Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Populasi Hewan di Dunia Turun 68 Persen dalam 50 Tahun...

Baca di App
Lihat Foto
AFP / BIJU BORO
Sejumlah badak bercula satu India, yang terancam punah, di Taman Nasional Kaziranga, menyelamatkan diri dari banjir dan genangan air dengan menuju ke dataran yang lebh tinggi.
|
Editor: Sari Hardiyanto

 

KOMPAS.com - World Wildlife Fund (WWF) dan Zoological Society of London pada Rabu (9/9/2020) mengeluarkan sebuah laporan tentang kondisi hewan di dunia saat ini.

Dikutip dari Bloomberg, Rabu (9/9/2020), laporan berjudul Living Planet Repot 2020 itu mencatat, populasi satwa liar di Bumi mengalami penurunan sebasar 68 persen sejak 1970.

Tak ada tanda bahwa tren penurunan ini akan melambat.

Baca juga: Selain Udang Asal Sulawesi, Ini 5 Hewan di Indonesia yang Terancam Punah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beberapa bagian dunia jauh lebih buruk.

Di wilayah tropis Amerika bahkan mengalami penurunan populasi hewan 94 persen dalam periode yang sama.

Sementara komunitas hewan di atau dekat air tawar secara global telah turun 84 persen.

Baca juga: Mengenal Harimau Sumatera yang Terancam Punah...

Perubahan cara manusia

Kondisi ini diakibatkan oleh perubahan cara manusia dalam menggunakan tanah dan laut, termasuk menebangi hutan dan menggunakan air tawar.

Penangkapan secara berlebihan dan perburuan, jenis invasif, polusi, serta perubahan iklim melengkapi penyebab utama jatuhnya populasi hewan global.

"Umat manusia patut disalahkan, kerusakannya belum pernah terjadi dalam sejarah manusia, baik dari sisi kecepatan maupun keluasan," kata penulis.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Bahasa Asli Alaska, Eyak Punah

Kesimpulan ini muncul di tengah laporan bahwa negara-negara tidak memenuhi komitmen yang dibuat dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati.

Tahun ini seharusnya menjadi tahun yang penting untuk mengatasi masalah tersebut.

Akan tetapi, tak ada satu pun dari 20 target keanekaragaman hayati yang ditetepkan di Aichi, Jepang pada 2010 telah terpenuhi.

Baca juga: Mengenal Viagra Himalaya, Jamur yang Dipercaya untuk Obat Kuat hingga Antitumor

Keanekaragaman hayati

Ditemukan bahwa keanekaragaman hayati belum dibawa ke dalam pengambilan keputusan arus utama, subsidi yang merugikan belum dihapuskan dalam skala yang berarti.

Keanekaragaman hayati juga terus menurun di tempat-tempat yang digunakan untuk menghasilkan makanan dan kayu, dikutip dari Climate Change News, Selasa (8/9/2020).

Kepala Ilmuwan WWF Rebecca Shaw mengatakan, Living Planet Repot 2020 mengukur popuasi hewan vertebrata.

Hal itu berbeda dengan mengidentifikasi spesies terancam atau punah yang mungkin hanya menunjukkan sedikit tentang kesehatan ekosistem.

"Salah satu hal yang telah dipaparkan dengan sangat jelas oleh sains kepada kita dalam dekade terakhir adalah bahwa kita bergantung pada sistem alam yang utuh dan ekosistem alami yang utuh, di semua bagian komponennya," kata dia.

Baca juga: INFOGRAFIK: Mengenal Kucing Emas, Spesies Langka yang Hampir Terancam Punah

"Dan apa yang ditunjukkan indeks ini kepada Anda sebagai komponen yang sangat penting dari kesehatan yang menurun dan menurun dengan cepat," lanjutnya.

Laporan tahun ini menggunakan model komputer untuk mensimulasikan kebijakan yang dapat menghindari hilangnya keanekaragaman hayati.

Dalam kesimpulannya, penulis memberikan beberapa rekomendasi agar populasi hewan tak berkurang, yaitu memperluas konservasi, meningkatkan hasil pertanian, menghilangkan limbah makanan, dan mengurangi setengah asupan daging secara global.

Dengan mengubah apa yang dimakan dunia dan bagaimana dunia menghasilkan makanan yang dikonsumsinya, negara-negara dapat mengurangi separuh hilangnya keanekaragaman hayati itu.

Baca juga: Ramai soal Unggahan Hati Hewan Kurban yang Berlubang Diduga Sarang Cacing, Ini Penjelasannya...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi