KOMPAS.com - Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus berharap pandemi virus corona akan berakhir dalam waktu kurang dari dua tahun.
Pada Jumat (21/8/2020) di Jenewa, Tedros mengatakan, flu Spanyol pada 1918 membutuhkan waktu dua tahun untuk diatasi.
Namun, kemajuan teknologi saat ini menurutnya dapat memungkinkan dunia mengatasi virus corona dalam waktu yang lebih singkat.
"Tentunya dengan lebih banyak konektivitas, virus memiliki peluang lebih besar untuk menyebar," kata Tedros seperti dilansir dari BBC, 22 Agustus 2020.
Baca juga: Saat WHO Peringatkan tentang Bahaya Nasionalisme Vaksin...
Tetapi di saat yang sama, lanjut dia, teknologi dan pengetahuan dimiliki untuk menghentikan virus.
Tedros menekankan pentingnya persatuan nasional dan solidaritas global menghadapi wabah ini.
Flu mematikan pada 1918 telah menewaskan setidaknya 50 juta orang. Sedangkan, sejauh ini virus corona telah menyebabkan hampir 800 ribu orang meninggal dunia dan menginfeksi 22,7 juta orang lainnya.
Baca juga: Vaksin Corona dari Oxford Dinilai Aman, Dijanjikan Siap pada September
Korupsi APD
Tedros memberikan tanggapan mengenai korupsi yang berkaitan dengan alat pelindung diri (APD) selama pandemi berlangsung.
Ia menyebut hal ini sebagai suatu tindakan kriminal.
"Segala jenis korupsi tidak bisa diterima. Tapi, korupsi terkait APD bagi saya sebenarnya pembunuhan. Karena jika petugas kesehatan bekerja tanpa APD, kita mempertaruhkan nyawa. Dan itu juga membahayakan nyawa orang yang mereka layani," katanya lagi.
Sejumlah negara pernah menghadapi persoalan serupa.
Salah satunya, protes yang terjadi di ibu kota Kenya, Nairobi, pada Jumat (21/8/2020) lalu, atas dugaan korupsi selama pandemi.
Baca juga: Kisah di Balik APD Fashionable yang Viral di Medsos...
Sementara itu, dokter dari sejumlah rumah sakit umum melakukan pemogokan karena gaji yang belum dibayar dan kurangnya peralatan APD.
Di hari yang sama, Kepala Program Kedaruratan Kesehatan WHO memperingatkan, skala wabah virus corona di Meksiko masih kurang dalam hal pengujian.
Dr Mike Ryan memaparkan, uji yang dilakukan di Meksiko setara dengan sekitar tiga orang per 100.000 orang, dibandingkan sekitar 150 per 100.000 orang di Amerika Serikat.
Meksiko sendiri melaporkan kasus kematian dengan peringkat ketiga di dunia, dengan hampir 60.000 kematian tercatat sejak pandemi virus dimulai.
Baca juga: Segala Hal yang Perlu Kita Ketahui soal Pentingnya Penggunaan Masker
Apa yang terjadi di tempat lain?
Sejumlah negara mengumumkan jumlah kasus baru tertinggi dalam beberapa bulan pada Jumat (21/8/2020).
Salah satunya Korea Selatan, yang mencatat adanya 324 kasus baru, di mana ini menjadi kasus baru harian tertinggi sejak Maret.
Menanggapi hal ini, sejumlah tempat umum yang berpotensi membuat orang berkumpul telah ditutup.
Baca juga: Saat Kasus Covid-19 di Eropa Kembali Melonjak...
Tak hanya itu, sejumlah negara Eropa juga mengalami kenaikan kasus.
Polandia dan Slovakia mengumumkan rekor infeksi harian baru, dengan masing-masing 903 kasus dan 123 kasus.
Sementara Spanyol dan Perancis telah mengalami peningkatan dramatis dalam beberapa hari terakhir.
Baca juga: Kisah Chanee Kalaweit, Bule Perancis yang Jadi Korban Kabut Asap
Lebanon juga melakukan penguncian parsial selama dua minggu, termasuk jam malam yang mulai diberlakukan, karena negara mengalami jumlah kasus tertinggi sejak pandemi dimulai.
Infeksi dilaporkan berlipat ganda sejak ledakan dahsyat di Beirut yang menewaskan sedikitnya 178 orang dan ribuan orang lainnya mengalami luka pada 4 Agustus 2020 lalu.
Ledakan yang disebut karena amonium nitrat ini membuat sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal dan menyebabkan ketegangan pada fasilitas medis.
Baca juga: Ledakan di Beirut, Lebanon, dan Dugaan Sumber Penyebabnya...