KOMPAS.com - Enam bulan sudah virus corona menyebar di Indonesia.
Masih teringat jelas ketika Presiden Joko Widodo yang didampingi oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengumumkan dua kasus pertama virus corona di Indonesia pada Maret 2020.
"Orang Jepang ke Indonesia bertemu siapa, ditelusuri dan ketemu. Ternyata orang yang terkena virus corona berhubungan dengan dua orang, ibu 64 tahun dan putrinya 31 tahun," kata Jokowi, kala itu.
"Dicek dan tadi pagi saya dapat laporan dari Pak Menkes bahwa ibu ini dan putrinya positif corona," lanjut Jokowi.
Pernyataan itu merupakan awal perjalanan panjang Indonesia dalam perang melawan virus yang pertama ditemukan di Kota Wuhan, China.
Hingga enam bulan lamanya, belum ada tanda "perang" melawan corona akan berakhir. Jumlah rata-rata kasus infeksi harian pun semakin naik.
Ancaman masih sangat tinggi. Maka, tak heran jika Indonesia kini disebut telah memasuki fase awal kritis Covid-19.
"Indonesia ini sudah memasuki fase kritis awal yang diperkirakan mengalami puncak di awal Oktober 2020, khususnya Jawa. Ini bisa berlangsung lama, bisa sampai akhir tahun," kata epidemiolog Griffith University Dicky Budiman, 26 Agustus 2020.
Sejauh ini, 180.646 kasus infeksi telah dikonfirmasi dengan 7.616 kematian dan 129.971 pasien sembuh.
Ini beberapa catatan dan kita semua yang tak boleh kendur, terutama untuk patuh protokol pencegahan Covid-19.
Baca juga: 6 Bulan Pandemi, Kapasitas Tes Usap Masih Jauh di Bawah Standar WHO
Kurangnya jumlah testing
Berdasarkan ketentuan WHO, standar pengujian virus corona adalah 1 per 1.000 penduduk per satu minggu. Tercatat hanya DKI Jakarta yang hampir mencapai standar itu.
Jika dilihat secara nasional, pemerintah telah melakukan tes Covid-19 sebanyak 2.3 juta spesimen dari 1.333.985 orang, hingga Rabu (2/9/2020).
Meski jumlah pemeriksaan harian bertambah, angka itu masih termasuk yang paling rendah di antara negara lainnya.
"Kalau saja Indonesia bisa melakukan 50.000-100.000 testing per hari, tentu akan sangat menunjang keberhasilan kita dalam mengendalikan pandemi ini," ujar Dicky.
Baca juga: Tepat Hari ini, Sudah 6 Bulan Pandemi Covid-19 Menyerang Indonesia
Ancaman krisis tempat tidur di RS rujukan
Hingga 30 Agustus, 74 persen dari 4.456 tempat tidur di ruang isolasi di rumah sakit telah terisi oleh pasien Covid-19.
Sementara itu, 81 persen dari 483 tempat tidur ruang ICU di rumah sakit rujukan telah digunakan untuk merawat pasien virus corona.
Dengan kondisi tersebut, ditambah munculnya klaster rumah tangga akibat isolasi mandiri, Pemprov DKI saat ini tengah menyiapkan regulasi agar semua pasien bisa diisolasi di rumah sakit, meski hanya bergejala ringan atau tanpa gejala.
Baca juga: 84 Persen Tempat Tidur Ruang ICU Rumah Sakit Rujukan Trerisi Pasien Covid-19
Klaster perkantoran
Tak hanya kantor swasta, sejumlah kantor lembaga dan kementerian pun ikut terpapar virus corona.
Terbaru, kantor Kementerian Pertanian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ditutup setelah ditemukan sejumlah kasus Covid-19.
Oleh karena itu, Dicky menganggap opsi utama yang harus diambil dalam fase ini adalah membelakukan kembali work from home (WFH) bagi kantor non-esensial.
"WFH harus jadi opsi utama, terutama kantor yang non-esensial dan orang-orang yang berisiko harus bekerja di rumah sampai setidaknya akhir tahun," kata Dicky, 28 Agustus 2020.
Baca juga: Klaster Perkantoran Disebut Bisa Menjadi Ancaman Meluasnya Penyebaran Virus Corona
Mengerem aktivitas
"Tidak bisa kita gas di urusan ekonomi, tetapi kesehatannya menjadi terabaikan. Tidak bisa juga kita konsentrasi penuh di urusan kesehatan, tetapi ekonominya menjadi sangat terganggu," kata dia.
Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono pun mengingatkan kembali konsep itu.
Menurut dia, pemerintah sudah cukup dalam menginjak gas untuk menggenjot sektor perokonomian melalui pelonggaran.
Oleh karena itu, ia meminta Jokowi untuk kembali memperketat pembatasan aktivitas warga. Sebab, lonjakan kasus dalam beberapa hari terakhir mulai terlihat.
"Rem harus dikencangkan lagi, diperketat lagi. Harusnya tidak ada pelonggaran," kata Tri, 31 Agustus 2020.
Baca juga: Efektifkah Hukuman untuk Paksa Warga Patuh Protokol Pencegahan Covid-19?
Dampak libur panjang
Anggota Tim Pakar Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah juga mengakui bahwa lonjakan kasus beberapa hari terakhir merupakan dampak dari libur panjang.
"Ya bisa jadi (kenaikan kasus dipengaruhi libur panjang). Kita melihat efek libur panjang terhadap kenaikan jumlah kasus yang ada," kata Dewi, 2 September 2020.
Sebab, tingginya mobilitas saat libur panjang memperbesar peluang penularan terjadi.
Menurut dia, dampak dari libur panjang tidak terlihat dalam sehari atau dua hari setelah liburan.
"Tapi manifestasinya saat sudah ke RS dan diperiksa, saat sudah berjalan dan sebagainya. Sehingga, ada delay (jeda) mungkin sekitar dua hingga tiga pekan baru kelihatan kenaikannya di mana," jelas dia.
Baca juga: Kasus Covid-19 Naik Drastis Akhir Agustus, Satgas Akui Libur Panjang Jadi Pemicunya
Penerapan kembali larangan berkumpul?
Pada Maret 2020, Kapolri Jenderal Idham Aziz mengeluarkan maklumat nomor MAK/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona.
Maklumat itu berisi larangan kepada masyarakat untuk berkumpul atau mengadakan kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan massa.
Ada beberapa bentuk tindakan pengumpulan massa yang dimaksud dalam maklumat itu, yaitu pertemuan sosial, budaya, keagamaan, seminar, kegiatan konser, festival, resepsi keluarga, kegiatan olahraga dan kesenian, unjuk rasa, pawai, serta jasa hiburan.
Akan tetapi, maklumat tersebut telah dicabut pada awal Juli 2020. Dengan pencabutan itu, kegiatan-kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan massa kini tak lagi dilarang.
Sumber: Kompas.com (Dian Eka Nugraheny/Ihsanuddin/Rindi Nuris Velarosdela | Editor: Icha Rastika/Fabian Januarius Kuwado/Bayu Galih/Sabrina Asril)