Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan Kerugian Pertamina Rp 11 Triliun dan Perjalanan Harga BBM di Indonesia dari Masa ke Masa...

Baca di App
Lihat Foto
(Dok. Pertamina)
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Pembahasan mengenai bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite baru-baru ini kembali ramai diperbincangkan masyarakat.

Setelah sebelumnya muncul wacana menghapus keduanya, anggota Komisi VII DPR RI, Mulan Jameela, mengusulkan penyetaraan harga Pertamax dengan Premium.

Hal itu diungkapkan Mulan saat rapat dengar pendapat Komisi VII dengan direksi Pertamina pada Senin (31/8/2020) sebagai solusi atas rencana Pertamina yang akan menghapus BBM jenis Pertalite dan Premium.

Baca juga: Pertamina Disebut Rugi Rp 11,13 Triliun, Apa yang Terjadi?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berikut ulasan harga BBM di Indonesia dari masa ke masa:

Harga BBM cukup bersaing

Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan, harga BBM sudah cukup bersaing dalam konteks pasar dalam negeri.

Menurut dia, harga-harga BBM Pertamina juga dijadikan patokan oleh pelaku usaha bahan bahan bakar yang lainnya.

"Karena volume yang mayoritas, sering kali harga Pertamina menjadi referensi atau acuan pemain yang lain," kata Komaidi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/9/2020).

Baca juga: Viral Video Petugas SPBU Layani Pembelian BBM dengan Tandon Air

Komaidi menjelaskan, tidak bisa membandingkan harga BBM Pertamina dengan yang ada di luar negeri.

"Tentu tidak bisa aple to aple," ucap Komaidi lagi.

Lebih lanjut, dia memaparkan sedikit catatan mengenai harga BBM Pertamina dari era Presiden Soeharto hingga kini Presiden Joko Widodo.

Pertama, pada era Presiden Soeharto lebih dipilih mekanisme subsidi, disesuaikan dengan kondisi pada saat itu.

"Era awal pembangunan perlu daya dorong dan produksi masih berlimpah," ucap Komaidi.

Baca juga: Pertamina Buka Beasiswa untuk Mahasiswa Terdampak Covid-19, Simak Persyaratannya...

Kemudian, era Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Megawati, lanjut Komaidi, merupakan era transisi yang mana harga BBM masih belum lepas dari kebijakan lama.

Pada periode ini gejolak politik masih tinggi sehingga kebijakan harga BBM yang relatif sensitif secara politik tidak banyak diubah.

Lalu, imbuh dia, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki kemiripan dengan era Presiden Soeharto, tetapi sudah tertekan dalam aspek fiskal.

"Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan menjadi target utama. Banyak subsidi yang diberikan. Kalaupun BBM dinaikkan, diganti dengan kompensasi lain seperti BLT," jelas Komaidi.

Baca juga: Ini Cara Cek BST Kemensos, Apakah Anda Terdaftar sebagai Penerima?

Saat ini, pada zaman Presiden Joko Widodo, menurut dia, masih berusaha lepas dari ketergantungan subsidi energi, terutama BBM.

Selain itu, juga relatif tertolong dengan tren harga minyak mentah yang rendah.

"Namun, ketika harga minyak menuju normal, masalah fiskal datang yang sejauh ini sebagian menjadi beban bagi pelaksana penugasan, yaitu Pertamina," kata Komaidi.

Baca juga: 10 BUMN yang Miliki Bisnis Hotel, dari Pertamina hingga Krakatau Steel

Catatan kerugian

Seperti diketahui, PT Pertamina (Persero) tercatat mengalami kerugian sekitar Rp 11 triliun pada semester 1 tahun 2020.

Menyoal dari hal itu, Komaidi menuturkan, berdasarkan laporan keuangan yang ada, sebenarnya kegiatan operasional penjualan-biaya pokok penjualan masih untung.

"Untuk kerugian, jika mencermati laporan keuangan yang ada relatif dapat dipahami. Artinya rugi datang dari biaya lain-lain di luar biaya pokok penjualan," kata Komaidi.

Menurut Komaidi, dalam konteks laporan keuangan (akuntansi) umum, semester 1 tidak lebih baik dari semester 2.

Baca juga: Pertamina, Skema Baru Pengisian BBM dan Pembayaran Nontunai...

Salah satu penyebabnya yakni banyak biaya-biaya yang sudah keluar di semester 1, penerimaan atas biaya tersebut belum terealisasi di semester 1.

"Ada pula sebab lain, pada semester 1 masih ada peluang adanya pembebanan biaya dari tahun sebelumnya," ungkap dia.

"Misalnya tagihan-tagihan dari vendor yang disampaikan di Desember tahun sebelumnya misalnya akan dibayar di semester 1 tahun berikutnya mengingat proses invoice juga memerlukan waktu," sambung Komaidi.

Laporan kerugian di semester 1 ini, Komaidi melanjutkan, tidak bisa digunakan menjadi indikator akhir karena masih ada semester berikutnya.

Baca juga: Menyoal Pertamina dan Bisnis Anak Cucunya

Maksimalkan penjualan di semester 2

Komaidi memiliki satu saran utama untuk Pertamina jika ingin menutup kerugian yang mereka alami di semester 1 ini.

Saran itu yakni dengan memaksimalkan di semester 2 nanti.

"Saya kira memaksimalkan di semeter kedua. Maksimalkan penjualan dan minimalkan biaya," jelas Komaidi.

Saat disinggung soal kebijakan Pertamina di masa pandemi virus corona ini, Komaidi melihat upaya yang serius perusahan pelat merah itu.

Baca juga: Jadi Maskapai Pelat Merah, Garuda Indonesia Berawal dari Pesawat Sewa

Sebaliknya, Komaidi justru menyoroti beberapa kebijakan pemerintah.

"Saya kira dari sisi perusahaan (Pertamina) terlihat banyak upaya yang dilakukan untuk menaikkan penjualan. Yang perlu menjadi catatan adalah kebijakan pemerintah. Misalnya menugaskan Pertamina untuk membangun RS untuk Covid," kata Komaidi.

Hal itu, lanjut dia, berdampak bagus dari sisi sosial, namun, dari kacamata usaha akan menjadi beban tersendiri bagi kelangsungan usaha.

"Dari sisi sosial bagus namun dari kacamata usaha tentu ini menjadi beban usaha. Sehingga pemerintah perlu lebih baik lagi ke depan," pungkas Komaidi.

Baca juga: Bantuan UMKM Rp 2,4 Juta, Apakah Semua Pelaku Usaha Bisa Mendapatkannya?

Mekanisme pasar

Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhy.

Fahmy menjelaskan, harga BBM non-subsidi Pertamina ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar.

Baca juga: 5 BUMN yang Dominasi Pasar, dari Pertamina hingga Semen Indonesia

Hal itu, lanjut Fahmy, dipastikan dapat bersaing di pasar dalam negeri, dan juga dipastikan menjadi market leader.

"Harga BBM non-subsidi Pertamina ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, pasti bisa bersaing. Bahkan dalam penetepan harga, Pertamina menjadi merket leader," kata dia.

Kemudian, kata Fahmy, saat Pertamina tidak menurunkan harga BBM dan harga minyak dunia sedang terpuruk, SPBU asing juga tidak menurunkan harga jualnya.

"Harga BBM subsidi dan penugasan ditetapkan pemerintah, seringkali di bawah harga keekonomian, sehingga tidak ada pesaing," imbuh dia.

Baca juga: Menengok Deretan Produk PT Pindad yang Mendunia...

Pertamina representasi negara

Fahmy memiliki catatan tersendiri soal kerugian Rp 11 triliun yang dialami Pertamina pada semester 1 ini.

Menurut dia, Pertamina sebagai representasi negara dalam pengelolaan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran direksi dan komisaris, serta pemburu rente.

Untuk itu, Pertamina mendapat berbagai privilege, fasilitas dan dana kompensasi dari Pemerintah.

"Pertamina dapat prioritas dalam pengelolaan sektor hulu, baik lahan migas baru maupun lahan terminasi. Pertamina juga dapat hak monopoli di sektor hilir dalam menyalurkan BBM," kata Fahmy.

Baca juga: Mengenal Asabri, Perusahaan BUMN yang Diduga Terindikasi Korupsi oleh Mahfud MD

"Kalau Pertamina menjual BBM di bawah harga keekonomian, Pertamina dapat kompensasi dari Pemerintah. Dana kompensasi 2019 saja sebesar Rp 45 triliun," imbuh dia.

Pertamina, kata dia, memang menanggung biaya kebijakan BBM satu harga, tetapi Pertamina juga dapat berbagai kompensasi, salah satunya Pertamina dapat Blok Mahakam secara gratis.

Namun, rugi di semester 1 ini kemungkinan akhir tahun masih bisa berbalik menjadi untung, sehingga Pertamina tetap dapat berkontribusi terhadap sebesarnya kemakmuran rakyat.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Lahirnya PT Pertamina

Disarankan menurunkan harga BBM

Fahmy memiliki beberapa saran yang dapat dilakukan oleh Pertamina untuk menutup kerugian di semester 1 ini.

"Naikkan lifting minyak dan efisiensi besar-besaran dalam pengadaan impor BBM, termasuk efisiensi pengeluaran gaji direksi dan komisaris," jelas dia.

Selain itu, Pertamina disarankannya untuk menurunkan harga BBM pada saat harga minyak dunia terpuruk karena pandemi.

Meskipun penurunan harga BBM akan memperbesar kerugian semeseter 1 di tahun 2020 ini.

"Namun, penurunan harga tersebut dapat memberikan kontribusi menaikan daya beli rakyat yang lagi terpuruk akibat pandemi. Ujung-ujungnya, penurunan harga BBM akan menaikkan pertumbuhan ekonomi," papar Fahmy.

Baca juga: Belajar dari Kasus SPBU Terbakar, Ini Imbauan Pertamina untuk Konsumen

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi