pada dua carik kertas kemudian digulung dan diundi.

Pilihan pun jatuh kepada nama Fatimah, nama yang kita kenal sampai saat ini.

Baca juga: Kisah Perjuangan Fatmawati Soekarno di Bengkulu Difilmkan

Harian Kompas, 16 Mei 1980 memberitakan, Fatmawati pertama kali bertemu dengan Bung Karno pada 1938.

Saat itu, ia diajak oleh ayahnya Hassan Din untuk menemui Bung Karno yang tengah dibuang ke Bengkulu.

"Cinta pada pandangan pertama" mungkin ungkapan yang tepat untuk menjelaskan awal munculnya benih cinta di antara Bung Karno dan Ibu Fatmawati.

"Masih kuingat aku mengenakan baju kurung merah hati dan tutup kepala voile kuning dibordir," kata Fatmawati saat melukiskan pertemuan pertamanya itu dalam buku yang ditulisnya, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1970).

Pertemuan itu menggetarkan hati Bung Karno dan ingin menikahi Fatmawati.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Bung Karno dua tahun kemudian, ketika Fatmawati meminta nasihatnya sehubungan dengan adanya seseorang yang meminangnya.

Fatmawati pun akhirnya menikah dengan Bung Karno pada Juli 1943.

Baca juga: Khofifah Jahit Bendera Merah Putih di Rumah Fatmawati Soekarno

Kisah menjahit bendera

Setahun setelah pernikahannya itu, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia.

Bendera Merah Putih juga boleh dikibarkan dan lagu kebangsaan Indonesia Raya diizinkan berkumandang.

Fatmawati kemudian berpikir bahwa memerlukan bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Pegangsaan 56.

"Pada waktu itu tidak mudah untuk mendapatkan kain merah dan putih di luar," tulis Chaerul Basri dalam artikelnya "Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi" yang dimuat di Harian Kompas, 16 Agustus 2001.

"Barang-barang eks impor semuanya berada di tangan Jepang, dan kalau pun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan berbisik-bisik," tulisnya.

Berkat bantuan Shimizu, orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia, Fatmawati akhirnya mendapatkan kain merah dan putih.

Shimizu mengusahakannya lewat seorang pembesar Jepang, yang mengepalai gudang di Pintu Air di depan eks Bioskop Capitol.

Bendera itulah yang berkibar di Pegangsaan Timur saat proklamasi kemerdekaan Indonesia.

"Ibu Fatmawati menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan di Gedung Pegangsaan Timur kainnya berasal dari Shimizu. Dan satu-satunya kain Merah Putih yang diberikan Shimizu kepada Ibu Fatmawati adalah bendera yang berasal dari Gedung Pintu Air itu," tulis Chaerul.

Bondan Winarno dalam "Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka" (2003), menuliskan, Fatmawati menghabiskan waktunya untuk menjahit bendera itu dalam kondisi fisik yang cukup rentan.

Pasalnya, Fatmawati saat itu sedang hamil tua dan sudah waktunya untuk melahirkan putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra.

Tak jarang, ia menitikkan air mata kala menjahit bendera itu.

"Berulangkali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu," kata Fatmawati dalam buku itu.

"Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah putih. Saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja. Sebab dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit," sambungnya.

Baca juga: Teruskan Tradisi Sang Ayah, Pria di Klaten Ini Pasang 75 Bendera untuk HUT Ke-75 RI

Meninggal dunia

Fatmawati meninggal dunia pada usia 57 tahun di Kuala Lumpur ketika dalam perjalanan pulang dari setelah melangsungkan ibadah umrah pada 1980 akibat serangan jantung.

Fatmawati mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah pada tahun 2000, dua puluh tahun setelah wafatnya.

Pemberian gelar pahlawan itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 118/TK/2000.

Mengutip Harian Kompas, 9 November 2000, putri Fatmawati, Sukmawati Soekarnoputri, menilai, pemberian gelar pahlawan nasional kepada ibunya termasuk terlambat.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Penggunaan Bendera Merah Putih

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi