Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Majalah Time Dihukum Rp 1 Triliun atas Pencemaran Nama Baik Soeharto

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/JB SURATNO
ILUSTRASI - Presiden dan Ibu Tien Soeharto beserta rombongan, Rabu (22 Februari 1989) pagi bertolak dari Bandara Halim Perdanakusuma-Jakarta menuju Jepang, untuk menghadiri upacara pemakaman mendiang Kaisar Jepang, Hirohito.
|
Editor: Jihad Akbar

KOMPAS.com - Hari ini 13 tahun lalu, Mahkamah Agung (MA) menghukum majalah Time edisi Asia untuk membayar ganti rugi imateriil kepada Presiden Kedua RI Soeharto senilai Rp 1 triliun pada 30 Agustus 2007.

Majalah Time juga diperintahkan meminta maaf secara terbuka di media nasional maupun internasional.

Harian Kompas, 11 September 2007 memberitakan, MA menilai Time edisi Asia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan nama baik dan kehormatan Soeharto, selaku Jenderal Besar TNI dan Presiden RI, tercemar.

Perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan cara mengeluarkan pemberitaan dan gambar yang melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemberitaan yang dimaksud adalah tulisan pada Time edisi Asia Volume 153 Nomor 20 tertanggal 24 Mei 1999 pada halaman 16-19.

Berita itu mengupas tentang bagaimana Soeharto membangun kekayaan keluarganya atau Soeharto Inc atau Perusahaan Soeharto (halaman 16) dan tentang kekayaan Soeharto senilai Rp 9 miliar dolar AS yang ditransfer dari Swiss ke Austria (halaman 17).

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Soeharto Lengser, Akhir Kisah Orde Baru

Putusan MA ini berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menolak gugatan Soeharto.

Pada 9 November 1999, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya pada 9 November 1999 dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusannya pada 6 Juni 2000 sebelumnya telah memenangkan majalah Time.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi mengatakan, majelis kasasi dapat menerima 11 alasan kasasi yang diajukan oleh penggugat (Soeharto).

Alasan yang dimaksud, antara lain dalam putusannya, judexfacti (PN dan PT) tidak memberikan pertimbangan yang cukup pada perbuatan melawan hukum dalam arti luas.

Menurut judexfacti, pemuatan gambar dan tulisan pada Time edisi Asia itu tidak termasuk kualifikasi menista dengan surat.

Namun, MA berpendapat lain. Menurut MA, pemberitaan dan pemuatan gambar itu mengakibatkan nama baik dan kehormatan Soeharto tercemar.

"Maka, pertanggungjawaban perdata yang dituntut penggugat dapat dikabulkan sesuai kepatutan dan rasa keadilan. Demikian pula kerugian imateriil yang diderita penggugat," ujar Nurhadi.

Menuai sorotan

Beragam kritik bermunculan usai putusan MA tersebut. Selain mengancam kebebasan pers, putusan tersebut juga menyinggung rasa keadilan masyarakat.

"Fraksi Partai Persatuan Pembangunan amat prihatin dengan putusan kasasi MA. Putusan itu bisa menjadi lonceng kematian bagi pers di Indonesia," ucap Ketua F-PPP di DPR, Lukman Hakim Saifuddin, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas pada 12 September 2007.

Lukman juga heran, MA membutuhkan waktu sedemikian lama, lebih dari enam tahun, untuk memutuskan kasasi.

Perkara di bidang pers ini pun ditangani Ketua Muda MA Bidang Pengadilan Militer. Penunjukan Mayjen (Purn) German Hoediarto ini juga dipertanyakan kuasa hukum majalah Time, Todung Mulya Lubis.

Sementara itu, Ketua Komisi III DPR yang membidangi hukum, Trimedya Pandjaitan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menilai putusan MA tersebut menyinggung rasa keadilan masyarakat.

Baca juga: Mengenang 24 Tahun Kepergian Ibu Tien Soeharto, seperti Apa Perjalanan Hidupnya?

"Bayangkan, Soeharto dapat Rp 1 triliun. Padahal, kita mau mengutak-atik harta kekayaan Soeharto, susahnya bukan main. Eh, sekarang, Soeharto malah dapat pundi-pundi. Segala kemungkinan bisa terjadi. Ada uang atau ada kekuasaan," kata Trimedya.

Trimedya juga mengatakan putusan MA itu akan mempermalukan Indonesia di mata internasional, khususnya di bidang penegakan hukum.

Di pihak lain, Ketua MA Bagir Manan mengatakan penunjukan Ketua Muda MA Bidang Pengadilan Militer itu karena MA tidak mengenal sistem kamar.

"Ini cuma urusan pembagian pekerjaan saja," kata Bagir.

Sementara, German Hoediarto membantah jika statusnya sebagai purnawirawan dikaitkan dengan perkara itu.

"Saya clean betul. Tidak ada beban. Tidak ada yang nginjak," tegasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi