Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengetik Naskah Proklamasi Sayuti Melik dan Kisahnya Terima Tunjangan Rp 31,25 Per Bulan

Baca di App
Lihat Foto
Istimewa/Dok. KOMPAS
Pengetik naskah proklamasi, Sayuti Melik.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Sayut Melik. Namanya tak bisa dilepaskan saat kita mengingat perjuangan memperoklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Hari ini, 17 Agustus 2020, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-75 tahun.

Pada 17 Agustus 1945, teks proklamasi dibacakan dan Sang Saka Merah Putih dikibarkan.

Sayu Melik terlibat dalam proses persiapan kemerdekaan. 

Ia yang bernama lengkap Mohamad Ibnu Sayuti ini bertugas mengetik naskah proklamasi pada pagi hari, 17 Agustus 1945, di ruangan kecil di bawah tangga kediaman Laksamana Maeda yang terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Melik nama samaran yang saya gunakan di Semarang sekitar tahun 1938 sebagai penjaga pojok Majalah Pesat," kata Sayuti dalam sebuah sesi wawancara.

Ia mengetikkan teks proklamasi yang sebelumnya ditulis tangan oleh Soekarno di rumah yang sama dan telah disetujui oleh seluruh orang yang hadir pada dini hari menjelang kemerdekaan itu.

Banyak kisah soal Sayuti Melik. Salah satunya, soal tunjangan yang diterimanya sebagai perintis kemerdekaan.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Mengenang Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945

Tunjangan Rp 31,25 per bulan

Mengutip pemberitaan Harian Kompas, 14 Agustus 1970, disebutkan tunjangan seorang Sayuti Melik adalah sebesar Rp 31,25 dalam satu bulannya.

Tunjangan itu diberikan pemerintah bersama surat penghargaan sebagai bentuk balas jasa kepada para perintis kemerdekaan.

Uang itu bisa diambil di Kas Negara yang beralamat di Jalan Budi Utomo. Untuk menuju ke sana, Sayuti Melik menaiki becak dari Kramat Lontar yang pergi-pulang kurang lebih memakan biaya sebesar Rp 60.

Ongkos yang dikeluarkannya lebih besar daripada tunjangan yang didapatnya. Belum lagi biaya yang diperlukan untuk pengambilan di Kas Negara.

Di sana, Sayuti Melik harus antre menunggu giliran hingga setengah hari, karena banyak juga yang mengambil uang pensiunan. 

Daripada menunggu lama untuk uang tunjangan Rp 31,25 itu, Sayuti Melik akhirnya memasukkan uang itu ke Giro Pos.

Rekening gironya bernomor A 33.32 yang hingga 19 Juni 1970 berisi saldo sebanyak Rp 1.337,12.

Jumlah giro itu bertambah Rp 31,25 pada 22 Juli 1970 sehingga menjadi Rp 1.368,37.

Angka tunjangan Rp 31,25 yang diterima Sayuti itu karena ia dianggap masih memiliki penghasilan pribadi setiap bulannya.

Salah satunya, karena masih menjabat sebagai salah satu anggota DPR ketika itu.

Sementara, bagi para perintis kemerdekaan lain yang tidak memiliki penghasilan, jumlah tunjangan yang diterima berkisar antara Rp 300-Rp 1.000.

Pada pemberitaan selanjutnya, 21 Agustus 1970, tunjangan bagi Sayuti Melik disebut mengalami kenaikan.

Departemen Sosial ketika itu menyebut jumlah tunjangan yang diterima Sayuti sebelumnya mengacu pada peraturan lama yang tidak lagi berlaku sejak peraturan baru dibentuk.

Peraturan baru itu adalah Peraturan Pemerintah RI No. 13/70 tanggal 16 Maret 1970 dan Keputusan Menteri Sosial RI No. Huk.4-1-13/91-1970 tanggal 8 Mei 1970.

Dalam aturan tersebut, ditetapkan tunjangan pokok diberikan pada tokoh perintis kemerdekaan minimal Rp 1.000 dan maksimal Rp 2.500 setiap bulannya.

Para tokoh juga menerima uang tunjangan tambahan lain hingga jumlah minimal yang diterima per bulannya minimal Rp 2.500.

Baca juga: Kisah di Balik Sejarah Paskibraka, Berawal dari Perintah Presiden Soekarno

Perbedaan besaran tunjangan ini berdasarkan perjuangan dan pengorbanan yang berbeda-beda dari setiap tokoh.

Ada penggolongan untuk hal ini. Golongan A adalah mereka para pengurus pusat suatu partai politik dan atau mereka yang terus berjuang selama 20 tahun atau lebih.

Golongan B merupakan para pengurus cabang suatu parpol yang pernah mendapat hukuman akibat kegiatan politik.

Dan Golongan C adalah adalah anggota suatu parpol yang juga pernah mendapat hukuman akibat kegiatan politik.

Sayuti Melik, lahir di Sleman, 25 November 1908, tidak mengenyam pendidikan tinggi hingga tuntas.

Saat menjalani sekolah guru di Solo, ia terpaksa tak melanjutkan pendidikan yang tengah ditempuhnya karena diringkus oleh intel Belanda.

Ia pun berulang kali merasakan dinginnya tembok penjara, mulai zaman pendudukan Belanda, Jepang, bahkan setelah kemerdekaan telah diprolamirkan.

Namun itu tidak menjadi alasan bagi Sayuti berhenti berjuang.

Ia banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan mengikuti beragam diskusi dengan para tokoh perjuangan yang menjadikannya sebagai seorang pejuang kemerdekaan.

Semasa hidupnya, ia pernah menerima penghargaan Bintang Mahaputra V dari Presiden Soekarno (1961), Bintang Mahaputra Adipradana II dari Presiden Soeharto (1973), dan Satya Penegak Pers dari PWI Pusat (1982).

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Terjadinya Peristiwa Rengasdengklok

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 6 Fakta Bendera Merah Putih Pertama

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi