KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 membawa begitu banyak perubahan pada kehidupan umat manusia di sepenjuru dunia.
Beragam aktivitas yang sebelumnya berjalan normal tiba-tiba harus terhenti dan disesuaikan ulang dengan kondisi pandemi.
Salah satunya proses belajar mengajar yang tidak bisa lagi dilakukan di dalam kelas atau sekolah, melainkan secara daring dari rumah.
Hal ini sudah berlangsung cukup lama, termasuk di Indonesia.
Baca juga: Vaksin Corona dari Oxford Dinilai Aman, Dijanjikan Siap pada September
Permasalahannya, tidak semua orangtua atau siswa memiliki perangkat ponsel atau komputer dan data internet yang memadai untuk menunjang proses belajar yang dijalankan kini.
Secara global, Badan anak-anak PBB, UNICEF melaporkan sedikitnya 463 juta anak di seluruh dunia tidak bisa mengakses pendidikan secara virtual (jarak jauh).
Melansir DW, melalui sebuah studi UNICEF yang dirilis Rabu (26/8/2020), jumlah tersebut merupakan sepertiga dari total siswa yang terdampak pandemi dari seluruh dunia.
Baca juga: Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam Dapat Bantuan Operasional, Ini Ketentuan dan Prosedurnya
Dampak jangka panjang
Laporan tersebut didasarkan pada data yang dikumpulkan dari sekitar 100 negara, dengan mengukur akses publik ke internet, televisi, dan radio.
"Banyaknya anak-anak yang pendidikannya benar-benar terganggu selama berbulan-bulan merupakan keadaan darurat pendidikan global," kata Direktur Eksekutif UNICEF, Henrietta Fore.
Menurutnya, hal ini akan membawa dampak jangka panjang, yakni terjadinya ketimpangan ekonomi pada masyarakat di beberapa dekade yang akan datang.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi, Dampak, dan Penyebabnya...
Diperkirakan, ada sekitar 1,5 miliar siswa di seluruh dunia yang terdampak kebijakan penutupan sekolah akibat Covid-19.
Secara wilayah, siswa yang ada di Eropa disebut lebih diuntungkan daripada mereka yang ada di Afrika dan sebagian Asia.
Di antara jumlah siswa yang tidak dapat mengakses pendidikan daring secara baik, 67 juta di antaranya berasal dari Afrika bagian barat dan tengah, 80 juta ada di kawasan Pasifik dan Asia Timur, 37 juta lainnya berasal dari Timur Tengah dan Afrika Utara, 13 juta dari Amerika Latin juga Karibia, dan 147 juta siswa lainnya berasal dari Asia Selatan.
Baca juga: Obesitas dan Tingginya Angka Kematian akibat Virus Corona di AS...
Pembukaan sekolah
Tidak ada angka yang diberikan untuk AS atau Kanada.
Untuk itu, UNICEF mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pembukaan kembali sekolah di area yang aman ketika banyak peraturan sudah mulai dilonggarkan.
Apalagi bertepatan dengan akan segera dimulainya tahun ajaran baru di banyak negara.
"Jika pembukaan kembali tidak mungkin terlaksana, pemerintah diminta menyediakan kompensasi pendidikan untuk mengganti waktu belajar yang hilang," kata laporan itu.
Baca juga: Berikut Syarat Pembukaan Kembali Sekolah di Tengah Pandemi