Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sekjen PKB
Bergabung sejak: 29 Agu 2020

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Covid-19, Resesi Ekonomi, dan Perubahan Budaya Kerja

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi virus corona (SARS-CoV-2), Covid-19
Editor: Heru Margianto


PANDEMI Covid-19 telah menjerumuskan ekonomi global ke dalam kontraksi yang parah. Menurut perkiraan Bank Dunia, ekonomi global akan menyusut 5,2 persen tahun ini.

“Ini merupakan resesi terdalam sejak Perang Dunia II, dan penurunan out put perkapita terbesar sejak 1870,” ungkap Bank Dunia dalam Prospek Ekonomi Global Juni 2020.

Menurut Bank Dunia, aktivitas ekonomi di negara-negara maju diperkirakan menyusut 7 persen pada 2020 karena permintaan dan penawaran domestik, perdagangan, dan keuangan telah sangat terganggu.

Sedangkan pasar dan ekononomi berkembang atau Emerging Market and Developing Economies (EMDEs) diperkirakan menyusut 2,5 persen tahun ini. Pendapatan perkapita di EMDEs juga diperkirakan turun 3,6 persen sehingga jutaan orang akan jatuh miskin tahun ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Indonesia, Pandemi Covid 19 belum ada tanda-tanda menurun. Berdasarkan data satuan tugas penanganan covid 19 pada 27 Agustus 2020, jumlah kasus positif Covid 19 yang terkonfirmasi telah meningkat 2.719 kasus dari hari sebelumnya menjadi 162.884 kasus.

Pada periode yang sama, jumlah kematian meningkat 120 pasien menjadi 7.064, sedangkan jumlah pasien yang pulih meningkat 3.166 menjadi 118.575.

Resesi

Di tengah tren pandemi Covid-19 yang demikian, Indonesia kemungkinan besar akan masuk ke fase resesi pada kuartal III 2020.

Pasalnya, aktivitas ekonomi masyarakat dan dunia usaha yang mulai pulih sejak juni 2020 rupanya belum cukup kuat untuk mengangkat laju ekonomi Juli-September

"Untuk kuartal III outlook-nya antara 0 persen hingga negatif 2 persen. Negatif 2 persen karena ada pergeseran dari pergerakan yang terlihat belum sangat solid, meskipun ada beberapa yang sudah positif," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual APBN KiTa, Selasa (25/8/2020).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa untuk mengurangi kontraksi ekonomi pemerintah menggunakan tiga program ekonomi yang meliputi ekselerasi dan eksekusi program Pemulihan Eknomi Nasional (PEN), memperkuat konsumsi Pemerintah, dan memperkuat konsumsi masyarakat.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II (Q2) 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen year on year (yoy). Angka ini memburuk dari Q1 2020 yang mencapai 2,97. Jika kondisi ini berlanjut, maka Indonesia akan mengalami resesi.

Perlu dipahami, menurut The National Bureau of Economic Research (NBER), resesi adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.

Perubahan budaya kerja

Managing Director- Accenture Consulting Luis Diaz Gutierrez menyatakan, budaya kerja yang dianut selama ini ditentukan oleh sejumlah faktor di antaranya struktur organisasi dan praktik manajemen; proses siklus hidup karyawan (dari rekrutmen hingga manajemen kinerja dan konsep keseimbangan kerja/ hidup); filosofi dan kebijakan perusahaan; jenis orang yang dipekerjakan dalam bisnis dan cara mereka berinteraksi; misi, visi dan nilai perusahaan; dan yang terpenting lingkungan tempat kerja.

Tetapi, semenjak Covid-19 menjadi pandemi global (11 Maret 2020), dan pemerintah di berbagai negara memberlakukan upaya isolasi untuk mencegahnya, budaya kerja (working culture) para pekerja di berbagai perusahaan berubah secara dramatis, dari ‘kerja bersama’ di suatu lingkungan kantor menjadi ‘kerja secara individual’ dari jarak jauh atau dari rumah.

International Labour Organization/ILO (2020:1) mendefinisikan bekerja jarak jauh (teleworking) sebagai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti ponsel cerdas, tablet, laptop, dan desktop komputer untuk pekerjaan yang dilakukan di luar tempat kerja/kantor (Eurofound dan ILO, 2017).

Menurut ILO, teleworking seharusnya dilakukan dalam kesepakatan sukarela antara majikan dan karyawan.

Selain, menyetujui lokasi pekerjaan (di rumah karyawan atau di tempat lain) ada beberapa aspek lainnya yang perlu diperjelas yaitu cara kerja, jam atau jadwal, alat komunikasi yang digunakan, deadline pekerjaan, mekanisme pengawasan dan pengaturan untuk pelaporan pekerjaan yang dilakukan.

Teleworking sebelum pandemi

ILO (2020:2) menyatakan sebelum pandemi Covid-19, hanya sebagian kecil dari angkatan kerja global yang bekerja dari rumah.

Di Uni Eropa (UE) misalnya, jumlah karyawan yang berkerja reguler atau sesekali (dari rumah atau dari ponsel cerdas) bervariasi.

Lebih dari 30 persen terdapat di Denmark, Belanda, dan Swedia. Sementara itu, sekitar 10 persen di Republik Ceko, Yunani, Italia, dan Polandia.

Beberapa studi mengungkapkan, sekitar 2 persen dari angkatan kerja Amerika Serikat (AS) secara teratur atau sesekali bekerja dari rumah atau lokasi alternatif lain, 16 persen di Jepang, dan hanya 1,6 persen di Argentina.

Namun, ketika Covid-19 merebak, dunia usaha mengalah, mewajibkan para pekerjanya bekerja dari jarak jauh atau dari rumah.

Setelah pandemi

ILO (2020) mencatat, per akhir Maret 2020 sekitar 4 dari 10 karyawan di Eropa mulai teleworking.

Di Finlandia, hampir 60 persen karyawan beralih bekerja dari rumah. Di Luksemburg, Belanda, Belgia, dan Denmark, lebih dari 50 persen, sedangkan di Irlandia, Austria, Italia, dan Swedia, sekitar 40 persen karyawan melakukan teleworking.

Perlu dicatat, bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19, berbeda dengan teleworking dalam kondisi normal.

Teleworking selama pandemi Covid-19 jauh lebih menantang karena bersifat wajib, bukan sukarela, dan penuh waktu, bukan paruh waktu atau sesekali.

Survei yang dilakukan atas para karyawan yang bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19 mengungkapkan, bahwa ada pengalaman positif dengan bekerja dari rumah.

Dampak positif

Menurut Gutierrez, bekerja dari rumah menimbulkan dampat positif dan negatif sekaligus. Positifnya, dengan memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah, perusahaan berhasil menciptakan budaya kerja yang efisien, dan berhasil menurunkan beberapa biaya seperti listrik dan alat tulis kantor.

Selain itu, para karyawan dapat menjaga keseimbangan hidup profesional dan personal, termasuk tanggung jawab atas keluarganya, secara lebih efektif.

Selain menghemat waktu (tak perlu melakukan perjalanan ke kantor), fleksibel (tidak begantung pada jumlah jam dan jadwal) dan bisa berpakaian secara kasual, dengan bekerja dari rumah para karyawan dapat meningkatkan konsentrasi sehingga bisa lebih produktif.

Namun, awalnya bekerja dari rumah menimbulkan kecemasan yang signifikan di antara para pekerja (https://talentorganization-blog.accenture.com).

Dampak negatif

Sementara, survei Gallup, perusahaan konsultan global yang berbasis di Washington D.C, menunjukkan bahwa bekerja dari jarak jauh bisa berdampak buruk bagi perusahaan yaitu menurunnya produktivitas hingga 17 persen, dan omset hingga 24 persen.

Survei Eurofound yang dirilis 9 April 2020 mengungkapkan, 18 persen responden UE mengatakan bahwa bekerja dari rumah membuat mereka merasa sangat tegang dan stres hampir sepanjang waktu.

Dan, menurut jurnal medis The Lancet para karyawan yang bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19 mengalami depresi, stres, suasana hati rendah, mudah tersinggung, gampang marah dan insomnia (Brooks et al., 2020).

Sebuah penelitian yang dilakukan Statitistic Canada baru-baru ini mengungkapkan, bekerja dari rumah menimbulkan efek sosio-psikologis yang tak terbayangkan sebelumnya.

Budaya baru itu membuka peluang bagi rekan kerja untuk mengintip kehidupan pribadi kolega, klien, dan bahkan atasannya.

Sebab melalui panggilan Zoom misalnya, rekan kerja seakan mendapat izin untuk masuk ke ruang pribadi rekan kerjanya dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Rapat Zoom telah membuat kehidupan pribadi kolega terlihat.”

Budaya kerja dan organisasi

Caitlin Mullen, lewat artikelnya yang dirilis Jurnal Bisnis ‘Bizwomen’ (14/8/2020), mengungkapkan, sebuah jajak pendapat atas 2.100 pekerja secara global yang dilakukan oleh Quartz dan Qualtrics belum lama ini menemukan bahwa 48 persen mengatakan, budaya kerja mereka tetap sama sejak pandemi dimulai, dan 37 persen mengatakan budaya kerjanya membaik, dan 15 pesen mengatakan budaya kerjanya memburuk.

Mithilesh Kumar Singh, (Juli 2020), mengatakan, sejatinya di samping budaya kerja, budaya organisasi adalah salah satu aset paling berharga yang berisiko selama Covid-19.

Soliditas dan norma sosial yang sebelumnya menyatukan para karyawan, sekarang tidak sama karena banyak - jika bukan mayoritas - karyawan bekerja dari rumah dan ada ketidakpastian baru di setiap sudut.

Bahkan, bekerja dari rumah untuk jangka panjang dapat menimbulkan kesenjangan komunikasi antar anggota tim, kurangnya hubungan interpersonal, rendahnya perhatian terhadap keamanan bekerja, dan semakin melemahnya budaya organisasi secara keseluruhan.

Jake Herway dan Adam Hickman, manajer Gallup mengatakan, bekerja jarak jauh dapat menimbulkan risiko besar terhadap budaya organisasi.

Merujuk ke data Gallup, keduanya menunjukkan, tanpa dipaksa untuk bekerja secara virtual, sekitar 60 persen karyawan tak dapat menjelaskan perihal budaya perusahaan mereka.

Jadi, karyawan yang bekerja dari jarak jauh dipastikan terputus dari komponen inti dari budaya organisasinya. Mereka dipastikan juga memiliki hubungan yang rendah dengan visi dan misi perusahaan (https://www.gallup.com/workplace, Selasa, 25/8/2020).

Masa depan

Apakah perubahan budaya kerja yang ditimbulkan pandemi Covid-19 akan berlangsung terus pada masa depan?

Pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab. Pasalnya, hingga saat ini masyarakat global masih berhadapan dengan ketidakpastian seputar pengembangan dan penyebaran vaksin yang aman dan efektif.

Dunia juga berhadapan dengan minimnya solusi alternatif untuk memulihkan kinerja dunia usaha dan ekonomi Negara.

Namun, menurut penulis, pasca pandemi Covid-19, tampaknya dunia usaha akan melakukan kombinasi antara bekerja dari rumah dan bekerja di kantor.

Artinya, beberapa hari, karyawan bekerja di kantor, beberapa hari karyawan bekerja di rumah.

Atau, mungkin perusahaan akan memberi karyawan sebuah pilihan; mereka dapat bekerja dari rumah jika mereka mau, karena teknologi memang sudah siap.

Dengan model kerja seperti itu, maka akan menciptakan efisiensi bagi perusahaan dan dunia usaha.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi