KOMPAS.com - Tiga minggu setelah ledakan besar di Pelabuhan Beirut yang menewaskan 181 orang, Sandra Abinader (18) masih mengalami trauma secara mendalam.
Dia langsung melompat ketika mendengar suara sekecil apa pun.
"Suatu hari saya mencoba membuka kendi dan suara letupan membuat saya melompat mundur dan berteriak. Sesaat saya perlu melarikan diri," kata Sandra, dikutip dari Reuters, (24/8/2020).
Meski sadar cobaan yang dia rasakan begitu berat, Sandra mengaku tak tertarik mencari bantuan profesional.
"Kami terbiasa menangani masalah kami sendiri," katanya dengan tenang.
Kondisi yang dirasakan Sandra umum dijumpai di Lebanon, sebuah negara dengan catatan perang di masa lalu dan konflik sektarian.
Akan tetapi, ledakan itu membuat Lebanon berada pada titik yang sangat rentan setelah berbulan-bulan krisis ekonomi dan diperparah dengan pandemi virus corona.
Darurat kesehatan mental
Para praktisi kini memperingatkan keadaan darurat kesehatan mental nasional ketika orang-orang mulai menunjukkan tanda-tanda trauma akibat ledakan, termasuk mimpi buruk, kilas balik, tangisan, kecemasan, kemarahan, dan kelelahan.
Psikolog mengatakan ini diperburuk oleh aliran gambar yang terus-menerus di TV Lebanon dan media sosial yang menunjukkan ledakan itu.
"Banyak orang merasa putus asa tentang seluruh situasi di sini di Lebanon," kata Jad Daou, seorang sukarelawan di LSM kesehatan mental Lebanon, Embrace.
Embrace, yang biasanya menerima antara 150-200 panggilan dalam sebulan, mengatakan lebih banyak orang telah menghubungi mereka sejak ledakan tersebut.
Kelompok tersebut telah menempatkan sukarelawan di salah satu lingkungan yang terkena dampak dan telah memulai kunjungan rumah.
Baca juga: Saat Ledakan Beirut Memicu Eksodus Baru dari Lebanon...
Banyak ahli kesehatan mental yang bergerak setelah ledakan untuk menawarkan layanan mereka, tapi beberapa di antaranya berjuang mengatasi dirinya sendiri.
"Saya tidak pernah memiliki psikolog yang berkata, 'Kami belum siap untuk berbicara saat ini. Saya butuh waktu untuk menyembuhkan diri sendiri'," kata psikolog Warde Bou Daher.
"Tapi trauma memengaruhi semua orang. Mereka perlu menyembuhkan luka mereka sendiri sebelum bisa membantu orang lain," sambungnya.
Sementara Sandra menegaskan bahwa dia tidak pernah menangis sekali pun sejak kejadian itu, sepupunya tidak dapat menahan air mata saat dia menceritakan pengalamannya tentang ledakan tersebut.
Rasa takut dan trauma
Ketika ledakan terjadi, Lourdes Fakhri lari dari supermarket tempat dia bekerja ke rumahnya di dekat pelabuhan karena khawatir akan nasib keluarganya.
"Ada puing di mana-mana. Saya membayangkan mereka semua tergeletak di tanah," papar dia.
Meski orang tua Lourdes dan enam saudara kandungnya selamat, tapi rasa takut itu tetap menghinggapinya.
Untuk orang Lebanon yang lebih tua, ledakan itu memicu kenangan antara perang saudara 1975-1990 dan perang 2006 dengan Israel.
Baca juga: Kisah Mereka yang Kehilangan Mata akibat Ledakan di Beirut, Lebanon...
Seorang psikolog anak Ola Khodor mengatakan, banyak warga tidak mampu mengatasi trauma mereka dan tidak tahu bagaimana membantu anak-anak mereka.
Para ahli mengatakan, trauma mulai terjadi dalam beberapa minggu setelah suatu peristiwa, seiring orang keluar dari periode "stres akut".
Organisasi PBB Unicef pada Jumat (21/8/2020) memperkirakan bahwa setengah dari anak-anak yang mereka survei di Beirut sudah menunjukkan tanda-tanda itu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.